Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Bulu Ketek

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_123498" align="aligncenter" width="670" caption="Tau apa mereka tentang sejarah? Sejarah ditulis oleh Si Penguasa Uang! (repro karya heri dono, sumber:noudanou3.blogspot.com)"][/caption]

Anda tahu sendiri, baginya uang hanyalah bulu ketek saja, tentu saja bukan bulu keteknya sendiri, bulu ketek seluruh warga kota yang dipangkat duakan. Akh, itu baru kira-kira saja, angka sebenarnya ia sendiri tak tahu pasti.

Prosa JEMIE SIMATUPANG

MELIHAT TANAH KOSONG melompong, Sang Developer kita melihatnya bagai harta karun berharga semata. Berkilau-kilau. Tentu saja ingin memilikinya. Tak nyenyak tidurnya manakala tanah itu belum jatuh ke tangannya—terbawa-bawa ke mimpi. Berbagai cara dilakukan, supaya si pemilik melepaskan tanahnya itu, dari cara-cara yang mudah sampai cara-cara yang agak sulit.

Satu kali misalnya ketika dia jalan-jalan ke pinggir kota, ia melihat sawah milih seorang warga yang lumayan luas. Ia langsung temui si petani, ia kabarkan pada petani itu, kalau dia ingin membeli tanahnya. Ia tawarkan harganya yang di atas pasar—yang bisa membuat tergiur siapa saja, apalagi hanya seorang petani.

“500 per meter, bagaimana, Pak?

“500 perak?”

“Akh, Bapak bercanda! 500 ribu, Dong!”

Betani itu tampak berpikir. Yakin tak yakin dengan harga yang ditawarkan. Biasa pun orang menawar sawahnya itu 200 ribu, itu pun sudah paling tinggi.

“Oke, saya tambah 50 ribu lagi!”

Petani itu makin tertegun—yang 500 ribu saja sudah mau diiyakannya, tapi sekarang di tambah lagi.

“Iya, saya jual untuk, Bapak!”

Bagaimana petani itu bisa berbuat lain? Lagipula apa yang bisa diharapkan dari sawah itu, bisa-bisa malah mati kelaparan. Sudah beberapa tahun ini gagal panen terus, pupuk harganya semakin melambung, membuat tanaman padinya tumbuh segan mati tak mau dengan sentuhan pupuk seadanya. Pupuk bersubsidi? Entah kemana menghilangnya—barangkali di gudang-gudang para agen ataupun cukong. Belum lagi hama wereng yang datang tak terkendali dari atas dan keong mas yang menyerbu dari bawah. Tumpas padi itu satu per satu sebelum lagi sempat tubuhnya yang bunting menghasilkan bulir.

Tanah itu pun sekarnag milik Sang Developer. Ya, kalau saja ada yang segan melepas tanahnya, walaupun sudah ditawar dengan harga selangit, developer kita tak segan-segan pakai cara keras. Ia kirim preman dan segala macam, kalau tak bisa juga, kerjasama dengan pemerintah setempat, dan orang itu bisa dituduh “penghalang pembangunan kota”. Tuduhan bisa melebar kemana-mana hingga orang itu melepaskan tanahnya.

Dan memang belum pernah developer ini tak berhasil mendapatkan tanah yang diinginkannya.

Setelah dapat diapakan tanah itu?

Namanya saja developer, tentu saja dikembangkan. Dibangun. Seringnya dibangun perumahan elit, yang akan dijual dengan harga selangit kepada pejabat-pejabat dan pengusaha-pengusaha kaya. Developer kita itu sadar benar, uang tak adalah harganya bagi mereka itu. Bak bulu ketek saja, bulu ketiak, yang hari ini dicukur, eh besok sudah tumbuh lagi.

Lain waktu, dimana letaknya dirasa strategis, dan setelah berkonsultasi dengan pakar fengshui, tanah yang dibebaskannya itu dibangun mall, plaza, atau apa pun namanya itu. Tempat dimana orang-orang kaya akan memuaskan hasratnya akan benda-benda, dari pakaian, makanan, mobil, dan segenap gaya hidup lainnya. Semua ada di mall itu. Dan mereka memang tak peduli dengan harganya yang mahal.

“Akh, bagi mereka dan saya, uang itu seperti bulu ketek ini,” katanya sambil mencabut selembar bulu keteknya, membauinya, dan melemparnya ke tong sampah.

Sekarang hampir semua tempat di kota ada bangunannya. Ada andilnya. Ada sahamnya. Mall besar di tengah kota itu, dibangunnya tahun lalu, kerjasama dengan developer dari Jakarta. Perumahan elit di kota itu, dibangunnya 5 tahun yang lalu dengan modal sendiri.

Uangnya sudah tak terkira banyaknya. Dari hari ke hari bertambah saja. Rekeningnya tiap hari mesti ganti buku, karena ada saja uang masuk dari sana sini. Anda tahu sendiri, baginya uang hanyalah bulu ketek saja, tentu saja bukan bulu keteknya sendiri, bulu ketek seluruh warga kota yang dipangkat duakan. Akh, itu baru kira-kira saja, angka sebenarnya ia sendiri tak tahu pasti. Kalau saja ada yang jahat, semacam Melinda Dee, yang mencatut uang di rekening banknya, sudah pasti ia tak tahu sama sekali.

