Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Relawan Atau Pelari Jauh?

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331534355776949160

[caption id="attachment_165834" align="aligncenter" width="550" caption="yang ini jelas pelari (sumber:mediaindonesia.com)"][/caption] JADI RELAWAN DI WILAYAH BENCANA tak melulu menghadirkan cerita heroik sebagai penolong para korban. Sekali-kali ada juga lucunya—bahkan kalau diingat-ingat lagi sekarang, setelah bencana tersebut lama berlalu: k o n y o l . Setidaknya itulah yang dialami oleh beberapa relawan—yang memalukannya termasuk saya sendiri—berikut ini. Saya dan beberapa kawan dari Medan yang tergabung di Posko KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan; sebuah LSM di Medan) waktu itu menjadi relawan di Meulaboh, Aceh Barat, paska wilayah itu (dan Aceh pada umumnya) digoncang gempa berkekuatan 9.8 SR dan disapu badai tsunami pada penghujung 2004 lalu. Kami bertugas mendistribusikan bahan makanan (sembako) kepada pengungsi yang menjadi korban tsunami dan gempa di kota berjuluk Bumi Teuku Umar tersebut. Pada malam hari, karena tidak ada lagi pekerjaan, sembari beristirahat, saya dan kawan-kawan lain menghibur diri dengan bermain kartu dengan taruhan jongkok. Memang pada malam hari tak banyak yang bisa dilakukan, apalagi Meulaboh masih lumpuh, puing-puing masih berserakan di sana-sini, warung kopi yang biasanya banyak tersebar di sana, masih belum buka. Waktu menunjukkan 20.30 waktu setempat. Permainan kartu sedang berjalan dengan seru-serunya, beberapa kawan yang kena hukuman jongkok karena kalah sudah panas kupingnya karena korban candaan kawan yang menang. “Wah, sudah bisa bikin goreng telor nih!” canda seorang kawan memegang lutut kawan yang sedang jongkok yang langsung disambut dengan “hahahaha...” oleh kawan-kawan yang lain. “Tunggu giliran kau nanti ya!” balasnya kesal. Tiba-tiba sayup-sayup kami dengar orang-orang berteriak. “Air naik. Air naik. Tsunami! Tsunami! Tsunami!” Kami pun terperanjat. Reflek kartu di tangan langsung kami lepaskan dan bergegas melihat apakah memang benar-benar terjadi tsunami? Jantung pun mulai berdetak cepat. Tsunami, siapa tak takut? Seorang kawan langsung mengambil rompi pelampung dan membagi-bagikannya kepada kami. Karena jumlahnya terbatas, tak semua orang mendapatkannya. Di luar orang-orang sudah sibuk. Anak-anak menangis. Sebagian orang mengungsi dengan naik truk menuju daerah yang lebih tinggi. Kami pun bergegas menyelamatkan diri juga, naik ke lantai atas (kebetulan posko kami berlantai tiga), kami berpikir, kalau sudah di atas pastilah gelombang tsunami tidak mencapai kami lagi. Dengan rompi pelampung begitu, maka miriplah kami dengan penjaga pantai yang sedang bertugas di menara pengawas. Tak pelak dalam adegan serial TV Baywatch yang terkenal itu. Tapi tunggu punya tunggu tsunami tak kunjung datang, sampai kemudian mobil patroli polisi berkeliling mengabarkan tidak ada tsunami, dan apa yang disangka tsunami hanya air pasang laut biasa saja. Masyarakat di sana masih trauma, air pasang yang naik ke darat (rob) disangka tsunami. “Sial!” pikir kami. Bukan apa-apa, karena sesudah itu jadilah kami bahan ejekan kawan-kawan yang lain, yang tidak kebagian pelampung. “Mau selamat diri sendiri, yo?” Tapi tak apalah, syukur tsunami itu tak benar-benar terjadi. Kejadian kedua terjadi waktu Gempa Nias, kalau tak salah sekitar tahun 2005. Wilayah Aceh termasuk Meulaboh pun waktu itu ikut bergoncang. Bumi terasa akan runtuh. Listrik langsung padam. Gelap. Tanpa menunggu komando, saya pun lari bersama seorang kawan menyelamatkan diri ke jalur evakuasi kalau(-kalau) terjadi tsunami. Beberapa kawan lain masih tinggal di Posko (dan rupanya sempat mengunci pintu dan memasukkan sepeda motor yang masih di halaman ke garasi sebelum menyelamatkan diri). Alhamdulillah, gempa waktu itu tak disusul dengan tsunami.  Kira-kira setengah jam kemudian kami berkumpul lagi dengan kawan-kawan yang lain. Barulah kawan saya menyadari kalau dia berlari hanya pakai celana pendek (yang biasanya digunakan untuk celana dalam) dan singlet saja. Mirip seperti pelari tanpa nomor punggung saja. Mulailah saling mengejek lagi. Seorang kawan senior kemudian mencandai saya dan kawan itu, “Wah, cepat lari kalian ya. Cocoknya bukan jadi relawan yang membantu orang lain kalian ini tapi jadi pelari jauh!” “Asem!” pikir kami. [*] JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal(-asalan) Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline