Lihat ke Halaman Asli

Wiranto

Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Mari Membahagiakan Sekolah

Diperbarui: 17 April 2023   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak merdeka dalam belajar, merdeka untuk berbahagia (Sumber: Dokumen Pribadi, 2023)

Oleh : Wiranto

Apakah selama ini sekolah telah mampu membuat anak didik bahagia? Sepertinya tidak? Buku berjudul Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific terbitan UNESCO (2016) melaporkan hasil survei di negara-negara kawasan Asia-Pasifik yang melibatkan 654 responden dan menemukan bahwa kebahagiaan masih menjadi barang mahal di sekolah. Termasuk Indonesia tentunya.

Apa sumber ketidakbahagiaan itu? Sepertinya sistem pendidikan kita telah salah memaknai kebahagiaan! Ditanamkan pemahaman kepada murid bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui kesuksesan belajar berdasarkan pencapaian nilai raport maupun kelulusan yang tinggi. Ekosistem sekolahpun direkayasa sedemikian rupa untuk mendukung dan mencapai anggapan tersebut.

Tak terkecuali orang tua, mereka berlomba memburu sekolah-sekolah "favorit" sebagai jaminan kebahagiaan bagi anaknya, apapun cara dan berapapun biayanya. Uang, kekuasaan, jabatan, dan koneksi jika perlu dimainkan demi sebuah kursi di sekolah favorit.Pun waktu belajar di sekolah dirasa kurang cukup, sehingga les diberikan sebagai tambahan. Demi apa? Demi nilai ujian kelulusan yang mentereng tentunya. Sang biang kebahagiaan.

Kebahagiaan yang Tidak Membahagiakan

Terjadilah eksternalisasi kebahagiaan. Dipahamkan bahwa sumber kebahagiaan itu letaknya diluar diri, bukan didalam diri. Kebahagiaan ada nun jauh di sana, sulit dijangkau, berbiaya mahal serta hanya bisa digapai orang-orang dengan kekayaan melimpah atau jabatan tertentu. Kebahagiaan bukan untuk murid biasa, apalagi kaum miskin.

Setali tiga uang, murid membangun anggapan yang sama. Motivasi yang berkembang pada diri anak akhirnya juga bersifat eksternal; karena tuntutan orang tua, tuntutan masyarakat, tuntutan persaingan antar teman, dan aneka sebab yang tidak bersumber dari dalam diri.

Murid tumbuh dalam atmosfer persaingan, perundungan dan kekerasan, serta meningkatnya ketakutan peserta didik untuk mengekspresikan kepribadian mereka. Kesalahan menjadi dosa besar yang harus dihindari sehingga murid tak pernah belajar darinya. Murid miskin terus dimiskinkan, sekolah pinggiran terus terpinggirkan. Sementara kaum kaya bergelimang peluang.

Kebahagiaan sulit ditemukan di sekolah karena sistem pendidikan telah terjebak pada semangat Bhetamian dimana kebahagiaan hanya diukur oleh seberapa besar capaian-capain kesuksesan materi yang di dapat; tingginya nilai maupun ranking yang diperoleh serta favorit atau tidaknya sekolah sang anak. Sudah saatnya membahagiakan sekolah! Mau tidak mau.

Berharap Pada Merdeka Belajar

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline