Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Apa yang Salah dengan Kulit Coklat Orang Indonesia?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_131314" align="aligncenter" width="600" caption="Ingat, Bung! Kapitalisme itu pintar! (sumber:bosque-santa.blogspot.com)"][/caption]

Oleh JEMIE SIMATUPANG

KARENA SUDAH BAWAAN GEN(enetik)—barangkali, karena saya bukan seorang dokter ahli gen dan kulit—kulit Orang Indonesia itu berwarna coklat, tidak seperti warna kulit orang eropa yang putih, Jepang yang kuning, atau orang afrika yang hitam. Hal mana, barangkali lagi, ditambah iklim di negeri ini yang sepanjang tahun menjadi perlintasan matahari. Jadilah kita, orang Indonesia ini, kebanyakan terjemur di bawah tanglas terik matahari, hal mana menambah tingkat kecoklatan kulit.

“Jadi kulit coklat ini memang sudah begini adanya?”

“Ya, sudah begitu!”

“Terus apa yang salah!”

“Tak ada!”

“Lalu!”

Lalu barangkali—saya hanya mereka-reka—datanglah orang-orang dari “negeri di atas angin” ke negeri ini. Mereka takjub….

“Melihat batapa coklatnya kulit penduduk negeri ini?”

“Bukan!”

Tapi melihat begitu kayanya wilayah ini dengan sumber daya alam—dengan rempah-rempah, hutan, bahan tambang, dlsb. Mereka berpikir, alangkah banyak untungnya kalau barang-barang itu dibeli, dan dijual lagi ke negerinya sana. Dan sejak itu, mereka datang untuk berdagang.

Sudah jadi sifat manusia: tamak. Berdagang saja rupanya lama pula menghasilkan keuntungan. Kayaknya negeri ini bisa dicaplok saja, apalagi kalau dilihat-lihat dari tampangnya, penduduk negeri ini banyak nrimonya—untuk tidak mengatakan: bodoh—pikir mereka. Lalu terjadilah penjajahan.

“Lalu apa masalahnya dengan kulit coklat kita ini?”

“Sebentar!”

Di bawah sistem penjajahan rupa-rupanya manusia memang harus dibedakan-bedakan secara hirarkis, dimana yang atas lebih mulia daripada yang bawah, paling tidak dua golongan: penjajah dan terjajah. Atau konteknya waktu itu: eropa, timur jauh, dan inlander (bumi putera).

Maka jadilah segala sesuatu yang berbau eropa menjadi sangat istimewa. Bernilai. Dari makanan, pakaian, rumah, dan sederet tetek bengek gaya hidup, sampai ke hal-hal yang sangat pribadi, misalnya ya kulit putih. Yang cantikya yang kulit putih, yang coklat identik dengan inlander—kelas bawah. Orang-orang kita rela menjadi nyai demi mendapat keturunan yang kulitnya putih (indo) selain tentu karena alasan ekonomi. Dan yang laki-laki tentu sangat bangga kalau-kalau saja punya pacar orang eropa (atau paling tidak Indo) sebagai Minke berpacaran dengan Annelis dalam “Bumi Manusia” yang diceritakan oleh Pram (sudah pasti dengan: oedya Ananta Toer)—konon ini juga obsesi sang penulis roman itu sendiri.

“Tapi sekarang kan bukan jaman penjajahan lagi!”

“Benar, kita sudah merdeka lebih dari 60 tahun!”

“Terus mengapa kita terus mengutuki kulit kita yang coklat ini?”

Kita memang merdeka dari bangsa eropa—juga Jepang yang kulitnya kuning—tapi kita masih di jajah oleh (lama-lama kok terasa klise menyebutkannya) kapitalisme--apalagi saya sadar tak sadar menikmatinya. Mereka yang punya uang, bikin kampanye sedemikian rupa bahwa kulit putih itu adalah cantik. Tidak dengan kulit coklat. Lalu bagaimana biar putih, tentu saja menawarkan produknya. Pemutih inilah, pemutih itulah, krim dengan bubuk mutiaralah, moizturizerlah, dan entah apalagi namanya itu.

Kita terus dijor-jorin dengan pemahaman-pemahaman bahwa putih itu lebih cantik ketimbang coklat apalagi hitam. Di pusat perbelanjaan kita dihampiri cewek-cewek yang insya allah kulitnya tak juga seputih kapas sebagai produk yang mereka tawarkan, agar mencoba pakai krim pemutih yang mereka promosikan. Dirayu-rayu. Di TV juga, di radio—yang dari suaranya saja kok ya seperti melihat ceweknya benar-benar putih—dan juga di internet.

Alam sadar dan bawah sadar kita mengakui kulit putih itu cantik, sexy, lebih bersih. Apalagi kan putih itu artinya suci--tentu jangan menyebutkan: keputihan. Dan lama-kelamaan kita dibuat minder dengan kulit coklat, dan sekali-kali tergoda juga mencoba krim pemutih.

“Benar juga!”

“Berarti kau pernah mencobanya!"

"Ssstt...!"

“Hahahaha...!"

“Tapi kok bule-bule suka berjemur di pantai?”

Yah, ingat Bung, kapitalisme itu juga pintar, di sini mereka jual produk pemutih tapi di eropa konon pernah saya dengar ada pula krim pencoklat!

“Bah!” [*]

JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal(-asalan) Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline