Lihat ke Halaman Asli

Jeniffer Gracellia

TERVERIFIKASI

A lifelong learner

Museum untuk Korban Kekerasan Seksual

Diperbarui: 16 November 2020   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terletak disebuah jalan kecil, Ama Museum merupakan museum dengan ukuran yang kecil disebuah bangunan ruko dengan 2 setengah lantai yang dibangun 200an tahun lalu. 

Ama Museum adalah museum yang secara khusus dibangun untuk memperingati para wanita yang merupakan korban dari kekerasan seksual oleh Jepang ketika Perang Dunia ke-2, atau biasa disebut dengan comfort women atau Jugun Ianfu dalam bahasa Indonesia. Museum ini berada di Kota Taipei, Taiwan dan dibangun pada tahun 2016.

Ama () sendiri dalam bahasa Hokkien Taiwan berarti nenek, yang merujuk kepada korban comfort women yang sudah berusia lanjut sekarang. Ama Museum adalah salah satu dari 3 museum untuk comfort women, dimana yang lain berada di Korea Selatan dengan nama The War and Women's Human Rights Museum dan di Jepang dengan nama Women's Active Museum on War and Peace.

Museum yang dibuka pada tahun 2016 ini dibentuk oleh Taipei Women's Rescue Foundation (TWRF) dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus menuntut Jepang untuk bertanggungjawab atas kejahatan perang tersebut. 

Kunjungan ke Ama Museum ini akan menunjukkan foto-foto, dokumen hingga video yang berhubungan dengan comfort women dari Taiwan. Museum ini juga aktif memberikan workshop dan seminar dengan topik yang sama.

Taiwan merupakan bagian dari koloni Kekaisaran Jepang dari 1895 hingga 1945 dan merupakan salah satu asal para comfort women tersebut direkrut dan dipaksa menjadi budak seks militer Jepang pada Perang Dunia ke-2. 

Menurut penelitian, terdapat 2.000 comfort women yang berasal dari Taiwan. Para wanita tersebut, ada yang direkrut secara paksa menggunakan kekerasan dan juga dibohongi dengan iming-iming uang dengan bekerja sebagai pelayan restoran atau suster.

Ketika menjadi comfort women, wanita tersebut dipaksa untuk berhubungan seksual dengan militer Jepang bahkan hingga harus melayani belasan personil militer dalam sehari. Selain mengalami trauma psikologi, para wanita ini juga harus mengalami trauma fisik dari kekerasan hingga aborsi paksa yang mereka alami. 

Setelah perang dunia ke-2 selesai, mereka juga tidak dapat hidup seperti orang biasa. Kucilan dan hinaan mereka terima dari orang sekitarnya karena dicap sebagai wanita yang tidak suci lagi.

Tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan kepedihan yang dialami oleh para comfort women ini membuat masalah ini banyak diserukan oleh masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Jepang. Dimana salah satu caranya adalah dengan keberadaan museum ini.

Walaupun begitu, museum yang menarik ini harus ditutup karena kekurangan biaya dengan biaya sewa yang tinggi. TWRF selaku pengelola sudah melakukan penggalangan dana, mengajukan subsidi ke pemerintah hingga menutupi kantor pusat TWRF, museum ini masih terus dioperasikan dengan kerugian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline