Saat mengambil mata kuliah Islamization of Knowledge yang diampu oleh Dr. Mishawy di semester ketiga lalu, di suatu petang beliau pernah menyampaikan bahwa apa yang diajarkan oleh setiap dosen dari sebuah mata kuliah, pada dasarnya hanyalah 15% dari apa yang seharusnya diketahui dan dikuasai oleh setiap mahasiswa dari mata kuliah tersebut. Apa yang diajarkan oleh dosen, lanjut beliau, sesungguhnya hanyalah pengantar, mahasiswalah yang harus mengembangkannya.
Dengan kata lain, jika dalam satu semester sebuah mata kuliah dijabarkan dalam beberapa kali pertemuan ke sejumlah titik tema, dengan beberapa topik sentral, kemudian diturunkan lagi ke dalam aneka pembahasan, maka kesemua itu baru setara dengan 15% dari skala 100% mata kuliah itu sendiri.
Artinya, seorang pembelajar dengan spesialisasi bidang keilmuan apapun, dengan latar belakang fakultas manapun, dituntut harus pro-aktif dalam mencari dan menguasai suatu bidang keilmuan. Bukan hanya menerima apa yang dijelaskan oleh dosen di kelas atau membaca diktat-diktat semata, akan tetapi juga dengan menelaah referensi-referensi lain dengan semangat pencapaian level 100% itu tadi.
Jika seharusnya demikian, maka menuntut ilmu sejatinya adalah sebuah proses yang mesti dilakukan secara terus menerus, yang tidak boleh terhenti di kelas saja, atau hanya berpatokan pada course outline yang diberikan. Mengapa? Sebab, menuntut ilmu harus dipahami sebagai upaya membangun semangat keingintahuan yang besar, sebagai usaha melangkah menuju kepakaran suatu bidang ilmu. Hal ini tentu harus diperkuat dengan semangat membaca dan menelaah dengan kesadaran, tanpa tekanan ujian, nilai, atau apapun.
Persoalannya, berapa banyak mahasiswa, terutama mahasiswa jenjang postgraduate yang menyadari semangat ini? Berapa banyak insan akademis yang sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa kuliah mestinya tidak sesederhana datang ke kampus, masuk kelas, mendengarkan dosen, mengerjakan tugas, ujian, lalu lulus? Jika kuliah hanya dipahami seperti itu, maka tak heran bila selepas menyelesaikan jenjang pendidikan di kampus, kita kerap tak merasa sebagai orang yang berilmu. Bahkan rasanya sedikit sekali ilmu yang kita serap dan bawa pulang dari bangku kuliah. Pun apa yang dipelajari di kelas seolah-olah menguap seiring kita mengenakan toga dan diwisuda.
Tak jarang, dengan kadar sebesar 15% yang kita dapatkan di kelas, kita sering sudah merasa cukup, itu pun terkadang dengan belajar yang malas-malasan, bahkan hanya ingin sekadar lulus di mata kuliah tersebut. Maka, dari porsi ilmu sebesar 15% yang dituangkan oleh dosen, berapa persen yang masih mengendap di dalam gelas-gelas keilmuan kita? Tetap 15%, 10%, 5%, 1%, atau malah tidak bersisa sama sekali?
Di titik ini, menjadi insan pembelajar sejati dengan semangat keingintahuan dan upaya pencapaian level kepakaran adalah keniscayaan, keharusan. Seorang mahasiswa harus berupaya keras untuk mengejar 85% pundi-pundi keilmuan lainnya dengan banyak membaca, menelaah, menulis, diskusi, dan berbagai media lainnya. Dengan begitu, semoga kita benar-benar menjadi insan-insan yang berilmu. Seumpama yang dikatakan dalam sebuah syair Arab, bahwa ilmu itu bukan yang tertulis di buku-buku, namun yang terhimpun di dalam dada.
Kuala Lumpur, 4 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H