Lihat ke Halaman Asli

Emak

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh Bude Binda

Ibuku sudah pensiun. Dulu beliau guru SD. Emak pensiun tahun 2010,  saat  usianya 60 tahun. Bagiku emak perempuan hebat, walau saya tak suka dengan sifat pemarahnya. Emak sekolah SPG di saat banyak anak perempuan lain cukup sekolah di SD saja. Kebetulan kakek dan nenek cukup maju pemikirannya, sehingga kakek yang petani ini keempat anaknya disekolahkan semua. Dua jadi guru, satu perawat, dan satu petani seperti kakek.

Kakek juga membiarkan emak sekolah SPG sampai lulus walau saat masih sekolah sudah ada yang melamar. Jawaban kakek pada laki-laki yang melamar emak, "Anaknya sedang sekolah, silakan kalau sabar menunggu lulus". Ternyata tidak sabar, dia pun melamar perempuan lain dan menikah.

Lulus SPG emak mengajar di SD, walau sampai punya anak saya emak belum diangkat jadi PNS. Akhirnya emak jadi PNS juga. Saya anak sulungnya, lahir saat emak berusia 20 tahun. Emak menikah dengan bapak yang tak lain tetangganya. Bapak juga guru SD.

Emak mengajari  saya      untuk rajin sholat dengan mengatakan "Ti, anak perempuan kalau pakai rukuh tambah cantik lho!". Saya yang masih kecil, SD  kelas 1 atau 2 terpikat dengan kata-kata emak. Saya pun mulai sholat walau pakainya kain jarik bukan rukuh/mukena. Dulu anak kecil sholatnya masih pakai jarik karena mukena harganya terasa mahal saat itu. Setelah saya agak besar barulah dibelikan rukuh/mukena. Emak mengajak sholat dengan cara sederhana namun mengena, bukan dengan dalil atau menakut-nakuti tentang neraka.

Setelah saya sekolah di SMP dan SMA yang masih saya ingat kebiasan emak metani atau mencari kutu di kepala saya. Sepulang sekolah kalau sudah makan dan sholat dhuhur emak mencari kutu di rambut kepala, saya akan rebah tidur di paha beliau. Biasanya saya tertidur. Padahal kalau ketemu kutu atau lingsa/telur kutu emak mengambilnya dari rambut/kepala  dan terasa sakit. Sebenarnya kutu di kepala saya tak banyak hanya satu dua saja. Untunglah setelah dewasa kepalaku tak berkutu lagi tapi ganti ketombe. Ketombe ini malah lebih repot susah memberantasnya, walau sudah pakai shampo anti ketombe.

Emak selalu berpuasa saat anak-anaknya sedang tes atau ujian. Beliau akan bangun sholat malam untuk mendoakan anak-anaknya.

Semasa saya kuliah, kalau saya pulang emak akan sibuk membuat bekal untuk saya di kos-kosan. Kadang membuat sambal kacang, lain kali kering tempe, atau memasak serundeng. Emak  memang jago masak. Saat lebaran masakan emak lebih heboh lagi. Rempeyek  kacang, kering tempe, kering kentang, sambal kacang, keripik/seriping  pisang, kue satu.

Ketika saya akan kembali ke Yogya, emak akan menawari, "Mau bawa nasi, biar saya bungkus atau dibawa pakai rantang?". Herannya emak selalu menawari demikian padahal saya tak pernah mau bawa nasi plus lauk pauknya. Di tempat kos banyak warung yang jual nasi rames dengan harga murah, tak perlu bungkus dari rumah. Lucunya lagi, emak lebih baik menambah bekalku, bisa disuruh bawa beras, telur, dari pada menambah uang sakuku. Uang untuk sangu sebulan waktu itu tahun 1988-1994 Rp30.000.

Emak mendidik anak-anak perempuannya untuk bekerja setelah menikah. Kata emak perempuan akan lebih dihargai suaminya kalau bekerja. Emak juga sederhana saja saat memberi syarat untuk calon suamiku, "Yang penting seagama:Islam, dan sayang pada kamu". Sama sekali tak ada syarat muluk-muluk harus kaya, bertitel atau yang lain.

Emakku, yang kini beranjak tua. Cucunya telah empat. Sekarang kegiatannya mengantar dua ponakan kembarku sekolah di PAUD. Selain merawat bapak yang sakit-sakitan. Alhamdulillah beliau diberi kesehatan, keluhannya kadang kakinya sakit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline