Ketika saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 di Malaysia beberapa tahun lalu selepas merampungkan S-1 di Universitas Al-Azhar Mesir, saya sesungguhnya sadar bahwa proses ini tidak akan mudah. Sebab, saya akan melakoni sebuah fase perjalanan tanpa dukungan beasiswa atau sponsor dari pihak manapun. Alhasil, saya harus memutar otak dan mencari cara guna mendukung diri sendiri dan academic journey yang akan saya lalui. Saya berprinsip, bahwa bila saya sudah menancapkan tekad untuk memulai sesuatu, maka artinya saya harus berkomitmen penuh untuk menuntaskannya. Maka, ini adalah cerita tentang tantangan dan pengalaman berharga yang saya temui di tengah perjalanan tersebut.
Mungkin ada yang bertanya: Mengapa memilih kuliah ke Malaysia? Mengapa tidak di Indonesia saja? Setelah melakukan berbagai observasi sejak di Cairo, saya sampai pada kesimpulan bahwa universitas-universitas di Malaysia memiliki reputasi global yang berkualitas tinggi dan masuk dalam jajaran kampus top dunia. Saat itu saya berpikir, saya ingin mencari universitas Islam internasional yang berkualitas di luar Mesir, atau setidaknya masih in line dengan Universitas Al-Azhar. Akhirnya, pilihan itu saya temukan di International Islamic University Malaysia (IIUM).
Salah satu pilihan yang saya ambil di sela-sela kuliah kala itu adalah bekerja sampingan sebagai pengajar di sebuah sekolah tingkat menengah di Malaysia. Berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan siswa-siswa yang penuh semangat menjadi cara saya untuk mendukung kehidupan dan studi di Negeri Jiran. Lantaran siswa-siswa dari sekolah tersebut sebagian besar adalah orang Melayu, maka proses belajar-mengajar tentu dilakukan dengan bahasa Melayu pula. Hal ini pastinya menjadi tantangan tersendiri bagi saya pribadi. Pasalnya, bahasa Indonesia dalam banyak hal jauh berbeda dengan bahasa Melayu Malaysia.
Hal ini sudah saya sadari jauh-jauh hari sebelum bertolak ke Kuala Lumpur. Lantas, saya mempelajari secara otodidak buku-buku dalam bahasa Melayu, demikian pula video-video yang menggunakan bahasa Melayu baku di internet, seperti video berita, telewicara, dan acara-acara resmi lainnya. Dalam hal ini, banyak orang di Indonesia yang salah kaprah menilai, bahwa bahasa Melayu, termasuk bahasa Melayu baku, sesederhana bahasa kartun Upin dan Ipin, padahal nyatanya tidak demikian.
Di samping mengajar di sekolah secara reguler dari pagi sampai siang, saya juga mengisi waktu luang dengan mengajar privat dua kali dalam sepekan. Mengapa saya bisa mengajar secara reguler? Sebab, waktu perkuliahan S-2 di kampus dimulai dari pukul dua siang hingga menjelang waktu Isya tiba. Artinya, ada waktu luang yang cukup lama dari pagi sampai siang, dan itu bisa dimanfaatkan guna mencari pundi-pundi penghasilan bagi mahasiswa tanpa sokongan beasiswa dan sponsor seperti saya.
Selain mengajar, saya juga mengisi waktu di sela-sela kuliah dengan kegiatan menerjemahan buku-buku dari bahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Sejatinya, ini adalah side job alias pekerjaan sampingan saya sejak dari Mesir dulu. Di Mesir, saya sudah terbiasa menerjemahkan kitab-kitab orderan berbagai penerbit di tanah air dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Hasil dari pekerjaan ini kala itu saya gunakan untuk menambah uang saku bulanan dari Al-Azhar yang sangat pas-pasan. Di Malaysia, terkadang saya juga mendapatkan orderan untuk menerjemahkan buku berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia dari penerbit. Tentunya hal ini lebih mudah, karena bahasa Inggris dikenal lebih umum ketimbang bahasa Arab.
Maka, menerjemahkan karya-karya penting ini kemudian memberikan kepada saya kesempatan untuk tidak hanya mendapatkan tambahan penghasilan, tetapi juga memperluas wawasan saya tentang berbagai disiplin ilmu. Proses menerjemahkan itu cukup menantang, namun pada akhirnya sangat memuaskan, terlebih ketika saya berhasil menyelesaikan sebuah proyek buku dan melihat hasilnya bermanfaat bagi orang lain.
Lebih dari itu, kemampuan menerjemah ini pada perkembangannya membawa saya menjadi penerjemah sampingan di pengadilan-pengadilan di Malaysia. Hal ini bermula dari tawaran sebuah agensi penerjemahan di Kuala Lumpur yang meminta saya untuk menjadi penerjemah di sebuah sidang. Saya ditugaskan untuk mengalihbahasakan pertanyaan, pernyataan, dan keputusan hakim, di samping gugatan-gugatan pengacara kepada tersangka, yang notabene adalah warga negara Indonesia atau orang Arab. Bahasa yang digunakan di pengadilan-pengadilan tersebut adalah bahasa Melayu atau Inggris, sehingga keberadaan seorang penerjemah sangat diperlukan ketika tersangka yang tengah diadili tidak memahami keputusan atau gugatan yang dilayangkan kepadanya.
Alhamdulillah, agensi penerjemahan tersebut puas dengan hasil kerja saya, sehingga pengalaman perdana itu membawa saya ke sidang-sidang berikutnya di berbagai pengadilan di Malaysia. Bahkan, saya pernah ditugaskan ke sebuah pengadilan di Pulai Pinang dengan menaiki bus dan kapal untuk menjadi penerjemah sidang di sana. Di titik ini saya sangat bersyukur, karena upaya mempelajari bahasa Melayu baku yang saya lakukan secara otodidik itu sangat terpakai dan bermanfaat.
Alhasil, pengalaman semacam ini kemudian membawa saya ke dalam dunia hukum, di mana saya harus mampu menginterpretasikan bahasa dan budaya dengan akurasi tinggi. Setiap sesi di pengadilan mengajarkan kepada saya banyak hal tentang pentingnya kejelasan dalam berkomunikasi, terutama dalam konteks hukum yang sangat formal. Tugas ini bukan hanya memberikan saya pengalaman berharga, tetapi juga meningkatkan keterampilan bahasa saya secara signifikan.