Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Piagam Madinah; Nilai-Nilai Toleransi dan Hak Asasi Manusia

Diperbarui: 4 April 2017   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

I.PENDAHULUAN

Islam hadir sangat mengejutkan pentas sejarah, ketika dunia saat itu hanya mengenal dua imperium adidaya, Romawi dan Persia yang silih berganti persaingan unggul dalam beberapa hal, tiba-tiba dari gurun pasir yang gersang, muncul kekuatan baru yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh mereka. Ia hadir dengan karakter yang khas, hingga berkemampuan merebut daerah-daerah kekuasaan Romawi dan bahkan meluluh lantakkan imperium Persia. Mesir, Syiria dan Palestina semula adalah dalam kekuasaan Romawi. Irak dan Iran adalah wilayah Persia.

Ada banyak sisi yang menunjukkan kehebatan Islam pada kontek saat itu. Namun, penulis hendak menitik beratkan pada kajian sejarah terbentuknya Piagam Madinah sebagai awal pembentukan peradaban baru, yang kaya dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, nilai-nilai dalam menjalankan bermasyarakat di kota Madinah.[1]

II.PEMBAHASAN

a.Kronologi Singkat Terbentuknya Piagam Madinah

Bermula dari Muhammad saw. mendapatkan perintah di gua Hira, dengan ajaran Islam yang revolusioner menggoncang Quraisy pada saat itu. Dengan tiga ajaran pokok, (1) tentang hanya ada satu Tuhan, merubah politeisme menjadi monoteisme. (2) nilai keadilan ajaran moral dan sosial. (3) pesan demokratis, bahwa semua manusia sama sederajat dihadapan Tuhan.[2] Peran revolusioner Islam mendapat antosial dari kalangan bawah pada saat itu, yang memang sejalan dengan yang mereka butuhkan, pembebasan dari penindasa. Pada tiga tahun masa dakwah Muhammad saw. tidak bembesar Quraisy yang mengikutinya.[3]

Dakwah Muhammad saw. tidak mendapat tantangan berat, ketika disokong oleh istrinya Khadijah dan pamannya Abu Thalib. Muhammad saw. bahkan behasil menyampaikan dakwah kepada orang-orang Yasrib yang mendatangi Makkah. Di Yasrib, dakwah Muhammad saw. mendapatkan sambutan yang baik, bahkan mereka mengutus delagasi untuk meminta Muhammad saw. datang ke Yasrib. Penduduk Muhammad saw. sempat mengadakan dua kali berbai’at janji setia kepada Muhammad saw.[4]

Dakwah menjadi berbeda saat setelah sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib. Ancaman dakwah, intimidasi dan makar mulai bermunculan, bahkan sampai pada rencana pembunuhan, hingga pada akhirnya Muhammad saw. memutuskan untuk berhijrah ke Yasrib. Hijrahnya[5] Muhammad saw. dikarenakan adanya beberapa faktor. Pertama, ajaran yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak, dan keadilan tidak bisa diterima oleh masyarakat arab, khususnya orang Quraisy. Ajaran Muhammad saw. mengancam hegemoni mereka. Kedua, atas seruan wahyu.[6] Ketiga, disamping dakwah di Makkah yang kurang berhasil, Muhammad saw. juga ingin menyelamatkan pengikutnya di Makkah dari ancaman kafir Quraisy. Ia yakin bahwa pengikutnya di Yasrib akan memberi perlindungan.[7]

Dua bulan setelah Bai’ah ‘Aqabah kedua, Muhammad saw. menyuruh para sahabatnya hijrah ke Yasrib. Pada 12 Rabi’ul Awal Hijriyah/ 28 Juni 622 Masehi, Muhammad saw. tiba di kota Yasrib dengan disambut baik oleh penduduk Yasrib.[8] Peristiwa hijrah menjadikan meningkatnya varitas penduduk serta komposisi penduduk kota Madinah. Terdiri dari suku Aws, Khazraj, Yahudi, Nashrani, serta Muhajirin dari Quraisy serta suku Arab lainnya. Mereka hidup bersamaan dalam kemajemukan/ heterogen, baik dari segi kebangsaan, kesukuan, struktur sosial dan kultur, budaya, tradisi, ekonomi, sampai dalam teologi serta ideologi agama.[9]

Tak lama kemudian Muhammad saw. merubah nama Yasrib menjadi Madinah,[10] melakukan sensus penduduk,[11] membatasi sudut-sudut kota Madinah,[12] dan kemudian membuat perjanjian di antara suku-suku yang ada di sana guna menghasilkan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia,[13] Piagam Madinah (The Charter of Madinah).[14]

Peristiwa hijrah dan terbentuknya Piagam Madinah merupakana peristiwa penting dalam sejarah Islam yang mepunyai pengaruh signifikan. Muhammad saw. hendak membuat religio political community (komunitas politik keagamaan) yang didalamnya terdapat Yahudi, Nasrani dan Majusi. Demi menumbuhkan solidaritas dan saling bertanggung jawab, maka dibuatlah Piagam Madinah.[15] Ditiadakannya segenap ikatan etnosentrisme dengan segenap prioritsnya. Diubah menjadi satu ummah dan solidaritas persaudaraan. Merupakan a new socio-political, military order based upon the member as Muslim (suatu sosio politik yang baru, organisasi militer yang berbasis anggota Muslim). Dengan demikian diharapkan Yahudi, Nashrani, dan Majusi, dapat bekerjasana membangun masyarakat Madinah berdasarkan piagam tersebut, yang tidak lagi berdasarkan kesukuan etnis sempit.

Muhammad saw. mendemonstrasikan pada setiap orang dan komunitas agar dapat hidup berdampingan melalui realisasi proyek sosial yang pluralis berdasarkan otonomi keagamaan dan hukum. Dan penyebaran risalah keagamaan tidak boleh ada paksaan untuk berpindah agama melalui tekanan dan kekuatan. Semua orang miliki kebebasan. Karena dengan kebebasan, menjamin dunia lebih mencapai kebenaran dan kemajuan menuju kesatuan yang integral dan terhormat.[16]

Pada saat pertama kali rombongan pengungsi sampai di Madinah, kaum Anshar Madinah dan kepala keluarga dari Makkah, berkumpul dalam sebuah pertemuan besar di rumah Anas Ibnu Malik. Dalam pertemuan tersebut merumuskan 23 pasal pertama dari Piagam Madinah, membangun interaksi sosial dan hukum dari kelompok Muslim yang baru tersebut dalam dekrit-dekrit yang tertulis, setelah itu Muhammad saw. meminta pendapat perwakilan-perwakilan dari kelompok sosial non-muslim, dan mereka menyetujuinya.

Pada tahun 710-719 konstitusi Piagam Madinah dicatat dalam bentuk tulisan, dan dokumen tersebut sampai pada kita. Seorang sejarawan dari Persia, Ibn Hisyam (w. 218 H), dalam kitab A’s-Sirah an Nabawiyah menulis dengan lengkap Naskah Piagam Madinah menjadi 47 Pasal (bisa dilihat teks Piagam Madinah dalam lampiran makalah ini).[17]

b.Prinsip Bermasyarakat di Madinah

Keragaman dalam realitas sosial merupakan sunnatullah yang tidak mungkin dapat ditolak oleh siap pun. Menolak kenyataan pluraslitas sama saja dengan menentang sunnatullah. Pluraslitas merupakan hasil desain Tuhan untuk dinamika kehidupan manusia.[18] Sebagaimana QS. al-Maidah: 48. Maka pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Oleh karena itu, pluralisme harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.

Hampir menjadi kesepakatan umam, bahwa agama berpeluang menjadi faktor yang mampu mengintegrasikan masyarakat, dan juga bisa sebaliknya. Maka pemeluk agama harus ada rasa saling menghargai, menhormati keyakinan yang dianut oleh orang lain. Dalam hal ini, toleransi menjadi sebuah keharusan untuk ditanamkan pada setiap pemeluk agama, guna mengeleminir adanya konflik. Begitu juga keberadaan Muhammad saw. pasca hijrah ke Madinah, melakukan langkah setrategis membentuk sebuah kebijakan-kebijakan yang berdasarkan kesepakan bersama, untuk membentuk peradaban damai, humanis dan toleran.

Era Madinah merupakan masa yang menedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, pluralisme, egelitarianisme, humanisme, sivil society, dan demokrasi betul-betul diejawantahkan dalam suatu formasi sosial-politik yang berada dalam naungan Islam. Suatu pengalaman sejarah Islam yang selalu relevan dan aktuan untuk direfleksikan dalam kehidupan umat Islam dimanapun dan kapanpun.

Terdapat dua pokok prinsip yang terkandung dalam Piagam Madinah sebagai pegangan kehidupan bermasyarakat majemuk dan beragam ras, agama, suku, bangsa:

Pertama: semua pemeluk beragama yang ada di Madinah merupakan satu umat walaupun terdapat perbedaan baik suku maupun bangsa.

Kedua: hubungan antara komunitas muslim dan non muslim didasarkan pada prinsip; (1) berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik sesama warga atau tetangga. (2) Saling bahu membahu serta saling membantu dalam menghadapi musuh yang akan merongrong kota Madinah. (3) Membela terhadap yang lemah dan teraniyaya. (4) Saling nasehat menasehati dalam koridor kebersamaan dan kebenaran. (5) Saling menghargai dan menghormati serta memberikan toleransi dalam menentukan pilihan dalam beragama, dilarang menggunakan paksaan dan kekuatan.[19]

c.Refleksi Piagam Madinah

Islam tidak mengajarkan untuk menjadi agresor atau imperealis. Melainkan lebih menekankah perang sebagai pembelaan diri. Islam juga mengajarkan segenap tingkah laku manusia stratifikasi sosial yang bagaimanapun, mendapatkan perlakuan sama di dapan hukum. Dengan ini ajaran Islam dampil sangat berbeda dengan dua imperium raksasa pada saat itu, Romawi dan Persia.

Keberadaan Romawi dan Persia merupakan tantangan yang menguntungkan bagi Muhammad saw., karena Romawi dan Persia memusuhi bangsa Arab, maka semua pengikut Muhammad saw. memiliki satu musuh yang sama (common enemy), maka dengan demikian rasa kebersamaan lebih mudah untuk ditenam dalam diri bangsa Arab muslim.[20]

Dalam Piagam Madinah penuh dengan nilai-nilai pemahaman dan produk hukum yang pertama kali ditulis dan menjadi rujukan untuk mengembangkan peradaban manusia. Diataranya adalah sebagai berikut:

Pada pasal pertama, dinamakan dengan “Pembentukan Bangsa-Bangsa”. Sebab pada pasal ini tegas disebutkan bahwa hanya ada satu bangsa yang berdaulat penuh tanpa adanya tekanan, ancaman, maupun intimidasi dari pihak manapun (sebagaimana dalam pasal ke-1).

Pasal ke-2 s/d pasal ke-10 dinamakan atau penuh dengan nilai-nilai “Hak Asasi Manusia”, pasal ini mencoba menegaskan kembali hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia yang bebas dalam menentukan sebuah sikap prinsip maupun pilihan selama tidak bertentangan dengan prikemanusiaan.

Pasal ke-11 s/d pasal ke-15 dinamakan “Persatuan Seagama”, pada pasal ini memang dikhususkan bagi warga yang seagama (Islam). Agar saling membantu, membahu dan sekedar melatakkan tugas-tugas istimewa yang harus dipikul bersama sebagai cita-cita yang telah dibawa oleh Islam. Dalam pengertian pembentukan kader-kader bagi idiologi negara. Tanpa memandang siapapun selama mereka salah, maka harus diberi hukuman tegas.

