Lihat ke Halaman Asli

Yuk Mengurangi Konsumsi Nasi Putih!

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Bude Binda

Baca statistik tentang beras: Indonesia pengimpor beras terbesar di dunia. Data September 2011 1,62  juta ton. Devisa tersedot Rp8,5 triliun. Triwulan pertama 2012 impor 770,3 ribu ton beras senilai Rp3,8 triliun (420,7 dollar AS).

90 % beras dunia dikonsumsi orang Asia. Rata-rata konsumsi Asia 86 kg beras/tahun. Amerika 9 kg/tahun. Eropa 4 kg/tahun.

Orang Indonesia 168,9 kg/tahun. Thailand 153,1 kg/tahun. Filipina 111,1 kg/tahun. Cina 107,4 kg/tahun (Suara Merdeka Minggu 10 Juni 2012).

Pada tahun 1986 Indonesai pernah swasembada beras hingga Presiden Suharto mendapat penghargaan dari FAO badan pangan PBB.

Namun sayang swasembada beras itu tak terulang lagi, bahkan kita jadi importir beras yang rakus. Maklum penduduk bertambah sementara lahan sawah kian berkurang beralih menjadi perkantoran, perumahan, perdagangan dan keperluan lain.

Sebenarnya ada andil kesalahan pemerintah hingga kita menjadi terbiasa makan nasi sehari 3 piring hampir sepanjang tahun. Ironisnya sebenarnya kita kaya bahan pangan penghasil karbo hidrat non beras. Makanan pokok sebagian dari rakyat Indonesia dulu tidak melulu beras, ada ubi jalar di Papua, tepung sagu Ambon, ketela/thiwul di Gunung Kidul. Sebagian contoh. Namun kebijakan memberi beras jatah untuk rakyat miskin di seluruh Indonesia dituding jadi biang keladi penyebab ketergantungan  kita pada beras. Beras juga dijadikan komoditas politik. Pada masa orde baru pula orang yang makan selain beras (nasi jagung, thiwul, ubi jalar, sagu) dianggap tidak makmur. Sehingga makan beras jadi simbol kemakmuran dan keberhasilan ekonomi.

Ternyata akibat masyarakat yang dulu pengonsumsi non beras beralih jadi beras sangat  membebani  di masa kini. Dengan angka ekspor yang tinggi, penguras devisa yang jumlahnya luar biasa sekaligus kita menjadi kian jauh dari kedaulatan pangan.

Mungkinkah pola makan makanan pokok beras dapat divariasikan dengan pangan non beras yang diproduksi lokal? Mengingat sedemikian kaya hasil pertanian non beras yang ada di sekeliling kita. Ada jagung dengan nasi jagung yang bahkan kian populer dinyanyikan Trio Macan "Iwak Peyek Sego Jagung" (ikan rempeyek nasi jagung). Ketela pohon yang dapat diolah jadi thiwul atau tepung mocaf, keladi, sukun, ubi jalar, iles-iles/suweg, ganyong. Bahan makanan ini tumbuh dengan mudah, dapat ditanam di pekarangan, tidak memerlukan perawatan khusus. Lahan yang tidak luas pun cukup untuk membudidayakan jika akan dikonsumsi sendiri.

Saya optimis kalau masing-masing individu mau memvariasikan makanan pokoknya  tak melulu  beras  ketergantungan kita dengan impor beras dapat berkurang. Syukur-syukur suatu saat dapat berhenti impor. Kita akan swa sembada makanan pokok (karena kalau swa sembada beras tapi impor gandum kian meningkat ya  masih belum seperti yang diinginkan).

Ada satu desa di Wonogiri yang sukses melaksanakan program swasembada pangan dengan cara melakukan kegiatan hari Senin dan Kamis konsumsi thiwul. Semua warga desa taat pada aturan desa untuk tak makan nasi pada dua hari seminggu. Ternyata kegiatan ini berhasil menghemat konsumsi beras. Alhasil mereka meraih predikat desa mandiri pangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline