"Orang-orang terjebak dalam sejarah dan sejarah terjebak di dalamnya." Kata-kata ini merupakan quotes James Arthur Baldwin (1924-1987), seorang sastrawan Amerika Serikat. Qoutes ini relevan dengan narasi berikut ini, dimana kadang kita menjebak diri dalam sejarah. Hal ini yang kemudian melahirkan polemik yang nyaris tak berkesudahan, hanya untuk teks-teks usang masa lampau yang sebenarnya berharga, dimana sebagai identitas kebangsaan-kenegaran kita sebagai warga negara Indonesia.
***
Terlepas dari itu, tema ini bukan memaparkan tentang kapal perang (naval battleship) jenis destroyer, yang dikenal sebagai kapal perusak. Destroyer merupakan kapal perang yang mampu bergerak cepat serta lincah dalam bermanuver. Destroyer berfungsi untuk memproteksi armada kapal perang berukuran lebih besar seperti : kapal induk (aircaraft carrier), kapal utama (capital ship), kapal tempur (battleship) dan kapal penjelajah (cruiser) dari ancaman serangan peralatan perang yang lebih kecil seperti kapal boat torpedo, kapal selam dan pesawat terbang.
Biasanya istilah destroyer oleh para aktifis politik dikonversikan secara letterlijk sebagaimana maknanya yakni, perusak dimana dalam fight politik ada individu yang menjadi aktor destroyer. Peran destroyer ini dengan sistimatis hadir untuk merusak jalinan koalisi, yang telah terkonsolidasi dengan baik, dimana memiliki target memporak-porandakan mereka, sehingga memenangkan fight politik. Pada perspektif ini destroyer dikonversikan lagi untuk individu yang sengaja merusak sejarah, yang kemudian saya sebut dengan istilah destroyer historik.
Mengapa destroyer historik ?, karena ada seorang ilmuan eksakta yang dengan sengaja membuat distorsi sejarah menyangkut dengan keberadaan Sumpah Pemuda 28 Otober 1928 di Batavia. Dalam pandangan ilmuan eksakta itu, tidak ada Jong Ambon sebagai unsur pemuda Ambon pada Konggres Pemuda II di Batavia tersebut, padahal fakta sejarahnya ada. Ia berangkat dari statemen JJ. Rizal seorang sejarawan tanah air di website Nusantara News, yang dirilis pada 22 Oktober 2016 lalu, dimana meragukan konten Sumpah Pemuda tersebut.
Sejarawan JJ. Rizal mengungkap bahwa, tidak ada kata-kata sumpah dalam naskah asli Sumpah Pemuda yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 1928. Menurut kajiannya, surat kabar Sinpo yang pertama memberitakan hasil Kongres Pemuda ke II tahun 1928, tidak memuat kata Sumpah dalam naskah tersebut. Disitu cuma ditulis putusan kongres. Disebut bahwa kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Sejarawan lulusan Fakultas Satra Universitas Indonesia (FSUI) itu mengatakan bahwa, tidak ada kata sumpah. Ada pihak yang sengaja mengubah isi teks Sumpah Pemuda. Itu dilakukan setelah tahun 1950-an, dimana ketika itu banyak terjadi pemberontakan di daerah. Dimasukannya kata sumpah bermaksud untuk menciptakan ‘kesakralan’ dalam keputusan hasil Kongres Pemuda II tahun 1928.
Apakah kemudian kita bisa mempercayai pendapat sejarawan ini ? lantas mengeliminasi sejarah Sumpah Pemuda sebagaimana yang dikehendaki seorang ilmuan eksakta bergelar doktor, yang telah mempublisnya berulang kali di akun facebooknya tersebut. Sehingga menimbulkan perdebatan pro dan kontra, dimana dampaknya ada sebagian nitizen yang mempercayai postingannya itu. Perilakunya yang demikian menempatkan ia tak lebih dari seorang propagandis, yang picik pemikirannya.
Tentu kita tidak bisa mempercayai pendapat JJ. Rizal begitu saja. Hal ini dikarenakan, pendapat sejarawan tersebut barulah sebatas asumsi, yang belum dibuktikan kebenarannya melalui riset sejarah yang komprehensif. Asumsi sendiri dalam filsafat ilmu memiliki peran sebagai dugaan atau andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Jika asumsi memiliki peran yang demikian, maka pendapat sejawaran itu belum tertuju pada upaya untuk memperoleh pengetahuan, yang bermuara pada kebaharuan (novelty).
Menurut Irfan (2018) bahwa, asumsi dalam kajian filsafat ilmu tergolong ke dalam kelompok ontologi, yaitu bab yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk konkret atau abstrak. Asumsi berperan sebagai dugaan atau andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh pengetahuan. Ia diperlukan sebagai arah atau landasan bagi kegiatan penelitian sebelum sesuatu yang diteliti tersebut terbukti kebenarannya.
Akan tetapi perspektif pendapat JJ. Rizal tersebut, sesuai dengan konteks argumentasi dari Paditra (2020). Ia mengatakan bahwa, walaupun dalam hal ini sendiri para sejarawan pun masih meragukan dan terus menerus mengulik bagaimana sebuah reka peristiwa yang dapat menyentuh sebuah kebenaran peristiwa dimasa lalu tersebut. Berangkat dari pendapat itu, maka satu-satunya jalan untuk menjawab keraguan Sumpah Pemuda tersebut yakni, dengan melakukan penelitian yang komprehensif.