Pasal ke-16 s/d pasal ke-23 dinamakan “Persatuan Segenap Warga”. Dalam pasal ini ditujukan bagi seluruh warga semuanya, penduduk Madinah. Menjelaskan prinsip umum yang harus disadari oleh mereka seluruhnya. Memuat penegasan bahwa semua tindakan harus dikembalikan kepada memerintah, yang di dalam Piagam Madinah ini dikembalikan kepada hukum Allah swt. dan keputusan Muhammad saw.

Pasal ke-24 s/d pasal ke-35, dinamakan ‘Golongan Minoritas”. Pasal ini dikhususkan kepada golongan minoritas. Pasal ini menegaskan dengan menetapkan persamaan terhadap siapapun yang menjadi warga Madinah.

Pasal ke-36 s/d pasal ke-38, dinamakan “Tugas Warga Negara”. Dalam pasal ini kepada setiap warga untuk mematuhi keputusan pemerintah yang berkaitan dengan keamanan dan kesejahteraan negara.

Pasal ke-39 s/d pasal ke-41 dinamakan “Melindungi Negara”. Dalam pasal ini mengatur perlindungan, baik terhadap negara, tetangga (negara atau perorangan), demikian juga terhadap keluarga. Kemudian juga menegaskan bahwa Madinah merupakan ibu kota negara.

Pasal ke-42 s/d pasal ke-44 dinamakan “Pimpinan Negara”. Pasal ini merupakan “kunci” yang terpenting dari kekuasaan negara. Dalam pasal inilah Muhammad saw. sebagai pemimpin negara yang harus menyelesaikan sega bentuk persengketaan secara adil dan bijaksana tanpa memandang siapapun orangnya.

Pasal ke-45 dan pasal ke-45 sebagai pasal “Politik Perdamaian”. Di pasal ini menegaskan bahwa haluan negara yang harus diwujudkan dalam politik luar negri, ialah politik perdamaian.

Dan yang terakhir pasal ke-47.sebagai “Penutup”. Pengunci dari seluruh yang berisikan sebuah pedoman permohonan doa restu kepada Allah swt. agar menyelamatkan bangsa dan negara yang dipimpin oleh Muhammad saw.

Demikian refleksi butir-butir dari Piagam Madinah, yang harus dimengerti dan dipahami dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Dengan adanya Piagam Madinah, sudah cukup membuktikan pada dunia Barat, bahwa apa yang mereka sangka pada Islam adalah salah. Mereka menyangka bawah Islam adalah agama yang tidak mampu hidup berdampingan dengan agama lain, dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya penguasa dunia dan menindas setiap manusia yang di anggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan.[21]

d.Masyarakat yang Toleran

Peranan Muhammad saw. dalam mengambil kebijakan menjadikan landasan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang toleran. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk membentuk nilai toleransi masyarakat adalalah:

Pertama: dialog umat beragama. Sebuah kesadaran yang tumbuh akan pluralitas keberagamaan, diiringi dengan terbentuknya berbagai forum dialog antra umat beragama, merupakan perwujudan nyata akan peradaban baru umat manusia.

Secara jelas dalam Piagam Madinah dialog antar umat beragama tidak disebutkan secara tegas. Akan tetapi jika diperhatikan secara seksama, pada pasal ke-17 dan pasal ke-23 menyatakan bahwa bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus atas dasar persamaan dan adil di antara mereka, hal ini mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus disepakati dan diterima bersama. Mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu sistem atau prosedur yang menjadikan sarana tercapainya suatu kesepakatan bersama, yaitu dialog atau musyawarah.[22]

Kedua, kerjasama kemasyarakatan. Bahwa kerjasama kemasyarakatan merupakan unsur dasar bagi terbentuknya masyarakat.[23] Apabila kerjasama bisa dibina dengan baik, maka toleransi akan tumbuh dengan baik pula. Melalui kerjasama sosial, maka rasa saling ketergantungan, keakraban, dan persaudaraan, serta saling menghormati antar umat beragama dapat terbina dengan baik. Hal ini bisa telihat dalam pasal ke-37-38, bahwa kaum Muslimin dan Yahudi, sama-sama memiliki tanggung jawab dalam mempertahankan negara.

Sepertinya perlu untuk mencantumkan juga, beberapa faktor yang menjadi pengambat dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang penih dengan nilai toleran dan humanis. Diantara beberapa faktor yang menjadi penghalan nilai toleransi dalam masyarakat adalah: adanya perbedaan, fanatisme negatif, dan penyebaran agama.

e.Pokok Ajaran Toleransi dalam Islam

Islam adalah agama yang pertama kali benar-benar memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia. Konsep ini juga mengandung dampak terhadap kosmopolitanisme bagi pengembangan budaya dan peradaban yang gemilang, karena budaya tersebut bercorak toleran dan kebebasan dalam beragama.[24]

Yang dimaksud toleransi di sini bukan mencampur adukkan agama, akan tetapi adalah memberikan ruang dan waktu untuk berinteraksi secara harmonis dengan orang lain selama tidak melanggar atau menyalahi aturan-aturan yang telah ditetapkan, mengikat dan berlaku umum.

Ajaran pokok dalam agama Islam terkait dengan nilai-nilai toleransi yang terdapat dalam Piagam Madinah adalah sebagai berikut:

Pertama adalah kebebasan tanpa paksaan. Dalam agama Islam yang terkait dengan kebebasan beragama tanpa paksaan, baik secara konseptul maupun praktis, penuh dengan toleransi dan kreasi hidup yang berdasarkan pada interaksi tolong-menolong.[25] Di dalam al Quran, misalkan surat al Baqarah ayat ke 256 dan al Kafirun ayat ke 6 sudah dijelaskan terkait tidak ada paksaan dalam memilih agama, demikian juga dalam Piagam Madinah pasal ke-25. Tidak ada paksaan dalam beragama (religious freedoom). Dalam realitasnya, Muhammad saw. memberikan kebebasan terhadap pemeluk Kristen Najran untuk melaksanakan ritual keagamaannya, serta menjamin institusi institusi Kristen. Begitu pula Muhammad saw. memberikan intruksi kepada Mu’ad bin Jabal ketika hendak berangkat ke Yaman, “Tidak ada orang yahudi yang boleh di ganggu ketika menjalankan agamanya.”[26]

Kedua, kesatuan umat Islam. Ia mencoba untuk meleburkan struktur kelas, etnis, kesukuan, sekaligus menghapus kecondongan manusia yang muncul dari berbagai faktor diskriminasi. Semua manusia berasal dari satu nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa. Semua manusia melalui penciptaan yang sama di hadapan Allah swt. adapun dalam kenyataannya dengan karakter yang berbeda adalah anugrah, dan bukti akan kekuasaanNya, sebagai mana yang terdapat dalam QS. al Baqarah: 213, dan an Nisa’: 1. Sehingga dengan ini juga membawa stimulus kepada semua manusia pada saat itu, bahwa apa yang dirasakan oleh manusia yang berada di kutub selatan, sama dengan yang rasa di kutub utara, yang di barat sama dengan yang di timur, kesamaan denyut jantung, maka harus saling tolong menolong.[27]

Ketiga, penegakan keadilan. Dalam Islam, sarat dengan inspirasi sosial yang mendorong manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya, dan tetap konsisten terhadap formulasi “amal shaleh” dilandasi oleh semangat ketuhanan. Kehidupan bersosial kemasyarakatan tersebut harus ditegakkan di atas landasan keadilan yang berpegang teguh pada hukum yang ditetapkan. Landarannya misalkan QS. Fushilat: 33, dan di dalam Piagam Madinah termaktub dalam pasal ke-10, bahwa siapapun tanpa melihat ras, suku dan golongan, memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dihadapan hukum.[28] Maka dengan ini, keadilan dan etika menjadi landasan urgen dalam tatanan masyarakat.[29]

Muhammad saw. pernah mengungkapkan “Dengan berkeadilanlah, langin dan bumi ditegakkan.” Maka penegakan keadilan atau pembentukan sistem sosial atas dasar keadilan tidak lepas dari dua hal. (1) didasarkan pada ketentuan syariat, dan (2) undang-undang hukum/ qawanun yang adil.[30]

Keempat, sikap muslim terhadap non muslim. Islam membuka pintu lebar-lebar untuk berkoeksistensi bahkan hidup bersama dengan pemeluk agama yang berbeda keyakinan dalam hal sosial.Dengan saling menghargai, menghormati, kasih sayang, serta damai dan rukun antar sesama tidak berpecah belah. Sebagaimana dalam QS. al Muntahanah: 7 dan Piagam Madinah Pasal ke-25.

Ada banyak hadist Nabi yang menjelaskan pola sikap muslim terhadap non muslim, diantaranya adalah: (1) Berbuat baik kepada siapapun, lintas batas "Barang siapa yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak menyayanginya" (HR. Bukhari dan Muslim). (2) Menciptakan perdamaian dan rasa aman. Dinarasikan Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku kelak yang akan menjadi musuhnya. Dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.” (3) Bersikap adil dengan memberikan hak secara proporsional, berlandaskan sabda Nabi saw. dalam hadist qudsinya: Allah swt. berfirman "Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kedhaliman terhadap diriku sendiri, dan aku telah menjadikannya haram pula di antara kalian, maka janganlah saling mendhalimi." (HR. Muslim). (4) Membalas salam, "Apabila salah seorang ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah denan 'Wa'alaikum'." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). (5) Saling mencintai antar sesama, dinarasikan Anas bin Malik RA, sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Demi (Allah) yang jawaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muslim dan Abu Ya’la: 2967). Dan masih sangat amat banyak hadist yang lain, yang menunjukkan lautan teori-teori ilmu sosial positiv, bagaimana seorang muslim untuk berbuat dan bersikap.

Hans Kung dalam bukunya Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, memaparkan berkaitan dengan Deklarasi Dewan Parlemen Agama-agama menegaskan empat rumusan kesepakatan yang disetujui. Keempat kesepakatan tersebut semuanya dibutuhkan bagi setiap manusia untuk mencapai sebuah tatanan gobal yang diimpikan, yaitu meliputi: pertama adalah komitmen pada budaya anti kekerasan dan hormat pada kehidupan. Kedua adalah komitmen pada budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang adil. Kegita adalah komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus. Dan yang keempat adalah komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antar laki-laki dan perempuan.[31] Keempat hasil Deklarasi Dewan Perlemen Agama-agama tersebut memiliki kecocokan dengan piagam madinah dan nilai moral dalam agama Islam.

Beragama merupakan hak setiap orang. Hal ini bukan hanya tercantum dalam Piagam Madinah 14 abad yang lalu, namun juga dikuatkan dengan dokumen internasional Deklarasi Universal HAM (art.18) dan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (art. 18) telah jelaskan bahwa kebebasan agama merupakan hak setiap orang, yang memang harus dihormati dan dijunjung tinggi, maka tidak boleh untuk dilecehkan. Dengan ini sesungguhnya Piagam Madinah masih sangat relevan untuk dijadikan pijakan dalam era modernitas.

III.PENUTUP

Dalam kehidupan masyarakat Madinah pada saat itu, yang sangat plural, multikultural, heterogen, dibutuhkan sistem yang mensinergikan sosial masyarakat yang bergerak dinamis dan humanis. Piagam Madinah adalah solusi tepat untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, sejarah membuktikannya.

Piagam Madinah yang penuh dengan muatan nilai-nilai etika moral yang masih relevan dengan era modern sekarng ini. Salah satu di antara nilai moral yang menjadi titik tekan dalam Piagam Madinah adalah kental dengan nilai toleransi, yang sehemat penulis cenderung kaya dengan tiga aspek: persamaan umat, kerukunan hidup, kerjasama dan tolong menolong. Dalam tempo singkat, Islam bisa diterima dan dianut oleh masyarakat dimanapun dan kapanpun. Keberadaan Islam merupakan pengejahwantahan dari rahmatan lil ‘alamin.

Agama masih memiliki andil yang cukup besar dalam mewujudkan masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi perdamaian, keadilan dan kesejahteraan bersama. Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkannya adalah menguatkan gagasan dan gerakan multikulturalisme, yang mampu mengangkat perhatian terhadap harkat martabat manusia dengan segenap aspek kehidupannya, baik mencakup kebebasan beragama, hak asasi setiap manusia, saling tolong-menolong, termasuk pentingnya menciptakan dan mengembangkan dialog antar umat beragama.[32] Semoga oretan ini menggugah kesadaran bersama, Indonesia yang juga plural ini, belajar pada Piagam Madinah.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Al-Faruqi, Ismail., The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986

Ali, Muhammad Maulana, Islamologi, terj. R. Kaelan dan H.M. Bachrun, Jakarta: Ichtiar Baru, 1977

Aziz, Abdul, Chiefdom Madinah, Salah Paham Negara Madinah, Jakarta: Pustaka Alvabet, LaKIP, 2011

Azra, Azyumardi, Dialog Islam-Kristen di Indonesia, Bekasi: Fokus Muslim Media, 2005

Burdiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008

Esack, Farid, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Ghozaly, Muhammad, Fiqhu-Sirah, Bandung: Ma’arif, Tth

Haekal, Hussen, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994

Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009

Khan, Wahid, Abdul, Rasulullah di Mata Sarjana Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Kung, Hans, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, London: SCM Press, 1990

Sardi, Martino, dkk. Agama dan Perdamaian: dari Potensi Menuji Aksi, Yogyakarta: CR-Peace, 2012

Muthahari, Murtadha, Keadilan Ilahi, Bandung: Mizan, 1992

Pulungan, Suyuthi, J. Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

___________, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan al-Quran, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Rasyid, Anwar, Muhammad Rasulullah,(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985

Rumadi, Masyarakat Pos-Teologi, Wajah Baru Agama dan Demokrasi Indonesia, Jakarta: Mustika Bahmid, 2002

Sachedina, Abd Aziz, Beda Tapi Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002

Schedina, Abdul Aziz, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1993

Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Jakarta: Mizan, 1996

Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001

Suryanegara, Mansur, Ahmad, Api Sejarah I, Bandung: Tarsito, 2009

Thontowi, Jawahir, Islam Neo Imperalisme dan Terorisme Perspektif Hukum Internasional dan Nasional, Yogyakarta: UII Press, 2004

Umari, Akram Diya’, Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah, Jakarta: Media Dakwah, 1994

Zahra, Abu, Hubungan-Hubungan Internasional DalamdIslam, terj. Zein.Jakarta: Bulan Bintang, 1973

[1] Abdul Aziz, Chiefdom Madinah, Salah Paham Negara Madinah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, LaKIP, 2011), hlm. XVI.

[2] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001), hlm. 263.

[3] Abdul Aziz, Chiefdom Madinah..., hlm. 214.

[4] Dikenal dengan bai’atul ‘aqobah pertama (12 orang orang utusan dari Yasrib)dan bai’atul ‘aqobah kedua (75 orang utusan dari Yasrib).

[5] Hijrah secara generik bisa diartikan berpindak, migrasi, tranformasi, serta reformasi ke arah formasi sosial yang teratur, egaliter dan demokratis. Maka secara historis, masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis merupakan visi, orientasi, serta target hijrah Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah.

[6] Al-Baqarah: 218, An-Nahl: 41 dan 110.

[7] J. Suyuthi Pulungan Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 54.

[8] Anwar Rasyid, Muhammad Rasulullah,(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985), hlm. 59.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline