Lihat ke Halaman Asli

Pulau Tiga: One Day in My Life (Part 2/End)

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


KILASAN CERITA YANG LALU...

Aku dekati ruang kelasku dulu, dan coba membuka pintu kelas itu. Tidak Terkunci. Ketika pintu terbuka, aku terkesima, tak banyak berubah dan sepertinya masih sama dengan model bangku dan meja yang aku pakai dulu, atau telah diganti tapi dibuat sama modelnya.
Aku tunjukkan posisi dudukku dulu dengan isteri dan anakku, waktu di kelas V SD tahun 1984 yaitu di bangku nomor dua dari depan. Teman sebangkuku dulu si Anto namanya, atau lengkapnya Susanto Nugroho yang ibunya adalah perawat di Balai Kesehatan Perkebunan.
Setelah itu kami keluar ruangan kelas, dan Imelda mengingatkan untuk mengambil beberapa foto untuk dokumentasi dan sebagai kenangan.
Sambil berfoto, dalam hatiku berbisik pelan : "Ya Tuhan...aku sudah pergi dan terbang ke mana-mana ke banyak tempat, tapi sekolah ini tetap setia dan sabar menunggu di sini puluhan tahun lamanya tanpa pernah mengeluh dan protes, dan entah sampai kapan..."

....oo00oo....

Setelah puas melihat sekolahku itu, kami menaiki mobil kembali. Tapi sebelumnya aku sempat memandang berkeliling. Kuingat dulu ada Koramil di depan SD-ku, aku melihat dua tentara lagi berdiri di seberang jalan dan sepertinya dari sejak awal kedatangan kami, sudah memperhatikan. Aku lambaikan tangan dan mereka membalasnya, mungkin mereka tahu kalau aku pasti bekas murid di sekolah itu dan lagi berkunjung.

Kami kembali menuju Simpang Tiga, kali ini aku memperhatikan sepanjang jalan di sebelah kiri. Puskesmas masih ada, kemudian Kantor Kecamatan Pulau Tiga juga masih tegak setelahnya. Pak Camat jaman aku dulu memiliki sebuah mobil dinas Volkswagen yang terkenal dengan sebutan VW Safari dengan warna khasnya, yaitu oranye dengan atapnya kanvas yang dapat dibuka tutup.

Lewat Simpang Tiga, tak jemu-jemu aku memandangnya walau sebenarnya tak ada yang istimewa benar, biasa saja. Tapi mungkin aku terbawa perasaan akan sebuah kenangan lama yang begitu banyak dan indah makanya aku bisa begitu.
Kembali kami sampai di lapangan sepakbola depan emplasemen, kali ini aku belokkan mobil ke kiri mengambil jalur lain yaitu masuk ke dalam emplasemen dan melewati depan rumah KTU, Askep dan Asisten. Aku pandangi lagi rumah-rumah itu, kembali menari-nari di kepalaku segala kenangan masa kecil itu.

Dengan teman-teman di emplasemen ada beberapa permainan yang sering kami mainkan. Yang sering adalah permainan Caper, yaitu permainan dengan menggunakan kelereng (guli), dimana ada yang menjadi raja_dengan kelereng terbanyak, musuh raja dan caper. Caper cuma punya satu kelereng dan bertugas mengumpulkan semua kelereng dan menyerahkan ke pemain lain bila permainan akan dimulai disetiap sesinya. Nanti ada lubang sebesar kelereng di tengah permainan dan semua berlomba memasukkan kelerengnya ke lubang itu dan siapa yang berhasil bertahan akan berhak menjadi raja. Kadang kalau kelamaan menjadi caper, kita kecapaian sendiri dan bila terus menerus diledekin biasanya akan berakhir dengan mata merah dan akhirnya menangis, kalau sudah begitu biasanya permainan akan berhenti dan bubar dengan sendirinya..ha..ha..Teman-temanku yang masih kuingat adalah : Rinaldi, Recky, Ipen_ketiganya anak Om Sartuni, Embit_anak Om TS, Adun, Fitrah, Jamur, Ida, Hiu_anak Om Sujari, Heru_anak Om Kahar, Dani_anak Om Siagian, Adek_anak Om Hamid, dan Iwin_temanku paling karib, anak Pak Isa.

Khusus dengan Hiu anak Om Sujari, ada cerita sedikit. Aku dapat warisan senapan angin (air guns) kaliber 4.5 mm dari Kakakku paling besar, Bang Darwin. Dengan senapan itu, aku dan Hiu sering berburu burung ke hutan-hutan kecil di sekitaran emplasemen atau malah sampai ke Kampung Plosok. Aku termasuk mahir dalam menembak burung, dan kami hampir setiap pagi sebelum masuk sekolah siang selalu berburu dan dipastikan selalu membawa pulang hasil buruan, tidak kurang dari sepuluh burung setiap harinya. Burung yang sering kami bawa pulang adalah burung Terocok (Gouvier ahalis) dan yang dianggap tangkapan besar kala itu adalah burung Punai atau sejenis burung Merpati/burung Dara.
Walau kalau ditanya sekarang, tindakan masa lalu itu salah dan kejam karena termasuk merusak keseimbangan alam, dan ada rasa penyesalan juga sedikit bila mengingat hobby berburu burung itu di waktu kecil.

Aku bisa mahir dalam hal menembak, sebabnya adalah karena dilatih dengan seorang anggota kepolisian di Polsek Pulau Tiga, namanya Tulang Rajab Simatupang (Tulang=Paman, dalam bahasa Batak). Dia masih kerabat kami dari Ibuku, dan kebetulan ditempatkan bertugas di Polsek Pulau Tiga dan tinggal di rumah kami di salah satu kamar di dekat bagian yang ditempati Lek Misnan dan keluarganya. Dia masih lajang pada saat itu, dan dari namanya Rajab, bisa ditebak kalau dia lahir pada bulan ke tujuh pada sistem Kalender Hijriyah. Malah terakhir-terakhir, dia banyak kalah denganku dalam ketepatan menembak sasaran burung atau tupai, kalau sudah begitu dia biasanya bergurau sambil tertawa, kalau dia memang spesialis menembak kaki orang_khususnya buronan aparat..ha..ha..

Permainan yang lain adalah bermain Patok Lele, yaitu permainan perorangan dengan alat bantu berupa dua buah batangan kayu bulat kecil, biasanya dulu kami pakai batang jambu klutuk yang lurus. Satu batang sebagai pemukul seukuran 50 cm dan umpannya seukuran 15 cm. Lalu si umpan batang yang pendek itu diletakkan di ujung lobang kecil di tanah dengan posisi memanjang dan menjungkit. Ujung umpan di "patok" pakai pemukul sehingga melenting ke udara dan langsung disambut dengan pukulan sekuatnya. Sedikit berbahaya memang, bila mengenai lawan yang berjaga di depan, tak jarang bila kena bisa terluka apalagi di bagian wajah.

Bulutangkis juga menjadi keseharian olahraga kami di emplasemen, walau tidak harus bermain serius di lapangan, tapi cukup dengan saling memukul berdua di halaman yang sedikit luas, tentunya bila hembusan angin tidak kencang. Shuttlecock yang menjadi merk terbaik saat itu adalah merk Garuda, karena lebih tahan lama dan timah di dalam gabusnya lebih besar dan berat dari merk yang lain. Raket yang baik adalah Yonex, walau tak semua anak punya karena relatif mahal. Pemain idola kami adalah Rudi Hartono Kurniawan, walau masa-masa inilah akhir dari kegemilangan sang maestro bulutangkis Indonesia itu, yang pernah juara All England delapan kali dengan tujuh kali berturut-turut. Seterusnya idola kamipun beralih ke penggantinya yang tidak kalah bersinar dan juga menjadi legenda sampai sekarang, yaitu siapa lagi kalau bukan : Lim Swie King yang terkenal dengan King Smash-nya. Terbukti sekarang inipun di tahun 2009, ada Film yang terinspirasi dari kehebatan Lim Swie King di masa lampau dengan judul filmnya "King", yang dibuat oleh Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline