Lihat ke Halaman Asli

Wiranto

Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Menyemai Pendidikan Kritis dengan Pemanfaatan Sampah

Diperbarui: 20 Maret 2019   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Suatu saat kala mengajar Seni Budaya, iseng-iseng penulis mengajukan pertanyaan mengenai korupsi kepada anak didik kelas XII. Beraneka jawaban muncul sebatas pemahaman awam mereka mengenai pertanyaan itu. Peristiwa ini lantas memantik ide penulis untuk mengaitkan pembelajaran dengan kesadaran anti-korupsi. Akhirnya, pada materi Seni Rupa Kontemporer, penyikapan anak didik atas korupsi yang terjadi di negeri ini dijadikan sebagai tema penciptaan karya.

Inovasi pembelajaran ini penulis ikhtiarkan sebagai kurikulum tersembunyi mengenai pendidikan anti-korupsi kepada anak didik. Disebabkan latar belakang sosial mereka adalah lingkungan desa yang didominasi oleh warga berkemampuan ekonomi menengah ke bawah,  maka pembelajaran direncanakan berbiaya rendah namun memiliki efektifitas pembelajaran tinggi.

Pemanfaatan barang-barang bekas yang diperoleh dari sampah akhirnya menjadi pilihan. Mereka harus membuat sebuah karya Seni Kontemporer secara individu dengan cara merangkai barang-barang bekas tersebut. Karya yang dibuat harus mengandung makna simbolis yang mengait dengan korupsi. Karya disertai pula dengan konsep tulisan tangan serta dipresentasikan di hadapan guru dan siswa lain.

Awalnya penulis ragu terhadap hasil pembelajaran ini, mengingat tugas yang diberikan menuntut kemampuan kognitif tingkat tinggi seperti kemampuan aplikasi, analisis, dan sintesis. Kemampuan-kemampuan yang jarang mereka nikmati di sekolah ditelan maraknya model hafalan. Apalagi anak didik asuhan penulis kebanyakan hanya memiliki kemampuan akademik ala kadarnya.

Hasilnya cukup mengejutkan. Barang-barang bekas dari sampah mampu mereka racik menjadi sebuah karya yang kaya akan makna sosial, politis, maupun kultural. Diantaranya; Botol air mineral bekas berpadu bola plastik usang dan beberapa lembar kertas menjadi analogi cerdas mengenai makelar kasus sekaligus pandangan kritis mereka atasnya; Timbangan sederhana dari bambu, tali rafia bekas tali pembungkus, dan potongan bola plastik menjadi ilustrasi kritis tentang ketimpangan hukum dalam memperlakukan koruptor dan pencuri sandal.

Evaluasi bersama mengerucut pada kesimpulan bahwa tugas ini membuat mereka sadar akan pentingnya wawasan tajam dan kritis terhadap sebuah persoalan kehidupan. Inilah nilai penting dalam sebuah pembelajaran, tidak hanya sekedar menghafal dan menjawab soal seperti yang selama ini mereka lakukan.

Pendidikan Kritis Transitif

Mengajar anak didik agar mampu mengkritisi konteks kehidupannya amatlah penting agar mereka tidak menjadi korban. Orang yang kritis akan mampu melihat masalah dengan jelas, menempatkan dalam konteks yang sebenarnya, dan menemukan solusi yang mumpuni atas masalah tersebut baik bagi diri mereka maupun sesama.

Guru perlu menumbuhkan sikap kritis tersebut dalam pembelajaran di sekolah melalui model-model pembelajaran yang inovatif. Media yang digunakan selayaknya bisa diperoleh dari lingkungan sekitar dengan mudah dan murah. Apalagi jika pemanfaatan media ini mampu memberikan kontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup.

Apa makna pembelajaran di atas? Mengutip Freire (1984), pendidikan mestinya mampu membuat manusia menjadi transitif. Sebuah kemampuan untuk menangkap dan menanggapi masalah-masalah kehidupan serta "berdialog" dengannya. Tidak hanya dalam kaitannya dengan sesama, tetapi juga dengan dunia beserta segala isinya. Sebuah dialog yang dilandasi oleh kesadaran kritis, tidak manipulatif, dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan.

Sayangnya, apa yang dialami anak didik berbeda jauh dengan harapan Freire. Alih-alih memunculkan kemampuan transitif, sekolah justru mematikan anak didik melalui hafalan-hafalan yang asing dari realitas. Membekap mereka dengan pengetahuan-pengetahuan impor yang tak terpahami apa gunanya. Mematikan daya kritis anak didik dengan seperangkat aturan-aturan orang dewasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline