"Semua murid harus tenang. Tidak boleh ada suara sedikitpun. Bahkan ketika murid diminta maju untuk mengerjakan soal. Tidak boleh ada suara! Geser kursi atau meja pelan-pelan. Gerakkan tubuh perlahan. Tidak boleh ada suara! Apa yang akan murid alami jika terdengar suara, meski tak sengaja? Kuku sang guru akan menjewer telinga dan menariknya ke atas. Perih dan meninggalkan bekas. Murid meringis, guru senang."
Kisah di atas benar-benar pernah dialami penulis 29 tahun lalu. Sepertinya kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah, seperti yang dialami penulis, belum akan berhenti.
Buktinya, beberapa episode kekerasan yang dilakukan guru kerap muncul di media. Sungguh sebuah perilaku yang menciderai citra guru sebagai seorang pendidik.
Inilah guru-guru preman yang selalu "kehabisan metode" dan lebih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan di sekolah.
Fakta mengenai kekerasan seperti ini amatlah mengejutkan. Hasil penelitian yang dilakukan UNICEF pada tahun 2006 pada beberapa daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada anak didik dilakukan oleh guru.
Data terbaru dari KPAI selama tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 50% kasus kekerasan di sekolah melibatkan pelajar, baik sebagai korban maupun pelaku.
Sisanya berkaitan dengan pengajar. Sekolah dasar tercatat paling sering menjadi kekerasan, dengan persentase 50%, di susul SMA (34,7%) dan SMP (19,3%). Fakta ini menunjukkan bahwa sekolah menjadi salah satu tempat dalam menyemaikan tindakan kekerasan.
Amatlah tidak lazim dan bertentangan dengan landasan kependidikan serta kaidah pedagogis jika kekerasan sampai terjadi di sekolah, apalagi dilakukan oleh guru.
Sayangnya, cukup banyak guru kita yang menilai bahwa cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan anak didik (Phillip, 2007). Guru-guru ini kerap mengaitkan kekerasan dengan kedisiplinan dan menerapkannya dalam dunia pendidikan.
Istilah "tegas" dalam membina kedisiplinan anak didik identik dengan kata "keras". Kewibawaan guru dikaitkan dengan ketakutan anak didik melalui penggunaan model pendidikan kemiliteran yang sarat akan kekerasan.
Alih-alih mendidik, dalam konteks jangka panjang, kekerasan bisa memunculkan trauma psikologis pada anak didik. Mereka menyimpan dendam terhadap guru, makin kebal terhadap hukuman, serta cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Perilaku negatif ini pada akhirnya akan menyumbang pada langgengnya budaya kekerasan di dalam masyarakat.