Lihat ke Halaman Asli

Jenni Mulrita

Mahasiswa Magister Akuntansi, Dosen : Prof. Dr. Apollo M.Si. Ak. NIM : 55520120011, Jenni Mulrita, Universitas Mercu Buana, Jakarta

K14_Tax Heaven Country

Diperbarui: 12 Juni 2022   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tax Haven-Effected by Global Transaction

Tax Haven juga dinamakan dengan Tax Heaven atau surga pajak. Tax Haven lebih tepatnya bisa dikatakan sebagai suaka pajak karena merupakan perlindungan dari pengenaan pajak.

Timbulnya Tax haven adalah konsekuensi peningkatan tarif pajak. Muncul pertama kalinya di majalah Times 17 Mei 1894, ketika wajib pajak Inggris memindahkan kekayaannya untuk menghindari pajak. Setelah perang dunia 1, kebutuhan biaya yang tinggi sebagai akibat hancurnya ekonomi setelah perang menjadi dasar bagi negara untuk menaikkan tarif pajak agar pendapatan menjadi meningkat. Tahun 1924, tarif pajak dunia mencapai 72%. Sejak itu lah muncul istilah tax haven dimana adanya tiga negara sebagai pusat penghindaran pajak yang aman, yaitu Swiss (Geneva), Zurich dan Basel. Dan tahun 1930 keatas, bermunculan tax haven country baru. Misalnya pengusaha AS yang menyembunyikan penghasilan di negara Bahama. Sampai pada akhirnya muncul Panama Papers, sebagai salah satu peristiwa besar yang melibatkan penguasa-penguasa negara, pengusaha dan selebritis tertangkap telah melarikan penghasilannya ke perusahaan-perusahaan cangkang bentukan sebagai tempat penampung sementara penghasilan mereka. Pada dasarnya tax haven banyak digunakan untuk menyembunyikan aset illegal perusahaan. Adanya tax haven dapat memudahkan adminstrasi perusahaan yang juga beroperasi secara global, serta dapat menghindari regulasi pajak yang yang cukup dijadikan celah dalam menghindari kewajiban pajaknya.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Tax Haven Country?

Tax Haven Country secara umum didefinisikan sebagai salah satu negara atau wilayah yang mengenakan pajak dengan tarif rendah atau tidak mengenakan pajak serta memfasilitasi pengusaha dalam menyimpan modal atau penghasilan secara aman.

Untuk dapat dikatakan sebagai tax haven country, OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) memberikan tiga ciri tax haven country: menetapkan tarif pajak yang rendah atau bisa dikatakan bebas pajak, lack of transparency (tidak adanya transaparansi), dan lack of effective exchange of information, yaitu tidak adanya pertukaran informasi yang seharusnya ada antara negara kerjasama.

Bahaya penggunaan tax haven diantaranya adalah money laundering, penyalahgunaan perusahaan cangkang (shell companies), pendanaan yang keliru, penggelapan pajak dan ancaman pada stabilitas sistem keuangan.

Berhubungan dengan Money Laundering, riset oleh Kalle pada jurnal : EU Money Laudering Regulation Limit the Use of Tax Havens pada tahun 2021, menemukan bahwa peraturan pencucian uang pada European Union (EU) dapat meningkatkan Lembaga keuangan untuk membatasi koneksi terkait apapun dengan negara suaka pajak ketika tidak ada transparansi. Dengan adanya peraturan yang melimitasi kegiatan ke negara suaka pajak, maka dapat meminimalisasi terjadinya praktik tax haven.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh John Chirtensen terkait dengan akibat tax haven yaitu praktik korupsi melalui jurnal : "The looting continues: tax havens and corruption", Critical Perspectives on International Business, tahun 2011, dimana penelitian tersebut melihat dengan adanya tax haven menstimulasi munculnya praktik korupsi. Chirtensen berpendapat bahwa Tax haven country telah menjadi fitur bagi perusahaan global dan menciptakan lingkungan kriminogenik dimana aliran dana gelap dapat di sembunyikan pada transaksi-transaksi komersial yang sah, sehingga menjadi tidak terlihat adanya penyimpangan.

Tax Haven merupakan salah satu praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan global, yang memiliki kekuasaan untuk membentuk perusahaan baru (perusahaan cangkang) diluar yurisdiksi dan menumpuk penghasilannya ke perusahaan tersebut. Pemberian tarif rendah atau bisa dikatakan tidak memiliki tarif pajak akan menggerus penghasilan atau penerimaan pajak sebuah negara. Apalagi negara yang masih menggantungkan penerimaant terbesar negaranya bersumber dari pajak. Contohnya development countries yang masih sangat menggantungkan penerimaan negara dari berbagai kerjasama investor dari negara lain (maju)

Negara G20 yang terdiri dari berbagai negara maju dan berkembang, seperti Amerika Serikat, Inggris (walaupun dulu pernah menjadi salah satu negara suaka pajak), Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa mencegah adanya negara tax haven. Hal ini terbukti dari adanya agenda G20 memerangi tax haven yang memang merupakan pelarian aset ke negara lain demi untuk menghindari pajak. Selain itu, bagi negara dalam lingkaran G20, ketika melakukan kerjasama masih memerlukan pertukaran informasi dan transparansi data dari setiap negaranya yang digunakan sebagai basis data investasi, sehingga negara G20 harus membuka dan bersedia memberikan informasi pajak yang dibutuhkan oleh negara lain yang bermaksud untuk invetasi dan hal lainnya yang diperlukan, faktor transparansi.

Ketentuan tarif pajak internasional juga tentu menjadi pertimbangan G20 untuk menolak tax haven. Ketika adanya pembentukan negara suaka pajak (tax haven country) akan menganggu perpajakan yang telah disepakati dalam kerjasama G20.  Dengan memberikan rate pajak yang terlalu rendah akan merugikan negara yang masih menggantungkan pendapatan melalui pajak. Inilah tujuan kerjasama dari G20, saling menguntungkan antara negara dalam meraih kesejahteraaan untuk masyarakatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline