Merantau ke ibu kota menyadarkan penulis bahwa ternyata Kalimantan Barat cukup dikenal masyarakat dari daerah lain. Selain pertanyaan akan makanan khas yang memang terkenal karena rasanya, juga terdapat pertanyaan lain yang sering penulis terima, yaitu:
“Amoy Singkawang pasti cantik ya, ada yang jomlo gak?” atau “Amoy Pontianak pasti semuanya anciang (bahasa Hakka dari cantik) dan putih bening”.
Pada awalnya penulis bingung, dari mana asal stereotip itu? Padahal perempuan keturunan Tionghoa mau dari daerah mana pun memiliki ciri fisik yang tidak jauh berbeda.
Amoy yang dalam bahasa Hakka berarti “adik perempuan” sekarang sering kali disalahgunakan dengan stigma yang negatif. Catcalling seperti “Amoy, mau ke mana moy?” kerap penulis terima.
Panggilan yang awalnya biasa-biasa saja tersebut sekarang berubah menjadi sebuah panggilan yang tidak sopan dan melecehkan bagi perempuan keturunan Tionghoa. Penulis pun sangat tidak suka dipanggil amoy, walaupun penulis yakin tidak semua yang menggunakan panggilan tersebut bermaksud buruk.
Dikutip dari tionghoa.info, amoy diidentikkan dengan perempuan keturunan Tionghoa yang cantik dan masih muda juga rela dinikahi pria asing dengan imbalan uang sebagai timbal balik atau dikenal dengan sebutan Pengantin Pesanan.
Praktik yang termasuk ke dalam perdagangan manusia dan merugikan perempuan ini sayangnya langgeng dilakukan di kota-kota Kalimantan Barat, salah satunya di Kota Singkawang yang dikenal sebagai Kota Amoy.
Di mana ada permintaan di situ ada penawaran
Permintaan pengantin pesanan ini dapat kita telusuri kembali kepada gabungan dari diskriminasi anak perempuan dengan dampak dari kebijakan pemerintah China puluhan tahun lalu.
Dalam keluarga China ataupun keturunan Tionghoa sekalipun, terdapat preferensi untuk anak laki-laki dengan harapan mereka dapat meneruskan marga keluarganya. Banyak kasus bayi perempuan yang diabaikan hingga dibunuh karena preferensi anak laki-laki yang kuat.
Digabung dengan one-child policy atau kebijakan satu anak yang dijalankan pemerintah China sejak tahun 1978 hingga 2015, orang tua China yang hanya memiliki ‘satu kesempatan’ berlomba-lomba melahirkan anak laki-laki.