Lihat ke Halaman Asli

Renungan Akhir Tahun

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini akhir dari tahun 1431 Hijriah, memasuki tahun 1432 Hijriah.

Ada beberapa  hal yang patut kita renungkan di pergantian tahun ini. Sudahkah kita mengisi tahun lalu dengan kegiatan-kegiatan yang positif? Selama setahun apakah kita banyak melakukan pemikiran dan tindakan yang bijak? Sudahkah kita bersyukur terhadap nikmat Allah SWT yang melimpah tak terhitung banyaknya?

Saya hari ini Senin  penghujung tahun, menemui beberapa orang yang mengilhami saya . Mereka orang-orang biasa, bahkan bislah disebut rakyat jelata. Namun ku merasa mereka telah memberiku pelajaran berharga!

Tadi saya menunggu rombongan teman-teman yang akan menjenguk Ibu Pak Budi yang sakit di rumah sakit Emanuel, Klampok. Cukup lama juga saya menanti di pinggir jalan  depan kios penjual helm. Saya tengah berdiri saat ada seseorang yang bilang "Mbak nukar uang ada?". " Ada, Pak!". Spontan saya membuka dompet uang dari laki-laki muda berkulit legam itu saya terima. Selembar uang dua puluh ribuan saya ganti menjadi selembar sepuluh ribuan dan dua lembar uang lima ribu. "Terima kasih Mbak!", demikian si laki-laki bercaping menyampaikan terima kasihnya.

Saya masih berdiri menunggu ketika ada becak lewat di sebelah saya, dan tukang becaknya mengucap "Terima kasih Mbak!". Ternyata laki-laki yang menukar uang tadi, tukang becak yang rupanya kesulitan memberi uang kembalian pada penumpangnya dan dengan tulus mengucapkan terima kasih untuk tukaran uangku tadi. Sungguh aku suka pada terima kasih yang sedemikian tulus ia ucapkan. Jauh dari terima kasih basa-basi pramuniaga super market atau bahkan terima kasih pejabat yang kadang hanya pemanis bibir belaka.

Karena lelah berdiri  saya duduk di bangku yang ada di emper kios helm. Tak lama datang penjual jajan keliling yang menawarkan jualannya. Saya pun melihat-lihat jajan yang dijual dan membeli  1 bungkus nasi rames yang harganya hanya dua ribu rupiah saja dan satu lumpia seharga seribu rupiah. Perutku memang lapar sedari pagi belum ketemu nasi walau sudah makan kudapan di sekolah. Ibu penjual bercerita kalau hari ini dia kecele masuk ke kantor ternyata kantor tutup karena pegawainy sednag cuti bersama libur 1 Muharam. Saya merasa kasihan , namun akhirnya keluar dari mulutku" Nggak apa-apa Bu, tawarkan saja jualan Ibu pada orang-orang yang Ibu temui, seperti saya kan beli Bu". "Ya , Bu telaten semoga nanti lama-lama habis jualan saya". " Terima kasih Bu!". Satu lagi ucapan terima kasih dengan mata yang memnacarkan sorot ketulusan dan kerja keras.

Akhirnya setelah saya sekian lama menanti mobil yang membawa rombongan teman-teman datang, saya pun naik dan perjalanan lancar sampai ke rumah sakit dan menengok Bu Kartinah Ibunda Pak Budi yang sakit gejala stroke.

Pada sore harinya saya pergi lagi dengan suami. Ke toko Ratna membeli staples besar untuk sekolah, staples sekolah patah. Dilanjutkan ke rumah Bapak Pengawas minta tanda tangan berita acara penyusunan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Sampai di rumah beliau Pak Pengawas ada dan lancar-lancar saja beliau membubuhkan tanda tangan. Kritik hanya penggunaan kata saudara sebelum nama penanda tangan pada berita cara. Mestinya tanpa saudara.

Karena sudah Maghrib saya pamit, kami berhenti di masjid An Nur untuk menunaikan sholat. Saya yang sedang berhalangan menunggu suami di pinggir alun-alun depan masjid. Kebetulan di dekat saya ada penjual Empek-empek kesukaan saya. Saya pun membeli dan bertanya jawab dengan Mas penjulanya. "Mas, jaulan sejak jam berapa?" " Jam tiga Bu, tadi hujan "." Mas rumahnya mana?". "Gemuruh Bu". "Lho sama seperti Pak Tua yang jual empek-empek itu, apa Mas putranya?". Si Mas menjawab sambil tersenyum "Ya, bu saya anaknya, kemarin ada yang membeli dan bilang kok rasanya sama seperti yang dijual Bapak, saya memang anaknya, satu produksi".

Mas Trisno, begitu nama Mas itu setelah belakangan saya tanya namanya, bercerita kalau yang membuat empek-empek masih ayahnya, bahkan kalau dibantu tidak mau. Dia tinggal menjajakan dan menggoreng   kalau ada yang membeli. Sering dipesan untuk acara arisan atau acara lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline