Permasalahan korupsi sudah menjadi permasalahan yang "mendarah daging" di Indonesia. Bukan hanya di sektor pemerintah, korupsi juga dilakukan di sektor swasta bahkan dalam sektor publik yang berhubungan dengan masyarakat Indonesia sehari-hari.
Salah satu contoh perilaku koruptif yang dilakukan di sektor publik adalah pemberian uang pelicin untuk urusan administrasi seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga, dimana 37,72 persen masyarakat menanggap perilaku tersebut wajar untuk dilakukan (Survei Perilaku Anti Korupsi oleh Badan Pusat Statistik di tahun 2012).
Mungkin Anda sudah sangat sering membaca mengenai pejabat pemerintah yang melakukan tindakan korupsi dan berakhir di balik jeruji besi. Memang hukuman untuk koruptor di Indonesia adalah hukuman penjara dengan jangka waktu yang bervariatif dan pemberian denda tergantung dengan total kerugian uang negara (Berdasarkan UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Penulis kadang berpikir, bahkan dengan hukuman yang sudah diberikan masih tetap banyak terjadi kasus korupsi bahkan hingga waktu tulisan ini ditulis. Apakah hukuman yang diberikan tidak memberikan efek jera? Hukuman apa yang dapat memberikan efek jera?
Hukuman atau vonis terberat yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman yang terberat untuk seseorang atas perbuatannya adalah hukuman mati. Apakah hukuman mati, yang merupakan hukuman terberat, adalah hukuman yang paling efektif diberikan kepada koruptor? Apakah hukuman mati untuk koruptor akan memberikan efek jera dan menurunkan kasus korupsi di Indonesia?
Sebenarnya Indonesia memiliki Undang-Undang yang dapat menjatuhkan hukuman mati untuk koruptor yaitu pada UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat 2 dimana tindak pidana mati dapat diberikan dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang disebutkan adalah korupsi yang dilakukan terhadap dana-dana untuk penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Hingga sekarang belum ada kasus hukuman mati yang diberikan kepada koruptor, dimana hingga sekarang hukuman terberat untuk koruptor adalah hukuman penjara seumur hidup yang diberikan kepada Adrian Waworuntu (pembobol BNI 46 Cabang Kebayoran Baru pada tahun 2003 dengan kerugian 1 trilliun lebih), Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) dan Brigjen Teddy Hernayadi (Mantan Direktur Keuangan TNI AD/Kepala Bidang Pelaksana Pembiayaan Kementerian Pertahanan).
Di dunia terdapat beberapa negara yang secara aktif dan terang-terangan memberikan hukuman mati untuk kasus korupsi yaitu negara China, Korea Utara, Iraq, Iran dan Pakistan. Yang ingin penulis garis bawahi adalah walaupun 5 negara tersebut secara terang-terangan memberikan hukuman mati untuk koruptor, Indeks Persepsi Korupsi/Corruption Perception Index yang dipublikasikan pada Januari 2020, negara tersebut sangat rendah yang berarti masih sering terjadinya tindakan koruptif.
China berada di posisi ke-80, Korea Utara ke-172, Iraq ke-162, Iran ke-146, Pakistan ke-120 dan Indonesia berada di posisi ke-85. Sedangkan negara-negara yang mendapatkan posisi 5 teratas adalah Denmark (5 tahun berturut-turut), Selandia Baru, Finland, Singapura dan Swiss. Hukuman yang diberikan di negara tersebut juga mirip-mirip dengan yang diberlakukan di Indonesia, yaitu hukuman penjara dan denda.
Dari analisis singkat tersebut, penulis ingin mengarisbawahi bahwa negara yang memberikan hukuman mati ke koruptor tidak memberikan efek jera kepada masyarakat dan tidak memberikan pengaruh untuk penurunan kasus korupsi. Bahkan hukuman anti korupsi yang sudah dibuat, didalam praktiknya sering kali diabaikan dan tidak dilaksanakan. Hingga sekarang, hukuman yang paling efektif adalah hukuman penjara dan denda.
Yang menjadi penentu sebenarnya bukanlah dari hukumannya, tetapi dari kebijakan dan budaya dari masyarakat tersebut. Negara-negara dengan peringkat yang lebih tinggi di Corruption Perception Index cenderung memiliki derajat kebebesan pers yang lebih tinggi, akses untuk masyarakat tentang pengeluaran dana negara, standar integritas yang lebih kuat untuk pejabat pemerintah dan sistem pemerintah yang independen.