"Rahman Belida" (film pendek hasil riset tanggal 25 Februari 2015) menjadi acuan pertama untuk pembuatan film kami. Masih ada pertanyaan lain yang ada di pikiran saya, yaitu, seputar peralatan yang akan dipakai pada saat syuting nanti. Terus terang, di antara kami bertiga yang punya alat hanya Dwi Yulius Kaisal, karena dia pemilik studio "Dwi Photo Gelumbang".
Saya sendiri punya laptop yang berkemungkinan bisa dipakai untuk editing, sedang Julfitri Wazirul Akbar punya lagu-lagu milik The Brunos yang bisa dijadikan latar musik. Berbekal 3 modal tersebut, kami meneruskan penggodokan film. Pertanyaan yang cukup mengganggu adalah, apa kami bisa menggabungkan hasil DSLR dengan hasil video syuting kawinan?
Saya pun melakukan testing menggabungkan 2 tipe file, dari DSLR dan dari video kawinan. Ternyata bedanya cukup jauh, karena kualitas DSLR jauh berbeda dengan kualitas video kawinan. Ini yang menjadi kendala utama, sebab kalau mengandalkan DSLR, maka kami hanya punya satu kamera. Tentu akan sulit membuat film panjang hanya dengan satu kamera saja.
Di sisi lain, permasalahan ekonomi juga melanda saya. Setelah tahun 2012 pemasukan mulai tak tentu lantaran harga tender karet selalu di bawah 10 ribu rupiah. Artinya, saya harus memprioritaskan kelangsungan hidup ketimbang membeli alat-alat tambahan. Harapan utama di awal tahun 2015 berasal dari honor menulis sebuah skenario film, malangnya, honor tersebut tidak kunjung dibayar bahkan konon Produsernya kehabisan uang. Saya sempat patah semangat, karena walau bagaimana pun, saya pernah janji untuk menambah equipment agar proses produksi jadi lancar. Saya pun tidak tega mengambil dari keuangan kebun, karena memang kondisi benar-benar berat. Satu hal yang paling bisa saya lakukan adalah tetap fokus mengerjakan persiapan produksi. Mungkin dengan cara ini saya bisa melupakan problema hidup dan tetap fokus membuat film.
Dengan segala kendala yang ada, saya pun mengajak Dwi Yulius Kaisal dan Julfitri Wazirul Akbar untuk survei sekali lagi. Berbekal telaah dari "Rahman Belida" dan "Sinopsis Where is My President?", saya memutuskan untuk membuat cerita yang aplikasi di lapangan nanti jadi mudah. Maksudnya bukan dalam rangka menggampangkan situasi, tapi justru mencari solusi dengan keterbatasan alat yang ada. Kami hanya punya satu kamera DSLR, dan itu adalah senjata Dwi untuk foto kawinan. Satu-satunya senjata yang kami punya untuk melakukan perekaman gambar.
5 April 2015 adalah riset kedua ke lokasi. Saya pun berdiskusi dengan Harun Roni (Kepala Sekolah MI Nurul Islam) mengenai kesulitan kami, sekaligus memberi masukan tentang rencana pembuatan film yang hanya memakai "satu lokasi". Di sinilah saya mulai memasukkan Roni sebagai tim "cerita" pada proses pembuatan skenario. Lucunya, saya jadi teringat sekitaran tahun 2000 dimana sempat hendak membuat film barengan paman Kaprawi Imyuh di daerah Segayam (lokasi-nya beda lagi). Bahan-bahan itu lantas saya catat, dengan harapan, bisa di-combine menjadi satu cerita utuh.