Tapi begitu jangan bilang ia tak peduli dengan orang lain dan lingkungan. Ia terkenal dermawan. Ia dirikan yayasan sosial di sana-sini, fakir miskin dan anak telantar disantuninya belaka. Ini dalam rangka membantu program pemerintah, amanat konstitusi, katanya. Ia juga punya beberapa kebun binatang, semua jenis binatang ada di sana, dari jenis semut sampai gajah, ada belaka. Jadi siapa bilang dia merusak lingkungan? Asosial? Akh, itukan kata-kata orang sirik saja--sirik tanda tak mampu, tak mampu seperti saya.

Orang-orang sirik ini jugalah yang telah mengorganisir masyarakat untuk berdemo pada tiap-tiap proyeknya. Misalnya saja pabrik es yang ingin dijadikannya mall itu, orang-orang berdemo karena katanya pabrik es itu adalah cagar budaya, punya nilai sejarah. Akh, sejarah! Tahu apa mereka dengan sejarah? Bisa apa sejarah itu tanpa uang? Yah, kan uang itu sebenarnya sejarah sendiri? Siapa yang menguasai uang, dialah yang akan membuat sejarah!

Apalagi dia sudah mengantongi izin dari Gubernur. Siapa yang berani menantang. Walikota yang tak setuju dengan bangunan ini mestinya hanya gara-gara soal jatah saja. Kurang siram barangkali. Jangan bawa nama-nama sejarah dong! Begitu pikirnya selalu.

“Anjing mana sanggup menggonggong kalau kafilah sudah melempar tulang!?” serunya selalu.

***

BULAN AGUSTUS. Hujan mulai turun. Curahnya tinggi hari ke hari. BMKG memperkirakan hujan tak reda menjelang Januari tahun depan.

Sungai meluap. Kota mulai banjir. Awalnya di pinggir-pinggir, tapi lama kelamaan sampai ke jantung kota. Air mengalir kemana-mana. Mulanya semata kaki, sebetis, selutut, sepaha, dan akhirnya hanya meninggalkan kepala manusia saja.

Di TV dikabarkan kalau banjir kali ini karena beberapa faktor,hilangnya daerah serapan; sawah yang berganti bangunan, penebangan hutan, dan perubahan cuaca ekstrim—yang konon juga karena rusaknya lingkungan.

“Tak mungkin!” kata Developer ketika menontong berita.

“Ini pasti gara-gara orang-orang miskin yang membuang sampah sembarangan ke sungai,” katanya mengingat pelajaran SD-nya.

Beberapa bentar kemudian pun lantai satu tiap gedung sudah tenggelam. Orang-orang tinggal di lantai dua. Dua tenggelam tinggal di lantai tiga. Tak ada tanda-tanda air surut. Ini air tak biasa, bagai air bah yang telah menenggelamkan umat Nuh yang ingkar perintah Tuhan saja.

Developer kita mulai khawatir. Kini ia dan keluarga tinggal di lantai empat rumahnya. Semua hartanya di lantai bawah, habis semua, mobil mewah, lemari antik, sofa dari luar negeri, lukisan dari pelukis legendaris, habis terendam air. Yah, semua memang diasuransikan, tapi ia tak yakin juga, karena pastinya perusahaan asuransinya juga sudah ikut tenggelam.

Air mulai naik ke lantai 4. Tak ada lantai 5 di rumahnya—kecuali dia ingin tinggal di atas genteng. Ia duduk di kursi kerjanya. Rekening banknya sudah terapung, berikutnya nampak surat berharga berputar-putar mengikuti alur air. Ia ingin tangkap surat itu, tapi air terlalu deras, surat itu hanyut dan keluar melalui jendela.

“Tak mungkin!” katanya.

Ia lalu menyelam lagi, mencoba mencari harta-hartanya yang bisa diselamatkan. Keluarganya, anak dan isterinya, sudah naik ke genteng. Tak mungkin bisa bertahan di lantai 4 kalau tak mau tenggelam.

“Pak, ayo naik,” ajak anaknya.

“Naik saja dulu, nanti Bapak menyusul,” katanya.

Ia terus-menerus menyelam, dan mengumpulkan harta bendanya. Menyelam, timbul, dan ia dapat seikat uang, ia letakkan di tas yang tergantung paku dekat dinding.Ia tertawa. Saya dapat, saya dapat, katanya. Menyelam lagi, dapat surat, ia masukkan lagi. Ia tertawa lagi.

Air semakin dalam, anaknya mengajaknya lagi agar naik ke atas, tangannya sudah diulurkan. Tapi Si Developer tak menghiraukan.

Lantai 4 tenggelam, dan Si Developer pun tak naik-naik lagi. Anaknya hanya bisa melihat tas berisi uang dan surat berharga hanyut—terbawa arus entah kemana! [*]

Medan, 08/08/2011

JEMIE SIMATUPANG warga kompasiana.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline