Lihat ke Halaman Asli

They Were Never Gave Me a Farewell

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cerita foto : Sukabumi, 11 September 2011 Kiri ke kanan : Reza, Ael, Danan, Ira, saya, Christine, Arman, Adi, Dimas Sudah lebih dari sebulan berlalu, tapi saya tak pernah kehilangan semangat untuk mengabadikan ini dalam sebuah tulisan. Saya tak akan menemukan cerita ini jika saja saya tidak pernah memutuskan untuk hijrah ke Jogja mengikuti suami yang sudah terlebih dahulu pindah. Kenyataannya saya telah memutuskan hal tersebut, berbulan-bulan sebelumnya. Dan waktu yang tak dapat dihindari pun datang, waktu untuk mengeksekusi keputusan tersebut. Dua puluh dua Agustus 2011 saya menyampaikan pengunduran diri saya kepada atasan saya, dan Dua puluh enam September berikutnya dapat dikatakan hari terakhir saya berada di kantor terakhir yang telah menjadikan saya seorang pekerja. Dari sanalah kemudian saya akan merintis karir selanjutnya yang bukan sebagai seorang pekerja. Apapun yang akan saya lakukan setelah 'resign', 'hari terakhir' ini tetaplah harus saya hadapi. Dapat dikatakan bahwa ini bukanlah perkara mudah bagi saya, mengingat orang-orang yang akan saya tinggalkan. Saya mengkategorikan mereka sebagai 'teman-teman' dan untuk sementara anda mungkin tidak dapat mengukur kedalaman hubungan itu bagi saya, sampai anda selesai membaca tulisan ini. Christine Rose Ohoylan dan Pesta Perpisahan Kejutan Tanggal 26 September 2011 jatuh pada hari senin, tepat sehari sebelumnya saya dan suami mendapatkan undangan makan malam dari salah satu teman kantor saya. Namanya Christine Ohoylan, gadis berkebangsaan Filipina yang baru bergabung dengan departemen kami tidak lebih dari empat bulan. Kami menyambutnya dengan sukacita sejak kedatangannya dari Filipina. Kami bahkan mengadakan beberapa perjalanan bersama khusus untuk memperkenalkan Indonesia kepadanya.Perjalanan-perjalanan itu bukan hanya karena kesenangan kami menyambutnya, tetapi lebih besar karena Christine adalah pribadi yang berbeda dengan puluhan ekspatriat lain yang pernah hadir di kantor kami. Ia tak hanya cantik, namun juga memiliki kemampuan melebur yang luar biasa dengan kami. Anda harus percaya bahwa ia telah bergabung makan siang bersama kami kemanapun kami pergi. Bahkan ketika 'tanggal tua' datang dan kami memutuskan untuk makan siang di berbagai tempat makan kaki lima, dipinggir Jakarta. Perjalanan pertama yang kami lakukan untuknya adalah pada akhir pekan pertama ia berada di Jakarta. Dengan berani ia menyetujui ajakan kami dalam hitungan detik. Sesuatu yang mungkin tidak mampu saya lakukan. Saya tidak akan mampu menyerahkan diri saya pada sekelompok orang asing, dinegara yang sangat asing, pada minggu pertama saya berada di negara tersebut. Dari sanalah kami tahu bahwa, ia mempercayai kami. Bagi saya pribadi, adalah suatu kesenangan untuk menjelaskan padanya ini dan itu, terutama bila setelah itu Ia akan menyambut penjelasan saya dengan wajah penuh rasa ingin tahu. Tak pernah sekalipun ia mengabaikan informasi yang saya dan teman-teman sampaikan. Bahkan ketika kami menjelaskannya secara berlebihan, ia seolah ingin menelannya bulat-bulat. Tentu semua itu ditambah bonus-bonus lain saat kami mendapat kesempatan untuk menyerap begitu banyak informasi darinya mengenai negaranya, Filipina. Saya dan suami pernah mengatur sebuah perjalanan ke Monumen Nasional dan berbagai objek lain di Jakarta. Christine mengungkapkan bahwa ia sangat senang dengan tur singkat itu. Kami lalu berteman sangat baik dari hari ke hari. Saya sangat menikmati membantunya mengatasi asingnya negara ini, itu merupakan kesenangan sendiri bagi saya.dan saya sungguh tidak mengerti, mengapa ia harus begitu sering mengucapkan terima kasih untuk kesenangan yang saya peroleh ini. ************** Minggu sore itu saya dan suami datang ke apartemen Christine atas undangan makan malam yang sudah disampaikannya beberapa hari sebelumnya. Saya sangat yakin Christine akan memperkenalkan kami dengan teman laki-lakinya. Maka saya berpakaian cukup santai dan cukup siap untuk makan malam dimana bukan saya objek perayaannya. Kami tiba pukul 6 lebih 15 menit, terlambat lima belas menit dari perjanjian kami. Ketika pintu dibukakan saya tidak menemui wajah asing, seperti yang saya bayangkan. Dalam hitungan detik, saya telah mengenali semua wajah dalam ruangan itu; dimulai dari Christine tentunya, lalu Mbak Ira, Mbak Wiwi, Dimas, Reza dan seorang gadis cantik yan g - meskipun belum pernah saya temui- saya yakin adalah Dwi-kekasih Danan. Kemana teman laki-laki yang akan dikenalkan Christine ? Tidak ada, ya tentu saja tidak ada. Itu hanya skenario dan saya sedang diberi kejutan. Lebih tepatnya pesta kejutan karena ada begitu banyak makanan dan minuman yang tersedia. Belakangan saya tahu bahwa mereka mempersiapkan itu semua dalam rangka perpisahan saya. Wow! Danan dan Adi bergabung sepuluh menit kemudian. Lalu Elang datang membawa dua loyang pizza yang lezat. Dan akhirnya Ael (yang saat itu baru beberapa jam tiba dari Malang) datang membawa seloyang besar brownies dan seloyang besar salad buah segar. Ia membuat kedua menu itu sendiri. Saya terkejut untuk itu. Saya lalu bertanya mengenai isi kotak merah diujung meja dan mereka meminta saya membukanya sendiri. Ternyata isinya adalah farewell cake bertuliskan 'Lebih sukses & bahagia Chonie'. Jantung saya ciut, mata saya berusaha keras membendung tetesan airnya. Mereka bahkan memberikan saya sebuah kalung bertema etnik yang (yang menurut mereka'Chonie banget') diakhir acara. Jika anda mengenal saya dan melihat kalung itu, anda akan tahu bahwa kalung itu adalah benar-benar 'Chonie banget'. Astaga. Mereka sangat serius untuk ini. Sangat serius untuk berpisah.

Pesta itu berakhir pukul sebelas, atau lebih tepatnya saat kami tak sanggup lagi untuk makan. Farewell cakebahkan belum tersentuh. Kami sepakat untuk membawanya ke kantor esok harinya dan menikmatinya bersama seluruh teman kantor di departemen kami. Saya mengakhiri malam itu dengan sebuah pidato yang tak pernah berakhir. Pada akhirnya, keahlian saya berdiplomasi sungguh tak terpakai disaat-saat seperti itu. Saya hanya mampu mengucapkan doa panjang didalam hati saya untuk mereka, untuk masa depan mereka, untuk masa depan kami.

cerita foto : mereka yang hadir pada 'farewell party' (duduk-depan) kiri ke kanan; Reza, Christine, saya (duduk-belakang); Elang, Dwi, Dimas, Ira, Wiwi (berdiri); Adi, Danan Hari Terakhir (The Last Day) Esok harinya, seperti yang sudah menjadi tradisi bagi mereka yang merayakan hari terakhir kerja, saya menyediakan makan siang sederhana bagi semua teman se-divisi, dengan 'farewell cake' semalam sebagaidesertnya. Saat membagikan potongan-potongan farewell cake tersebut atasan saya berkomentar; "Cakenya enak banget, Chonie. Kamu beli dimana?". Saya menjawab; "Saya nggak beli Bu. Itu diberikan teman-teman saya sebagai farewell cake." Tanpa mengetahui siapa orang-orang yang saya maksud 'teman-teman' atasan saya lantas berkomentar "Baik banget teman-teman kamu". Saya merasakan beberapa orang menahan napas senang dibelakang saya. Mereka tak lain adalah orang-orang baik hati yang telah dipuji oleh atasan saya. *********** Menjelang senja tibalah saatnya saya mengintari beberapa bagian kantor untuk berpamitan dan ketika saya kembali ke ruangan departemen kami, diatas meja telah tergeletak sebuah kado berupa kotak besar yang saya tahu adalah hadiah perpisahan dari divisi ini. Ini juga adalah tradisi yang kami lakukan bagi mereka yang akan berhenti bekerja. Namun jika biasanya saya ikut mempersiapkan kado, kali ini sayalah sasaran kado itu. Saya tidak tahu harus senang atau sedih dengan kenyataan itu. Dari komentar-komentar yang saya dengar, kado itu dipersiapkan oleh sedikitnya dua orang yaitu Mbak Ira & Danan. Isinya (lagi-lagi sesuai tradisi) tentulah hasil dari usulan beberapa orang. Ada empat isi kado tersebut; yang pertama buku, yang kedua buku, yang ketiga dan keempat pun buku. Saya tahu bahwa seketika saya tidak dapat menyembunyikan mata saya yang berbinar-binar. Kali ini bukan hanya karena mendapat beberapa buku, tapi lebih tepatnya karena...; Oh, baiklah ... Apakah tak ada hal yang tak mereka ketahui? Sampai-sampai mereka tahu bahwa 'buku saja' dapat membuat saya begitu girang. Rasanya saya telah terlalu banyak bicara tentang diri saya. Nah, ada kisah dibalik setiap buku yang mereka berikan; 1. 600 Koleksi Resep Mr. Chef (karya Ny Prudianti Tedjokusuma) Om Erwin berteriak paling keras mengomentari buku ini; "Dipelajari semua ya Chon. Ntar klo kita ke Jogja kita test loh." Hoahh... Baiklah. Tak cukup buruk bagi mereka untuk tahu bahwa saya adalah ibu rumah tangga yang tak pandai dalam meracik makanan. Kini mereka beniat menguji saya dengan resep-resep 'tingkat tinggi' itu. Tunggu sampai saya menjadi koki handal! 2. The Host (novel kedua karya Stephanie Meyer setelah Twilight Series yang fenomenal itu) Kira-kira seminggu sebelum hari itu, terkisahlah sebuah kejadian aneh yang baru saya ketahui jawabannya kemudian. Hari itu saat malam menjelang dan saya akan lembur. Seperti biasa saya mengajak Mbak Ira untuk makan malam sebelum melanjutkan bekerja. Mbak Ira sempat menolak, namun karena saya merengek... Akhirnya meng-iya-kan ajakan saya. Ia lalu bertanya, "Chon, gue lagi mo beli buku nih. Buku apa yah enaknya?" Berhubung kami sama-sama penggemar karya Stephanie Meyer saya lantas menjawab dengan cepat, "The Host aja mbak... Penasaran juga tuh pengen baca. Kalo loe beli entar gue pinjem deh... hehehe." Anehnya, ketika tiba waktunya makan malam, saya tidak menemukan Mbak Ira di setiap sudut kantor. Banyak yang bilang ia sudah pulang dan saya terpaksa percaya itu. Seminggu setelah itu barulah saya tahu bahwa ternyata di toko bukulah Mbak Ira berada saat itu, memilihkan beberapa buku untuk saya dan memastikan The Host ada diantara buku-buku itu. 3. The White Mughals (William Darlymple) Tak ada ceritaistimewa dibalik buku ini selain kebiasaan Danan dalam membeli buku; yaitu terpengaruh pada label 'Best Seller' atau 'The Winner of bla bla bla'. Untunglah isi buku ini benar-benar semenarik labelnya. 4. Nulis Cerpen Yuk! (Mohammad Diponegoro) Dari pemberian atas buku inilah saya sadar bahwa teman-teman saya telah mengetahui arah dari resignation ini. Paling tidak beberapa dari mereka (atau minimal mereka yang berburu hadiah ini) tahu bahwa hidup saya adalah untuk menjadi... Pencerita. Bahwa disinilah seharusnya saya berada; Didalam cerita-cerita yang akan saya sampaikan dan diantara pendengar-pembaca-penonton-penikmat-pengkritik cerita-cerita itu. Tempat yang mungkin tak sehangat persahabatan dan perhatian mereka, namun membuka lebih banyak pintu bagi hidup saya untuk berguna bagi alam semesta.

cerita foto : seluruh hadiah perpisahan yang saya terima kalung berbandul fosil besar merah itu pemberian Mbak Ira & Mbak Wiwi *************** Seperti biasa, selalu ada kartu yang menyertai kado perpisahan. Beberapa orang mengucapkan salam perpisahan dan mendoakan yang terbaik bagi saya. Sebagian besar (seperti yang tercantum dalam kartu ucapan pernikahan dan kartu ucapan ulang tahun beberapa bulan sebelumnya) mendoakan agar saya secepatnya hamil. Hmm... Sejenak saya lupa bahwa bagi mereka saya masih 'pengantin baru'. Tapi, ayolah teman-teman... This is a farewell... Haruskah doa yang itu lagi? ;p Kado dibuka, foto-foto diabadikan, dan satu-persatu orang berpamitan pulang. Mereka lalu memberikan saya ruangan dan waktu untuk membingkai satu demi satu sosok yang telah mengisi hari-hari saya selama tiga tahun terakhir ini; Ibu - Tan Mei Nie - The Real Boss Ibu Mei Nie yang pertama pamit pulang. Ialah boss terakhir saya. Sosok tegas-pantang-lalai yang prestasinya selalu membuat saya terkagum-kagum, ekspatriat yang telah sedemikian melebur dengan bangsa ini, namun di lain sisi juga adalah ibu yang tak pernah tertinggal satu hal pun mengenai anaknya - Megan. Saya pernah menjadi begitu gentar dengan didikannya, namun tak pernah menyesal akan begitu banyak nilai hidup yang telah mengkristal sepanjang sepak terjang saya menjadi asistennya. Saya berani bertaruh bahwa mental yang saya miliki sekarang tak akan pernah sebegitu tajam jika saya tak pernah bekerja untuknya. Kualitas tanpa ampun telah menjadi bagian hidup saya. Seberapapun persentasenya, tetaplah harta bagi saya, mengingat kualitas saya ketika hari pertama duduk di meja kantor itu. Percayalah, saya payah sekali waktu itu. Kini, telah hampir tiga tahun berlalu dan saya tak tahu dari mana Ibu Mei Nie mendapatkan kesabaran sebesar itu untuk menghadapi dan menerima banyak kelalaian saya. Suatu hari, beliau menyampaikan rahasia yang membuatnya bertahan dengan kualitas saya yang sangat seadanya... Yaitu kepercayaan yang telah teruji. Saya kemudian merenungkan bahwa bagi manusia, kepercayaan selalu berhubungan erat dengan hati yang nyaman. Dan oh benarlah... Saya telah lama tahu bahwa pasti ada satu titik dimana saya mampu mengimbangi super woman ini.

cerita foto : Buka Bersama 2011. Marche Plaza Senayan kiri ke kanan : Pak Ibba, Om Erwin, Ael Kelompok Bapak-Bapak (Ahmad Barnaba, Wiyanto & Budianto) Pak Ibba pamit setengah jam setelah Bu Mei Nie. Ia adalah Bapak dari dua gadis mungil yang cantik. Ia hadir dikantor ini hampir setengah tahun lamanya dan adalah orang pria pertama diruangan ini yang membahas tentang buku dengan saya. Oh senangnya... Pariwisata, kesenian, budaya dan fotografi adalah topik-topik yang menarik untuk dibahas bersamanya. Yang mengagumkan adalah, ia selalu mengajak kedua putri kecilnya kemanapun ia berwisata, seakan meregenerasi rasa ingin tahu yang dalam dari dirinya. Bahkan saat istrinya harus bertugas dan tak mendampinginya, ia tak pernah terlihat repot dengan gadis-gadis pintar itu. Sungguh ayah yang baik. Menyenangkan rasanya melihat orang tua yang memiliki begitu banyak pengetahuan untuk dibagikan pada anak-anaknya. Pak Budi menyusul satu jam kemudian, menyalami saya dan keluar dari ruangan. Saya mencatatnya sebagai seorang pecinta keluarga dan sampai saat ini pun saya tidak meragukannya. Tidak banyak kesempatan bagi saya untuk mengenal Pak Budi lebih banyak karena pekerjaannya yang sangat padat. Namun jika ia menjadi satu-satunya orang yang dipercaya menjadi bendahara disini, maka pastilah ia orang yang sangat telaten. Saya sering kali dengan tak sengaja mengintip meja dan lacinya rapih tak bercela. Menurut Bu Mei Nie, itu sudah menjadi kebiasaannya sejak lama. Dari sanalah saya berangan-angan bahwa; demikian rapih jugalah ia menjaga keluarganya. Sepuluh menit kemudian giliran Pak Yanto yang berpamitan. Kami selalu menghormatinya sebesar ia menghormati setiap orang dengan kesabaran penuh. Tanyakan saja kepada tim nya berapa kali ia marah, maka mereka akan kesulitan untuk mengingat masa-masa dimana ia marah. Dengan demikian tidak diragukan lagi jika Pak Yanto ternyata adalah orang pertama di departemen ini yang bergabung di perusahaan ini, bahkan sebelum Bu Mei Nie. Dapatkah anda bayangkan loyalitas yang telah ia pertahankan? Belakangan ketika saya hidup di Jogja dan memperhatikan kesetiaan para abdi dalem keraton, barulah saya dapat memahami loyalitas pekerja seperti Pak Yanto. Loyalitas yang mengedepankan hubungan baik diatas apapun, menghindari masalah untuk kenyamanan bersama. Loyalitas 'khas Jawi', begitulah saya menyebutnya. Wiwi Widiayaningsih Mbak Wiwi lalu menghampiri saya untuk menjadi yang selanjutnya berpamitan. Oh baiklah, saatnya berpisah dengan salah satu wanita yang saya kagumi diruangan ini. Tak banyak yang memahami prinsip-prinsipnya, namun saya percaya siapapun gentar oleh prinsip-prinsip tersebut (dengan atau tanpa mereka mengerti). Mbak Wiwi sangat peka terhadap detail sekecil apapun. Ia memperhatikan, menilai dan menimbang semua yang berhasil ditangkapnya. Tak ada detail yang terlewatkan olehnya. Pernahkah anda mengenal wanita yang membeli lebih dari satu asuransi, membayarnya secara teratur, lalu memastikan semua polis telah terbayar sebelum pergi berlibur ? Anda harus percaya bahwa semuanya itu dilakukannya agar bila sesuatu-yang-buruk-terjadi-pada-dirinya, tak ada celah baginya untuk merepotkan orang-orang yang ia kasihi. Mbak Wiwi adalah salah satu dari wanita-wanita langka itu. Hidup dan semua sejarahnya telah membentuknya menjadi pribadi yang demikian. Entah berapa lama ia melatih dirinya untuk selalu mempertimbangkan begitu banyak hal hanya untuk satu atau dua tindakan. Saya juga tak bisa membayangkan berapa banyak orang yang telah terbantu oleh kesiagaannya. Saya adalah salah seorang dari mereka. Sungguh jangan salahkan saya jika dalam banyak detail saya telah meminta pertimbangan darinya. Oh well, dia orang yang tepat untuk mendapatkan setiap referensi, juga tentunya orang yang dengan senang hari membagikannya. Lalu apakah ia membagikannya dengan tanggung-tanggung? Tidak. Ia bahkan telah terlibat begitu banyak dalam pembuatan gaun pengantin saya, bahkan jauh sebelum kebanyakan orang mengetahui rencana pernikahan saya. Saya telah begitu mempercayai instingnya, terutama karena sebagai sesama perempuan kami punya selera yang sama. Erwin Darmawan Orang berikutnya menghampiri saya dan mengulurkan tangannya, dialah Erwin Darmawan. Semua orang memanggilnga dengan sebutan 'Om', yang tentu saja sesuai dengan fungsinya sebagai penasehat. Semua orang tak ingin melewatkan kesempatan untuk melibatkannya dalam setiap kegiatan, formal maupun informal. Rasanya semua orang diruangan ini, termasuk Ibu Mei Nie meminta pertimbangannya. Pendapatnya bagai verifikasi, bahkan terkadang dianggap dukungan. Tak pernah terlalu klasik untuk mereka yang muda, juga tak pernah kontradiktif untuk mereka yang matang. Masuk akal... sangat masuk akal. Bahkan jika saya menyimpulkan semua hal tentang Om Erwin sebagai 'potensi kepemimpinan', anda pasti setuju. Kadang diakhir hari yang sangat buruk, ketika telah banyak respon dan kata-kata buruk terlempar dari diri saya, saya akan kembali kepada sebuah intisari yang biasanya berasal dari Om Erwin. Kesimpulan yang benar, kira-kira itu yang telah seringkali dialirkannya dengan baik. Saya tahu bahwa saya bukan satu-satunya orang yang mendapatkan hal tersebut dari Om Erwin. Siapapun setuju bahwa satu atau beberapa hari diruangan ini tanpa kehadirannya pasti terasa berbeda. Sementara saya akan menghadapi sisa hari-hari tanpa ruangan ini... Saya tahu, saya akan melewatkan banyak sekali intisari berharga dari Om Erwin. Tapi bukankah hidup itu tepat seperti kutipan yang sering ia lontarkan berikut ini; Hidup hanya ada dua kemungkinan; Baik... atau... Baik Sekali. Maka tidak ada yang buruk dengan perpisahan ini. Karena saatnya membuat apa yang baik menjadi baik sekali dengan cara menemukan sendiri... kesimpulan yang benar. Bezaleel Jehosaphat Inkiriwang "Mbak gue pamit yaa..." suara itu datang dari seberang partisi meja saya. Ael (begitu kami memanggilnya), pemilik suara itu duduk tepat didepan saya. Mengulurkan tangannya. Biasanya saya langsung mengangkat wajah dan menjawabnya dengan senang hati, namun alangkah malasnya kali itu, mengingat ia akan pamit pulang setelah itu dan entah kapan kesempatan untuk bertetangga dengannya datang lagi. Diawal kehadirannya di departemen ini, kami memandangnya sedemikian rupa karena Ael memiliki hubungan keluarga dengan salah satu pemilik perusahaan. Tapi pandangan kami berputar seiring dengan berjalannya waktu kebersamaan kami dengannya. Ael adalah dirinya sendiri, bukan keluarganya, bukan orang lain. Anda harus percaya itu! Rasanya hanya sedikit orang yang mau memulai karirnya dari seorang junior ketika ia punya kesempatan untuk lebih dari itu. Ael telah memilih itu. Ia hanya membawa dua hal dari keluarganya, yaitu loyalitas dan kepedulian tinggi. Ini berlaku bukan hanya untuk pekerjaannya namun juga bagi setiap kami teman-temannya. Ia telah menghabiskan begitu banyak waktu dengan kami dan tak pernah menganggap kami tidak ada, bahkan ketika kami benar-benar absen. Ia selalu memastikan kami tidak ketinggalan. Ini berlaku untuk setiap hal; informasi, kesempatan, fasilitas dan tentu saja... makanan. Dalam waktu singkat ia telah mengingatkan kami tentang bagaimana merayakan kebersamaan sehingga kami dapat saling mengenal lebih dari sekedar profesionalisme. Beberapa dari kami bahkan belajar cara menikmati hidup darinya. Suatu hari ketika kami mencoba mempersiapkan kado ulang tahun untuk Ael, kami mempersiapkannya dengan sangat hati-hati mengingat standar konsumsinya yang tidak main-main. Lalu dengan semua keterbatasan kami lantas mencari hadiah bukan karena harganya, tapi lebih kepada fungsi. Kami (pada waktu itu) cukup siap untuk menerima sambutan datar dari Ael. Namun hal sebaliknya yang kami dapatkan. Saya sendiri (yang adalah tetangga didepan meja Ael) mendapati air muka sumringah dan reaksi sangat senang pada wajah Ael. Begitulah Ael, menghargai apapun yang dipersiapkan dengan hati. Sejak itu kami tahu bahwa kami tak perlu menyamai standar apapun untuk berteman dengan nya. Reynaldo Syahril (Dodo) Tak sampai lima meter dari saya, Dodo telah mengancing jaketnya dan memanggul tas punggungnya. Seketika saya mengerti bahwa ialah yang akan segera pulang berikutnya. Pria paling polos yang pernah ada di departemen ini, begitulah saya menilainya. Saya sempat berpikir untuk me-museum-kannya, mengingat betapa langkanya tipe pria seperti dia di jaman ini. Lurus - lurus saja jalan yang ditempuh, sekecil-kecilnya resiko yang diambil, sebanyak-banyaknya mendengarkan, seaman-amannya reaksi yang dimunculkan dan sebaik-baiknya kata yang diucapkan. Demikianlah citra Dodo dimata kebanyakan orang. Citra tersebut tentu jauh dari kriteria pemberani yang dikedepankan oleh kebanyakan pria. Kami selalu menggodanya bahwa oleh karakter-karakter tersebutlah ia belum mendapatkan banyak hal, termasuk jodohnya. Namun dalam sebuah pembicaraan singkat dalam perjalanan pulang setelah lembur, saya menemukan alasan lain dari semua karakter itu. Mengedepankan kepentingan banyak orang termasuk keluarga, perusahaan dan teman-teman diatas semua kepentingannya. Saya lantas semakin tak habis pikir namun langsung bisa menebak keputusan-keputusan yang akan ia ambil dihari-hari mendatang. Dalam banyak keputusan, orang dapat menyebutnya bukan pemberani. Tapi dalam banyak kesempatan orang-orang itu pastilah termasuk mereka yang memperoleh keuntungan dan kepentingan dari waktu-waktu ketika Dodo memilih sikap berhati-hati, mengalah atau mundur. Bahwa kemenangan besar kerap menanti sebagai hadiah bagi orang-orang seperti Dodo, adalah kemungkinan yang harus kita tunggu. Danan Wirawan Danan lalu beranjak dari tempat duduknya, kali ini bukan untuk pulang tapi untuk mengambil waktu merokok dibawah. Walaupun demikian saya tetap teringat akan profilnya dalam hari-hari saya. Adalah teman terbaik yang membuat saya begitu cocok mengobrol dengannya atas nama karakter sensitifitas yang sama-sama kami miliki. Adalah orang yang tepat untuk berbicara tentang kehidupan dan segala visinya. Adalah orang yang tepat untuk berbagi kepekaan-kepekaan yang mungkin lelucon bagi kebanyakan orang. Juga adalah orang yang tepat untuk memamerkan karya, karna daya apresiasinya yang selalu menghargai sekecil apapun jerih karsa orang lain. Perbincangan kami bermula dari sebuah malam lembur yang nyaman. Saya telah secara tidak sengaja mengingatkannya pada sebuah kata sakti yaitu Passion, yang kemudian mengalir menjadi perenungan tanpa akhir baginya. Saya terkejut bahwa kata itu berhasil dan tidak dianggap 'topik balon angin' (yang begitu mudah dikembungkan dan sedetik kemudian kempis) seperti kebanyakan orang yang mendengarnya. Danan telah menangggapinya, lebih tepatnya menangkapnya dengan cara yang berbeda. Seperti kata itu adalah bagian darinya, seperti tujuan hidupnya telah terpampang jelas didepan matanya. Seakan semua logam mulia telah berenang - renang disekitarnya dan hanya tinggal menunggu waktunya, mereka akan muncul ke permukaan. Saat itulah saya tahu bahwa Danan berbeda. Kami menilai dan mengejawatahkan banyak hal sejak itu (dengan senang hati). Sehingga saat akan berpisah, saya tahu bahwa Danan akan bertemu dengan lebih banyak teman berbagi visi lagi selain saya. Kami masih punya tugas besar nanti, yaitu saling menagih semua hal yang telah kami bahas di pertemuan berikutnya. Jika saya tidak sedih untuk berpisah dengannya, maka saya telah berbohong. Namun percayalah, rasa optimis saya akan sahabat saya yang satu ini jauh lebih besar dari kesedihan itu. Di akhir hari Danan dan kekasihnya yang cantik memberikan saya kenang-kenangan berupa sekumpulan gelang cantik yang (lagi-lagi) bernuansa 'Chonie banget'. Muhammad Arman Pandangan saya lalu beralih, lalu tertumpu pada sosok yang sedang berbicara dengan Danan. Ialah Arman. Sosok misterius yang telah sukses membuat saya (dan mungkin sebagian besar orang) demikian segan diawal kehadirannya. Namun jika kemudian kami semua menyebutnya si galak, itu hanyalah sebuah olok-olok yang menandai kesalahan sebutan itu. Bahwa Arman ternyata tidaklah demikian dingin, saya sangat setuju. Ia hanya menyimpan lalu memilih semua respon terbaik untuk orang-orang yang terbaik. Jadi jika anda adalah orang-orang terbaik, bersiaplah mendapatkan perlakuan istimewa darinya. Sejauh ini, Arman memperlakukan saya (temannya ini) dengan baik, jadi apakah saya adalah salah satu orang baik? Rasanya benar. Sejujurnya, saya tidak pernah berbicara panjang lebar dengan Arman. Namun kami semua telah melewati berbagai kesempatan bersama diluar perkerjaan dan saya dengan mudah mengetahui kualitasnya melalui pendapat-pendapatnya dihadapan forum kecil kami. Saya menyaksikan ia mengemas semua pendapat-pendapat dari pengetahuan dan perenungan yang... sungguh tidak dangkal dan tidak dapat terbentuk dalam waktu singkat. Rasa segan saya lalu bertransformasi menjadi rasa hormat yang dalam. Suatu hari dalam libur bersama kami disuatu tempat yang indah, saya mengajak serta suami saya dan seperti biasa suami saya melebur dengan semua teman saya. Hampir semua teman-teman pria saya sempat mengobrol dengannya, namun Arman telah melewati durasi terlama mengobrol dengannya. Oh baiklah, saya sangat mengenal suami saya dan sangatlah tidak mudah bagi kebanyakan orang untuk mengerti jalan pikirannya yang penuh ramuan logika berbumbu mimpi (nah, apakah anda dapat membayangkan ramuan itu?). Sebagian besar orang bahkan mundur teratur dan menolak untuk berpikir radikal seperti dia. Jadi tentu merupakan 'sesuatu hal' jika teman-teman saya betah berbicara dengannya. Lalu jika Arman telah mengambil durasi terlama... itu berarti 'banyak hal' bagi saya. ;) Diakhir hari ketika saya bertanya mengenai pendapatnya atas para lajang yang baru saja berlibur bersama kami, suami saya menggambarkan kesan yang mendalam tentang mereka. Saya tidak meragukan itu. Namun satu hal istimewa terselip dalam komentar suami saya; "Dari semuanya, Arman lah yang paling dewasa." demikian katanya. Lalu dengan mengulum senyum ia meneruskan; "Dialah yang paling siap nikah." Saya pun tergelak karena rasanya saya setuju dengan suami saya. Irawati Mustika Mbak Ira menghampiri saya dengan senyum yang mengandung gurat sedih. Disanalah saya tahu bahwa ia akan berpamitan. Saya langsung dapat merasakan kesedihan saya naik kepermukaan. Jika untuk orang lain saya bersedih untuk setiap momentum yang telah saya lewati bersama mereka, untuk Mbak Ira saya bersedih untuk keabsenannya dihari-hari kedepan dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Saya telah bersama-sama Mbak Ira hampir setiap hari sejak kedatangannya di kantor ini, sejak itu pula saya telah menghabiskan tujuh puluh persen waktu makan siang saya bersamanya, juga hampir seluruh makan malam lembur saya. Mengingat seluruh kebersamaan saya dengan Mbak Ira, tak mungkin saya melewatkan intisari dirinya. Seperti pelangi di departemen kami, demikianlah saya melukiskannya. Masalahnya saya sangat jarang menemukan seorang yang demikian tanpa beban diantara puluhan orang dengan keluhannya masing-masing. Terkadang saya curiga bahwa ia tak pernah punya masalah. Namun tentu saja itu mustahil. Yang ada hanyalah kemampuan seseorang untuk meringankan bebannya sendiri, tanpa membohongi dirinya sendiri. Hal ini tampak mudah bagi Mbak Ira, buktinya saya tidak ingat bahwa Mbak Ira pernah mengeluh sedemikian tentang hidupnya, bukan karena ia berpura-pura tapi karena dari sanalah ia memandang hidup dan menemukan jawaban-jawaban; dari-suatu-sudut-tenang-diluar-perasaan-dan-pikirannya. Sungguh kemampuan yang luar biasa. Ia telah terbiasa untuk lebih banyak mendengar dan dengan demikian terciptalah kecurigaan saya berikutnya bahwa bisa jadi ia sedang belajar dari banyak orang sebelum ia menggunakannya untuk hidupnya sendiri. Orang-orang menyebutnya easy going ; suatu karakteristik langka yang hinggap pada manusia dijaman yang penuh tekanan ini. Karakteristik yang telah membuat banyak orang iri dan ingin memiliki kemampuan itu. Kemampuan itu tidak hanya berdampak bagi Mbak Ira sendiri. Dapat dikatakan kemampuan itu telah menjadi energi positif bagi orang-orang yang menghabiskan waktu bersamanya. Nah, saat ia membaca tulisan ini saya dapat membayangkan ia akan mengerutkan dahi dan menganggap bahwa tidak ada yang istimewa dengan kemampuannya itu. Tentu saja, kemampuan itu telah melekat sedemikian sehingga ia sendiri tak menyadari energi positif yang mampu ia tularkan. Saya sendiri telah mengalaminya; Ada rasa malu yang besar ketika saya berniat (atau bahkan telah) mengeluh berkepanjangan tentang hidup saya kepada Mbak Ira. Energi positif itu telah mengalahkan setiap energi kelemahan saya. Semua masalah terasa seperti permen karet ketika bersama Mbak Ira; kunyah dan serap sebanyak mungkin manisnya, lalu tunggu waktunya... ia (masalah itu) akan tawar dan siap dibuang, pada saatnya. Kini saya akan kehilangan hari-hari saya bersama Mbak Ira dan entah bagaimana caranya saya harus mampu membangun kemampuan itu secepat mungkin bagi diri saya sendiri. Adi Pramatana Hari telah gelap, Christin baru saja berpamitan dan tinggal beberapa orang tersisa. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan akhirnya seorang yang sedari pagi tidak hadir diruangan ini muncul juga. Dialah Adi, pemuda yang sejak bergabung di perusahaan ini (beberapa bulan yang lalu) telah menghabiskan paling sedikit hari bersama kami. Ini terjadi karena tugasnya yang mewajibkan ia untuk lebih banyak berada di luar kantor. Dengan durasi kebersamaan paling sedikit jangan menyangka kami menganggapnya tidak ada. Kami selalu mengingatnya dan tidak membiarkannya ketinggalan apapun yang kami alami. Sikap kami bukanlah tanpa alasan. Tentu ada yang istimewa dalam dirinya sehingga sosok Adi dalam kehadirannya yang minim telah memberi kesan yang mendalam bagi kami. Pintar bergaul, lucu, lucu, lucu dan lucu.... Begitulah. Sejak kehadirannya Adi jauh lebih diam dari pada yang sebenarnya. Tak banyak dari kami yang mengenalnya lebih dekat. Namun ketika datang beberapa kesempatan kebersamaan diluar kantor, kami telah belajar banyak tentangnya sama seperti ia tak pernah berhenti umtuk belajar mengenal kami. "Smart Boy!" demikian suami saya berkomentar tentang Adi hanya dalam satu hari libur yang kami lewati bersama. "Menyerap dengan baik, menangkap lebih banyak dan belajar dengan cepat." katanya melanjutkan komentar itu. Saya sama sekali tidak meragukan itu. Elang Purboyo Elang berdiri disamping saya, karena memang disitulah tempatnya selama ini. Tetangga sebelah sekaligus pendengar yang baik bagi saya. Berbulan-bulan bertetangga meja telah membuat saya mencatat dengan baik kerendahan hatinya. Saya bersungguh-sungguh tentang hal ini. Elang memiliki kepribadian yang bagi beberapa orang cenderung menjadi sasaran pemanfaatan. Saya telah menjadi saksi dimana ia menyanggupi banyak hal, mencoba menyenangkan sebanyak mungkin orang, menghormati sebaik mungkin orang lain. Saya hampir tak pernah mendengarnya mengatakan 'tidak' atau melakukan penolakan. Satu hal yang seringkali merepotkan dirinya sendiri, namun selalu dapat ia simpan pelajarannya untuk dirinya sendiri juga. Benarlah, ia selalu mendapatkan lebih banyak hasil akhir dari pelajaran-pelajaran 'mengalah' yang diberikan orang lain. Disanalah ia mendapatkan beberapa kesialan yang kemudian selalu berakhir dengan kehormatan yang besar ditangannya. Hari ini sebagai tetangga, walaupun dalam banyak hal saya telah menuntutnya untuk 'mendengarkan' celotehan saya, saya pun telah belajar untuk mengalah lebih banyak seperti dirinya. Saya mungkin tidaklah serendah hati Elang, namun saya telah mendapat begitu banyak 'pilihan respon' untuk setiap titik didih hidup ini. Bahwa air mata itu jauh lebih terhormat ketimbang amarah, bahwa diam jauh lebih berharga dari pada begitu banyak gerakan tanpa hasil, pokoknya semua hal yang akan membawa saya keluar dengan lebih terhormat. "Ok Chon, gue balik dulu yah." Elang menyentakkan lamunan saya. Tetangga itu akan pamit sekarang, membawa kharisma kehormatan yang seperti biasa. Kami tak akan lagi bertetangga. Saya tak akan berceloteh lagi disampingnya. Ketika sosoknya hilang dibalik pintu, saya tahu bahwa saya akan tetap mendapati kemenangan padanya, kapan saja kami bertemu lagi. Verawaty Ruangan hampir kosong. Mbak Irna dan Elisa berpamitan kemudian. Diikuti dengan Vera, seorang gadis vegetarian (Oh betapa saya selalu bermimpi untuk disebut demikian). Seperti biasa ia memamerkan senyum lembutnya. Ia lalu menghampiri saya untuk bersalaman. Tatapannya masih hangat persis seperti hari pertamanya bekerja, sorot matanya masih penuh harapan walau begitu banyak tekanan kerja telah ia lewati. Seorang optimis yang kerap membuat saya malu dengan gerutuan saya, juga seorang wanita berutur sopan yang membuat semua lawakan 'sok asyik' saya terdengar tawar. Demikianlah Vera dalam ingatan saya. Tak akan ada orang yang berhasil menghasutnya, begitu maksud saya. Kali ini ia berpamitan dan masih tetap menularkan aura positif itu. Saya tahu ia akan selalu begitu. Fahmi Reza Ruangan lebih lengang lagi. Danan sudah kembali keruangan ini dan bersiap-siap pulang. Ia sibuk bercanda dengan Reza yang juga sedang bersiap-siap pulang. Reza... Oh astaga. Kali ini dialah yang mengisi memori saya. Anak muda dengan penilaian komentar-komentar kritis, yang selalu membuat saya malu akan basa-basi. Ketika banyak orang bersiap dengan citra, Reza membalikkannya dengan fakta. Begitulah caranya untuk jujur akan hidup ini. Penilaiannya selalu minor namun tak dapat dipungkiri kebenarannya. Didalam nilai-nilai itulah ia membangun loyalitas akan apa yang ia percayai, sesuatu yang tentu telah disaring sedemikian rupa olehnya. Saya selalu bercermin padanya dan bertanya pada diri; Apakah saya sanggup untuk selalu jujur akan semua hal? atau lebih buruk lagi... Berapa banyak polesan yang dapat saya temukan dalam respon-respon saya? Reza berpamitan setelah Danan. Seperti biasa ia memberikan saya sebuah cengiran, lalu beranjak keluar ruangan dengan menaikkan sebelah alisnya dan menghilang dibalik pintu. Orkes kejujuran itu telah pergi dan entah kapan bertemu lagi. Saya sungguh ingin tahu; Berapa banyak kejujuran yang mampu saya angkat, saat nanti kami bertemu lagi. Felicia Singgih Wijaya Tinggallah Felicia yang tersisa, walaupun setengah jam kemudian ia berpamitan. Ia menghampiri saya dan memeluk saya. Saya lalu berkesimpulan dalam setiap ruangan harus warna-warna dinamis terkandung didalamnya. Saya rasa Felicia telah mewarnai ruangan ini dengan jiwa muda, karakter dinamis dan penampilan penuh warna. Namun siapa sangka ia menyimpan pengertian yang besar ketika berbicara tentang pernikahan. Saya pernah berbagi mengenai pernikahan sederhana yang sarat makna dengannya dan dengan cepat ia menyetujui konsep tersebut. Ini berbanding terbalik dengan umurnya bukan? Dimas Satria Setelah Felicia meninggalkan mejanya, pandangan saya bergeser pada meja dan kursi kosong disebelahnya. Meja dan kursi itu memang kosong, namun disanalah Dimas duduk beberapa minggu sebelumnya. Dimas adalah teman sekaligus adik. Satu-satunya teman pria yang pernah mengantar saya pulang oleh kepercayaan penuh dari suami saya. Ia telah pula 'lulus' dari perusahaan ini dua minggu sebelum saya. Dan dua minggu tanpa kehadirannya saja rasanya telah banyak yang hilang dari ruangan ini. Dimas yang lucu, Dimas yang baik, Dimas yang selalu berkorban demi membiarkan kami bersenang-senang. Dimas si pekerja keras, Dimas yang dalam letihnya pun masih mampu membuat kami semua tertawa, juga Dimas yang selalu mempersiapkan yang terbaik untuk kami. Sungguh benar, tak satupun dari kami melupakan outing-outing seru rancangannya. Tak ada yang mampu mengalah atas kerasnya kepala-kepala kami, tak ada yang mau mengakomodir seluruh keinginan kami, percayalah hanya Dimas yang mampu. Dapatkah anda bayangkan pentingnya pribadi-pribadi seperti Dimas dalam setiap komunitas? Seorang yang mungkin saja bukan pemimpin, tapi mampu membuat semua orang bernapas lega atas inisiatif-inisiatifnya. Seorang yang hanya menemukan kesenangannya dalam; berjuang menghadirkan kesenangan dan kenyamanan bagi orang lain. Dimas oh Dimas... Saya tiba-tiba merasa iri dengan semua teman disini. Mereka hanya terpisah belasan kilometer dari Dimas. Sementara saya akan terdampar ratusan kilometer dan harus berjuang untuk mendapatkan kesenangan untuk diri saya sendiri, serta jika ada kesempatan melakukan apa yang Dimas lakukan; menyenangkan orang lain. ************ Ruangan kini telah benar-benar kosong. Hiruk pikuk ruangan telah berganti menjadi sunyian. Saya telah menepati janji saya untuk menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruangan hari itu. Bahkan ketika saya memejamkan mata, saya tidak lagi menemukan hiruk pikuk ruangan ini. Tinggallah saya dan diri saya. Saya menahan napas sejenak untuk kemudian melepas napas panjang. Saya memandang satu per satu hadiah perpisahan, membaca berulang-ulang kartu perpisahan, mengusap berulang-ulang airmata (yang telah susah payah saya tahan seharian) dan mengucapkan doa-doa saya untuk pribadi-pribadi istimewa yang esok (kurang lebih pukul sembilan) akan kembali datang ke ruangan ini. Lalu ketika akhirnya saya harus pulang, saya mematikan AC, dan berjalan sampai ke pintu, sekali lagi memandang sekeliling, lalu mematikan lampu, serta menutup pintu ruangan. Langkah kaki saya begitu berat oleh demikian banyaknya pelajaran dan kenangan yang telah ditambatkan pada hati dan pikiran saya. Satu babak telah berakhir. Saya telah menyelesaikannya dengan baik. Dan sekarang waktunya untuk pergi kebabak berikutnya. Waktunya ntuk bertemu lebih banyak pribadi, meraih lebih banyak hati, dan mengasihi lebih banyak jiwa. Saya tak pernal menyesal untuk babak yang baru saja saya lewati. Bagaimana tidak? Saya telah masuk didalamnya sebagai suatu pribadi dan keluar dengan pribadi yang jauh berbeda. Kini saya akan melangkah pada dunia dimana saja tak lagi menjadi pekerja, tak lagi memiliki atasan, serta menggengam kebebasan waktu. Saya mungkin tidak akan manghasilkan uang untuk kurun waktu tertentu, namun saya akan bekerja untuk apa yang saya sukai dengan Tuhan sebagai pemimpin perusahaan dan suami tercinta sebagai supervisornya. Ada perkerjaan rumah yang besar menanti saya, dimana kualitas dan waktu mengejar saya untuk membuktikan banyak hal. Saya melirik barometer hidup saya dan menemukan angka nol disana, saya tahu dari sanalah saya akan memulai. Saya sungguh seorang pemula kini dan saya terlalu bersemangat untuk itu. Ajaibnya, orang-orang istimewa diatas (minimal beberapa dari mereka) telah mengirimkan banyak doa untuk cerita baru yang akan saya rajut ini. Mereka mempercayai mimpi saya! Saya hampir tak percaya itu! Mereka percaya akan mimpi-perempuan-berambut-mangkok-yang-seadanya ini; bahwa ia akan bercerita pada dunia tentang banyak hal. Mereka percaya bahwa mantan sekertaris payah ini akan hidup dari cerita-ceritanya itu. Dan untuk itulah saya menghapus air mata perpisahan. Karena dibalik rangkaian perpisahan ini, dibalik kado-kado dan kartu ucapan, orang-orang ini tak pernah benar-benar memberikan saya sebuah perpisahan. They never gave me the real farewell! Sebaliknya, mereka memberi harapan baru bagi saya. Saya akan kembali pada mereka untuk membuktikan dua hal; Bahwa yang telah mereka doakan menjadi nyata dan bahwa apa yang mereka ajarkan dalam hidup saya telah berguna untuk mewujudkan banyak hal.

original text was written on

www.jendelachonie.blogspot.com

PS : This story dedicated to Accounting & Outsourcing Division of PT Mazars (year 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline