Dalam rangka memperingati Hari Bumi Sedunia yang jatuh pada 22 April kemarin, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Leader Summit on Climate. Forum internasional yang diadakan secara virtual ini mengundang 40 pemimpin dunia, salah satunya adalah Presiden Indonesia Joko Widodo, guna membahas isu perubahan iklim dari masing-masing negara.
Indonesia yang secara historis menjadi penyumbang utama dalam perubahan iklim, dari deforestasi hingga pengunaan bahan bakar fosil, bukanlah tanpa sebab diundang di forum penting ini.
Membanggakan Indonesia sekaligus menyindir negara maju
Dalam pidato (dapat diakses disini), Presiden Jokowi sukses dalam menunjukkan komitmen Indonesia dengan berbagai pencapaian membanggakan sekaligus menyindir negara-negara lain. Presiden Jokowi juga menyampaikan tiga pemikirannya mengenai isu perubahan iklim.
Yang pertama, Presiden Jokowi menyatakan keseriusannya dalam mengendalikan perubahan iklim sekaligus mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut juga mencapai 66 juta hektar dengan penurunan kebakaran hutan 82%. Indonesia pun menerapkan leading by example, bagaimana laju deforestasi Indonesia berada di angka terendah dalam 20 tahun terakhir.
Kedua dan menurut penulis paling menusuk, bagaimana Presiden Jokowi menyatakan jika negara maju menunjukkan komitmen yang kredibel dan memberikan dukungan yang riil, sudah pasti negara-negara berkembang akan melakukan komitmen serupa juga.
Ia juga menambahkan perihal sejumlah negara yang kerap menerapkan hambatan ekonomi dan bersembunyi dibalik alasan isu lingkungan. Menurut penulis, ini menjadi sindiran khususnya untuk Uni Eropa serta negara lain yang menolak produk kelapa sawit Indonesia namun membutuhkan eskpor biji nikel Indonesia.
Yang ketiga, Presiden Jokowi menyatakan bahwa untuk mencapai target Persetujuan Paris (persetujuan mengenai reduksi emisi karbon dioksida), dibutuhkan kemitraan global yang kuat. Contoh pun diberikan rencana Indonesia untuk menjadi net zero emission dengan membangun Green Industrial Park seluas 12.500 hektar di Kalimantan Utara dan rehabilitasi hutan bakau seluas 62.000 hektar.
Selain Indonesia, pemimpin dunia lainnya juga menyampaikan perjanjian akan target penurunan emisi karbon. Negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Korea Selatan meningkatkan target mereka dua kali lipat untuk menunjukkan komitmennya.
Apa itu diplomasi lingkungan?
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pengendalian perubahan iklim termasuk kedalam kepentingan nasional Indonesia. Meraih kepentingan nasional tersebut, Indonesia menerapkan Environmental Diplomacy atau Diplomasi Lingkungan yang juga disebut Eco-Diplomacy.
Hal ini dapat kita lihat dengan keikutsertaan Indonesia yang menyepakati perjanjian serta mengikuti berbagai konvensi yang membahas isu lingkungan global, seperti Perjanjian Paris atau KTT yang Presiden Jokowi ikuti kemarin.