Ekonomi kreatif dan sistem pendidikan sekolah di Indonesia sepertinya saling berjalan berlawanan arah. Satu ke kanan dan lainnya ke kiri. Ya, geliat ekonomi kreatif yang mulai menjadi andalan negara ini ternyata tak didukung peran dari "pabrik penghasil pelaku ekonomi kreatif" yaitu sekolah. Ironisnya, saat hampir semua negara mulai sadar peran otak kanan. Kita justru terjebak dalam pendidikan berorientasi otak kiri.
Fakta menunjukkan bahwa ekonomi kreatif harus menjadi pilihan dan tak terelakkan. Sebuah model ekonomi yang tak lagi mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam yang sifatnya terbatas dan eksklusif. Namun lebih mengandalkan pada kreativitas manusia sebagai faktor produksi utama.
Kreativitas merupakan sumber daya yang tidak terbatas dan inklusif. Tidak terbatas karena semakin dimanfaatkan, kreativitas tidak akan habis, justru memantik munculnya kreativitas-kreativitas baru.
Bersifat inklusif karena kreativitas merupakan hak milik semua orang. Siapapun memiliki daya kreativitas, tak peduli batasan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, maupun kedudukan sosial. Artinya, setiap orang berpeluang sama sebagai pelaku ekonomi kreatif.
Ekonomi kreatif bermula dari gebrakan Tony Blair pada tahun 1997 selaku Perdana Menteri Inggris yang membentuk Department of Culture, Media and Sports (DCMS) dan melahirkan Creative Industries Task Force (Gugus Tugas Industri Kreatif).
Sejak itu, kesadaran masyarakat akan kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian Inggris mulai bersemi. Melihat keberhasilan yang nyata, negara-negara lain lantas berlomba meniru Inggris.
Alhasil, Korea Selatan, Singapura dan Cina menjadi beberapa negara di Asia yang berhasil membangun daya saing negaranya melalui kebijakan ekonomi kreatif yang terbukti berdampak pada kemajuan ekonomi mereka.
Tidak luput Organisasi Pendidikan, Sains dan Budaya (UNESCO) PBB mengimbau seluruh negara anggotanya untuk membangun ekonomi negara melalui pengembangan ekonomi kreatif guna mencapai Development Millenium Goal (Sasaran Pembangunan Milenium).
Meski terlambat, beberapa tahun terakhir geliat ekonomi kreatif di Indonesia mulai terasa. Dalam skala makro, ekonomi kreatif mampu menunjukkan sumbangan yang positif.
Bahkan pada tahun 2019, PDB ekonomi kreatif diproyeksikan menembus 1.211 triliun rupiah (Badan Ekonomi Kreatif, 2019: 14). Menparekraf, Wishnutama Kusubandio, optimistis ekonomi kreatif akan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh OPUS Ekonomi Kreatif 2019, sektor ekonomi kreatif berkontribusi sebesar Rp 1.105 triliun terhadap PDB nasional. Nilai ekonomi tersebut disumbang dari 17 subsektor yang terdapat dalam ekonomi kreatif. Selain berkontribusi cukup tinggi, sektor ekonomi kreatif mampu meningkatkan angka serapan tenaga kerja sebanyak 17 juta orang selama satu tahun.