Lihat ke Halaman Asli

Islam, Akal dan Ilmu Pengetahuan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

a.Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Menurut Islmail al Faruqi, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin ilmumodern dengan vision Islam. Dengan demikain ilmu pengetahuan akan membatu menjalankan peran fungsi manusia sebagaimana yang Allah inginkan, terhindar dari sekuler-materialis, rasionalis-empirik yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan keislaman.

Menurut Ziauddin Sardar Islamisasi ilmu pengetahuan penting untuk membangun word view (pandangan dunia) dengan titik pijak utama membangun epistemologi Islam baru dan tidak hanya mensintesiskan ilmu modern dengan Islam. Adapun prinsip-prinsip dari Islamisasi ilmu pengetahuan menitiktekankan pada fondasi epistemology yang bertumpu pada; pertama, tauhidyang merupakan inti dari ajaran Islam. Kedua, kesatuan alam, maksudnya adalah apa yang Allah ciptakan tidak akan mungkin ada campur tangan pihak lain dan tidak ada kesia-siaan (Q.S. al-Baqarah: 22). Ketiga adalah kesatuan kebenaran, bahwa suber hukum Islam berupa Al Quran merupakan kebenaran subtantif, absolute dan tidak akan bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang benar. Keempat adalah kesatuan hidup, ilmu pengetahuan alam harus menjalankan satu kesatuan peran dan fungsi manusia, yaitu sebagai khalifah dan sebagai hambaNya. Kelima yaitu kesatuan umat manusia, artinya semua umat manusia dalam segala heterogensinya sama di hadapan Tuhan, juga barometer penilaian terhadap mereka hanya ketakwaannya. Oleh karena itu datangnya Islam dengan kemajuan ilmu pengetahuannya untuk semua tatanan social secara total.

b.Peran Akal dalam Islam

Manusia dinyatakan sebagai makhuluk yang berakal. Akal merupakan potensi besar intern dalam diri manusia. Namun akal dapat berperan setelah dia mengenal realitas kehidupan dalam rangka memahami isi kandungannya, maka salah satu fungsi akal adalah memahami obyek-obyek realitas-realitas itu berupa realitas empirik dan non empirik. Yang empirik masuk dalam ilmu pengetahuan alam, sedangkan yang non empirik mengenal dan memahaminya melalui jalur teks yang diturunkan dari langit.

Peran fungsi manusia mengenal ilmu pengetahuan begitu penting, terkait dengan kemudahan dalam membantu kehidupan dan menjalankan tugasnya di muka bumi ini. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan maka manusia harus memberdayakan potensi akal yang dimilikinya. Dengan ini maka sesungguhnya Islam menempatkan akal pada posisi sangat penting. Ia adalah sumber daya untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Al Ghazali mendefinisikan akal sebagai berikut:

1.Akal adalah sifat yang membedakan manusia dengan hewan.

2.Hakekat akal adalah ilmu pengetahuan yang dapat membedakan baik buruk.

3.Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan percobaan observasi.

4.Akal adalah kekuatan gharizah atau tabiat untuk mengetahui akibat dari segala sesuatu dan mencegah nafsu serta menundukkannya.

Dengan ini maka jelaslah sudah bahwa sesungguhnya Islam menempatkan akal pada posisi sangat penting yang dimiliki manusia. Ia adalah sumber daya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Islam begitu mendukung terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu, tidak terkecuali Astronomi yang memiliki keterkaitan kuat dengan peribadatan dalam agama Islam. Tertuang dalam Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan bumi dengan kemampuan daya pikirnya, akal (Q.S. 3: 190-191). Maka sungguh tidak dibenarkan kalau ada yang menyatakan ilmu mempelajari alam semesta adalah makruh, justru yang ada adalah sebaliknya.

c.Kedudukan dan Peran Ilmu Pengetahuan Alam

Astronomi merupakan salah satu dari ilmu pengetahuan alam (Kauniyah), yang mempelajarinya juga dianjurkan dalam Islam. Peran fungsi mempelajari ilmu kauniyah adalah:

1.Ilmu alam berperan dalam mengenal kekuasaan Allah. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh ilmuwan Thomas Carlyle “Di dalam labolatorium pengetahuan dengan seluruh sains dan ensiklopedinya, kita akan menemukan secara tepat keberadaan Tuhan.”

2.Studi akan fenomena alam dan keajaibannya akan menciptakan daya syukur dan pemanfaatan alam lebih optimal guna keberlangsungan kehidupan manusia. Tipe manusia seperti inilah yang al Quran menyebutnya sebagai Ulul Albab, cendekiawan muslim taat kepada Allah (Q.S. 2:164 dan 197).

Maka sesungguhnya tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan alam dan agama. Agama mencoba memperkenalkan penyabab terjauh dari segala sesuatu, yaitu Allah. Sedangkan ilmu pengetahuan umum (alam) mencari penyebab-benyebab terdekat. Seorang agamawan jika ditanya kenapa hujan turun? Ia akan menjawab Allah yang menurunkannnya, namun berbeda halnya jika pertanyaa itu ditujukan kepada ilmuan, ia akan memberi jawaban yang berbeda, hujan turun karena ada proses matahari menyinari air yang ada di permukaan bumi, kemudian terjadi meyiblinan, air menguap naik ke langit, terjadi pemadatan kendungan air, ketika tidak kuat menahan berat ia akan jatuh kembali ke bumi karena tarikan gravitasi dan terjadilah hujan.

Ilmu pengetahuan alam ketika mencoba mencari jawaban kenapa terjadi ini dan itu tentang fenomena alam semestra, penyebab-penyabab tersebut jika terus di cari dan ditelusuri maka akan berhenti pada satu penyebab yang tidak tersebabkan lagi, dan itulah yang di kenal dengan sebutan Tuhan. Maka ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum adalah satu kesatuan untuk membuktikan akan keberadaan Allah dan sekaligus menunjukkan akan kekuasaanNya. Maka tidak heran kalau di dalam al Quran sering menggelitik manusia untuk memperhatikan langit dan bumi.

Isma’il al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (terj. Anas Mahyuddin), Bandung: Pustaka, 1984, h. 35.

Jamaluddin Ancok dan Fuat Nasori, Psikologi Islam; Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, h. 114.

Prinsip teleology dan potensi alam.

Q.S. Al-Baqarah : 30 dan Q.S. Adz-Dzariyat: 51-56.

Al hujura: 13

Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Diin, juz I, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), h. 101-104.

Mahdi al-Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, terj. oleh Agus Efensi dari judul asli the Holy Quran and then Science of Nature, (Bandung: Mizan, 1999), h. 62.

Ahmed Dedat, Al-Quran dari Selaga Mu’jizat, terj., oleh Nurudin Prihartono dan Team Titian Ilahi, dengan judul asli Al-Quran the Miracle of Miracle, (Yogyakarta: Titian Ilani Pree, 1996), h. 33.

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1999), h. 213.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline