Lihat ke Halaman Asli

Jemmy Hendiko

Lecturer | Translator | Interpreter | Editor | Freelance Writer | Blogger |

Aku dan Toko Haji Manti

Diperbarui: 13 Februari 2016   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu aku kecil dulu, toko kain dan pakaian itu sudah ada dan cukup dikenal di Pasar Raya Solok ini, pelanggannya banyak pula. Aku masih ingat betul, bahwa dahulunya orangtua dan keluargaku kerap berbelanja busana Muslim atau bahan pakaian di toko tersebut, terutama pada saat bulan Ramadan atau beberapa hari menjelang lebaran tiba. Ini terbukti dengan mudahnya aku bisa menemukan tas plastik khas toko pakaian itu di rumah kami. Saat-saat mendekati lebaran seperti itu, para pembeli busana Muslim biasanya akan datang membludak ke komplek pertokoan lantai atas dimana toko itu berada. Dan aku tentu saja ikut serta diajak oleh ayah atau ibuku berbelanja di sana, sembari memenuhi keinginan anak-anak seusiaku yang biasanya sudah merengek-rengek minta dibelikan baju baru.  Ya, toko busana Muslim dan bahan pakaian itu bernama “Toko Haji Manti”. Dari namanya sekilas bisa diketahui bahwa pemiliknya adalah seorang laki-laki yang sudah naik haji bernama Manti. Meski kami sekeluarga adalah pelanggan di toko tersebut dan sering berbelanja di sana, aku yang saat itu masih ingusan cenderung tidak mau ambil pusing tentang siapa laki-laki yang bernama Haji Manti itu. Pikiran kanak-kanakku saat itu berkata bahwa urusan kami hanyalah berbelanja dan selesai. Hal yang barangkali agak berbeda dengan cara berpikir orang dewasa seperti ayah, ibuku, dan penjual di toko itu.  Bagi mereka, menjadi pelanggan di sebuah toko tentu tidak sesederhana itu. Ketika pelanggan datang, dan karena mereka sebelumnya telah saling berkenalan, sang penjual atau pemilik toko perlu berbasa-basi dahulu sejenak dengan pelanggan tersebut. Menanyakan kabarnya, keluarganya, dan seterusnya, baru setelah itu ia menanyakan apa kebutuhan yang hendak ia cari. Sikap semacam ini biasanya akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Si pembeli akan semakin betah untuk berlangganan dan berbelanja di toko itu karena ia memperoleh harga istimewa setiap kali berbelanja, begitu pula dengan si penjual atau pemilik toko yang tentunya tidak ingin kehilangan siapapun pelanggannya.  Hingga pada suatu ketika, beberapa tahun kemudian setelah terakhir kalinya aku berbelanja di toko tersebut, di hari itu aku kembali sampai di blok dimana Toko Haji Manti itu berada tanpa sengaja. Ya, sekali lagi tanpa sengaja. Aku katakan demikian karena aku sama sekali tidak berniat datang ke sana. Pun kala itu aku adalah seorang pemuda berusia 25 tahun yang baru saja kembali menginjak kampung halaman, yang sudah tidak banyak ingat dengan semua sekat di Pasar Raya Solok ini, setelah empat tahun lamanya aku berada di Negeri Seribu Menara, Mesir.  Hari itu adalah Ramadan pertamaku di kampung halaman setelah kembali dari ranah perantauan. Dan pada siang itu, aku menyengajakan diri ke Pasar Raya Solok guna membeli kebutuhan pakaian Muslim yang nanti akan kukenakan pada saat menjadi khatib Idul Fitri. Kebetulan pamanku yang menjadi pimpinan pengurus sebuah masjid di kota Padang memintaku untuk menyampaikan khutbah Idul Fitri nanti di sana. Maka, di siang yang terik itu jadilah aku berkeliling-keliling di komplek pertokoan lantai atas yang menjadi sentra lapak-lapak yang menyediakan aneka rupa busana Muslim.  Setelah berputar-putar dari toko ke toko dan memilah-milih pakaian dan motif yang cocok menurutku, akhirnya aku sampai di depan pintu toko itu. Tampak di sana dua orang gadis pelayan toko berjilbab dan seorang bapak tua yang mengenakan songkok haji berwarna putih. Seperti lazimnya para penjual atau pelayan toko pakaian di sini, dua gadis tersebut lalu dengan ramah berbasa-basi mempersilahkan aku singgah di toko mereka, seraya berkata: “Masuaklah, Da! Cari apo tu? Baju koko, saruang, bahan celana?” Jika diterjemahkan, kira-kira mereka berujar begini: Silahkan masuk, Mas. Mau cari apa? Koko, sarung, atau bahan celana? Aku membalas sikap basa-basi mereka dengan tersenyum sekenanya. Aku pun masuk ke toko itu dan mengatakan bahwa aku ingin mencari baju koko setelah bapak berkopiah haji tadi menghampiriku dan bertanya hal serupa.  Entah apa yang terlihat oleh bapak haji itu dari penampilan dan pembawaanku, sehingga ia terdorong untuk bertanya lebih jauh setelah aku mulai melihat model-model terbaru baju koko di toko tersebut.“Nak, tinggal di mana?”“Saya tinggal di Talang, Pak Haji,” jawabku sambil sedikit mengembangkan senyum.“Di Talang di mana?”, cecarnya lagi.“Di Koto Gaek,” sahutku.Ia terus bertanya, “Rumahnya di sebelah mananya SDN 10?”Beliau rupa-rupanya kenal dengan kampung dimana aku tinggal.“Rumah saya persis di depan sekolah itu, Pak Haji,” tukasku.Ia terdiam sebentar, lalu berujar, “Jadi kamu ini siapanya Bapak Sulaiman Kayo?”, tanyanya lagi sambil menyebutkan sebuah nama.Aku cukup terkaget, ternyata beliau kenal pula dengan gelar ayahku. “Saya anaknya, Pak Haji,” ungkapku dengan sedikit sumringah.Ilustrasi Aku berpikir sejenak, mengapa beliau bisa kenal dengan ayahku. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan toko itu, lalu menemukan papan bertuliskan “Toko Haji Manti” di salah satu sisi toko tersebut. Ahaaa! Ternyata inilah toko yang dahulu kerap kusambangi sewaktu kecil bersama ayahku dan sudah menjadi langganan kami sekeluarga.  Berikutnya, tak disangka-sangka, rencana membeli busana Muslim di siang itu tersulap menjadi sebuah ajang silaturrahim yang cukup hangat. Ya, beliaulah Haji Manti, si empu toko busana Muslim tersebut. Sosok itu kemudian mulai bertanya kepadaku tentang banyak hal, mulai dari siapa namaku, sudah tamat kuliah atau belum, hingga soal pekerjaanku apa. Pertanyaan-pertanyaan yang biasa dilontarkan kepada seorang anak muda di zaman sekarang.  Dan betapa gembiranya beliau saat kuberitahu bahwa aku sebenarnya belum lama di Solok ini, baru beberapa bulan, sebab sebelumnya aku merantau ke Bumi Para Nabi guna menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Pun aku mengungkapkan bahwa kegiatanku kini adalah sebagai guru agama dan bahasa Arab di sebuah madrasah aliyah di kampungku. Namun aku tidak berniat akan berlama-lama mengabdi di sana, karena keinginanku untuk melanjutkan studi S-2 ke Negeri Jiran sudah begitu menggebu-gebu. Beliau menyimak semua yang aku utarakan dengan seksama. Hingga kemudian beliau berkata: “Bapak juga punya anak yang dulu belajar di Universitas Al-Azhar seperti kamu. Selepas menyelesaikan studinya di sana, ia kemudian melanjutkan S-2 di sebuah universitas di Jakarta. Kini ia telah berkeluarga dan bekerja di sebuah kementerian di ibukota. Kamu barangkali mengenal dia,” pungkas beliau.  Seketika aku jadi teringat dengan seorang pejabat muda yang bekerja di Kementerian Agama Pusat yang dulu bertugas mengurus pemberangkatan kami ke Mesir pada tahun 2006. Aku lantas menebak-nebak nama itu di hadapan beliau. Benar apa kata orang, kadang dunia ini begitu sempit. Rupa-rupanya, pejabat yang kumaksudkan tersebut adalah anak sulung dari Pak Haji Manti itu. Beliau lalu melanjutkan ceritanya, bahwa anaknya yang kini bekerja di Kementerian Agama itu adalah satu-satunya putera beliau yang begitu berambisi untuk meraih pendidikan tinggi hingga jenjang doktoral, sementara adik-adiknya banyak yang lebih memilih untuk mengikuti jejak beliau berniaga.  Aku kemudian bercerita kepada beliau bahwa beberapa waktu yang lalu aku mengajukan permohonan beasiswa guna melanjutkan studi ke Malaysia kepada Kementerian Agama Pusat lewat putera Pak Haji Manti itu. Kebetulan di Kementerian Agama saat itu tengah dibuka program bantuan beasiswa untuk studi S-2 ke luar negeri. Putera Pak Haji Manti itu dengan senang hati membantu melancarkan pengurusan beasiswaku, semata-mata karena kami satu kampung halaman, Solok. Alhamdulillah, berkat bantuan beliau, akhirnya aku berhasil memperoleh bantuan beasiswa yang cukup memperlancar urusan birokrasi pendaftaran studi masterku di International Islamic University Malaysia (IIUM). Pak Haji Manti turut senang dan bahagia mendengar apa yang aku ceritakan. Beliau lalu berkata: “Syukurlah. Bapak dari dulu selalu mengajari anak-anak Bapak untuk membantu orang lain selagi mereka mampu melakukannya. Karena Nabi pernah bilang,“Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.”  Setelah dua jam lebih lamanya kami mengobrol panjang lebar di toko itu, aku akhirnya mohon pamit kepada Pak Haji Manti. Beliau menyatakan sangat senang sekali berjumpa dan berkenalan denganku. Aku pun demikian. Tak lupa ia memintaku untuk datang ke rumahnya pada hari lebaran nanti, yang lalu kujawab dengan ucapan insya Allah. Silaturrahim di siang Ramadhan itu terasa amat membawa berkah. Beliau lantas memberikan potongan harga yang tak masuk akal atas baju koko yang aku beli darinya. Sebelum aku melangkahkan kaki, dengan tubuh bergetar Pak Haji Manti memelukku lama sekali. Kulihat bulir-bulir hangat menganaksungai di wajahnya yang sudah mengeriput itu. Aku tak bisa menangkap apa makna di balik bahasa tubuh beliau itu, hingga beliau mengatakan: “Bapak serasa melihat dan berbicara dengan anak sulung Bapak sendiri,” ujarnya terisak. Dan aku pun lantas meninggalkan Toko Haji Manti itu dengan perasaan yang mengharu-biru.  Kuala Lumpur, 29 April 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline