Oleh Bude Binda
Di mana-mana warga disibukkan dengan pemotretan E KTP atau KTP elektronik. Setelah melihat di kantor kecamatan tetangga orang tiap hari antri foto, bahkan sejak saya berangkat kerja sampai pulang kerja masih ada yang antri, pemotretan belum selesai, akhirnya tibalah giliran di kecamatan saya juga dimulai pembuatan E KTP.
Tadi pagi-pagi Pak Bas, Kepala Dusun yang dulu disebut bau datang ke rumah mengantar surat undangan pemotretan E KTP. Di undangan tertera tulisan Hari Kamis, 4 Mei namun ternyata dimajukan jadi Selasa dimulai pukul 3 sore atau 15.00 WIB (bukan BBWI). "Kalau terpaksanya tak bisa hari ini, ya besok juga boleh", begitu pesannya.
Saya pun berdandan, ganti pakaian dan berangkat kerja seperti biasa. Semangat, kan hari ini tanggal 1 yang artinya ya gajian, terus bayar cicilan...he..he...itu kalau diriku, kalau dirimu, Anda tidak lah ya.....tidak beda?
Pulang kerja plus sudah dapat gaji, saya mampir ke kota untuk beli tabloid Cempaka yang ada memuat resepku "Pepes Tahu Sayuran". Sayangnya di toko buku Aneka sudah habis, ditunjukkan ke kios Sari Berita di taman kota/pusat kuliner eh sudah jalan ke sana panas dan akhirnya gerimis jadi sedikit kehujanan ternyata sudah tak ada stok.....yah sedikit kecewa. Ya sudah yang punya sekolah kusimpan, kalau teman-teman sudah baca.
Belanja sedikit barang yang di rumah sudah kehabisan, minyak goreng, teh, sikat gigi, beli juga sosis untuk bikin sup. Akhirnya menicil ke bank, menicil ke Mbak Ani (cicilan baju), dan beli bawang merah dan bawang putih (lho kok mirip judul dongeng). Akhirnya pulang. Sempat mau langsung ke kantor kecamatan tapi badan berkeringat tidak pede juga. Lelah juga, lebih baik pulang dulu.
Sampai rumah, ternyata suami tak ada, rupanya dia ke kecamatan. Sempat mikir kok diriku ditinggal? Tak lama dia pulang "Mah, kita dapat nomor antri 116 dan 117, masih banyak yang antri, baru sampai nomor 200-an, dari 300 nomor. Nah nanti mulai dari nomo1 lagi kita di yang kedua itu....". "Ya, sudah nanti saja berangkatnya". Saya pun mandi, sholat Ashar, baca koran. Usai Maghrib barulah berdandan siap-siap untuk berangkat antri foto.
Kami serombongan suami, aku, bapak dan emak berangkat ke kecamatan. Sampai di sana sekitar 10 menit jaraknya ya sekilometeranlah, ternyata masih banyak yang antri. Mbak Salamah tetanggaku ada di dekat pendapa "Nah kalau Pak Dwijo didahulukan nggak apa-apa, saya rela", begitu ucapnya. Memang bapak sudah tua dan tak terlalu sehat, untuk naik dan turun dari mobil saja dituntun. Suami dan emak yang menuntun. Memang akhirnya khusus untuk bapak dan emak dapat privelese untuk di potret duluan, tak antri seperti yang lain. Selesai potret suami mengantar dulu bapak dan emak pulang. Barulah dia kembali menungguku.
Saya duduk di sebelah Bulik. Bulik cerita sejak tadi banyak yang menerabas antrian, kalau orang tua dimaklumi, banyak juga yang muda yang ikut menerabas. Ada yang karena saudara Mbak Sar pegawai kecamatan, ada yang tetangga Pak Lesmono Kadus.
Baru saja heboh, karena Bu Prapto dan Parti saat listrik padam masuk ke dalam kantor tempat nomor yang dipanggil duduk rapi antri difoto, alasannya untuk buang air kecil. Namun saat listrik menyala mereka berdua sudah duduk manis di kursi yang nomornya dipanggil, padahal nomor antri mereka masih belum saatnya dipanggil. Yang duduk di pendapa pun ramai beberapa maju ke depan petugas protes, akhirnya mereka malu, belum disuruh pergi petugas mereka sudah ke luar dari ruang disambut huuuuuuu, koor panjang dari orang-orang di pendapa.
Ada juga yang tetap di dalam walau diprotes, akhirnya saat ada nomor dipanggil tak ada yang datang, dia duduk di nomor itu. Jadilah mestinya nomor 100 lebih dapat antri untuk yang mestinya nomor 90......