Lihat ke Halaman Asli

Wiranto

Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Membahagiakan Sekolah

Diperbarui: 29 Agustus 2020   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

membahagiakan sekolah (dokpri)

Oleh : Wiranto

Apakah selama ini sekolah "benar-benar" membuat anak didik bahagia? Sepertinya tidak? Buku berjudul Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific terbitan UNESCO (2016) melaporkan hasil survei di negara-negara kawasan Asia-Pasifik yang melibatkan 654 responden dan menemukan bahwa kebahagiaan masih menjadi barang mahal di sekolah.

Sepertinya selama ini sistem pendidikan telah mendefinisikan kebahagiaan secara salah! Ditanamkan pemahaman bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui kesuksesan belajar.

Kesuksesan ini hanya bisa digapai melalui pencapaian nilai kelulusan yang tinggi. Sementara nilai tinggi hanya bisa didapat melalui belajar keras tanpa kenal waktu dan biaya serta mengorbankan waktu bermain.

Sekolah-sekolah "favorit" diburu sebagai jaminan tercapainya kesuksesan, apapun caranya dan berapapun biayanya! Uang, kekuasaan, jabatan, dan koneksi dimainkan demi sebuah kursi. Waktu belajar di sekolah yang panjang dirasa kurang, les diberikan sebagai tambahan belajar.

Semua dilakukan orang tua untuk memastikan diperolehnya kesuksesan belajar yang disangkakan berujung kebahagiaan. Muncul anggapan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang nun jauh di sana, tak terjangkau, mahal serta hanya bisa digapai orang-orang dengan kekayaan melimpah atau jabatan tertentu. Bukan untuk orang-orang biasa nan awam apalagi kaum miskin.

Situasi ini membangun motivasi yang berkembang pada diri anak akhirnya bersifat eksternal; karena tuntutan orang tua, tuntutan masyarakat, tuntutan persaingan antar teman, dan aneka sebab yang tidak bersumber dari dalam.

Bermain sebagai sarana aktualisasi diri anak menjadi larangan keras. "Bermain bukan belajar!", begitu aturannya. Bermain menjadi bentuk penyia-nyiaan waktu belajar. Manusia sebagai Homo Ludens (Mahluk Bermain) dikebiri habis-habisan.

Lebih ironis lagi, ternyata sekolah menjadi sumber ketidak-bahagiaan; lingkungan belajar yang tidak dikondisikan dengan baik; pendidik maupun tenaga pendidik di sekolah yang tidak sensitif terhadap tuntutan dan kebutuhan anak didik; kurikulum usang yang direproduksi ulang dengan hanya mengganti label, serta penekanan berlebihan terhadap muatan akademik yang mementingkan aspek kognitif.

Diperparah dengan lingkungan pergaulan anak di sekolah yang sarat dengan persaingan, perundungan dan kekerasan, serta meningkatnya ketakutan peserta didik untuk mengekspresikan kepribadian mereka dan membuat kesalahan.

Kebahagiaan sulit ditemukan di sekolah karena sistem pendidikan telah terjebak pada semangat Bhetamian dimana kebahagiaan hanya diukur oleh seberapa besar capaian-capain kesuksesan materi yang di dapat; tingginya nilai maupun ranking yang diperoleh serta favorit atau tidaknya sekolah sang anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline