[caption id="attachment_120766" align="aligncenter" width="413" caption="Salah satu edisi Indonesia Animal Farm karya Geroge Orwell (sumber: facebook toko buku kafka)"][/caption]
Semua binatang sederajat, tapi beberapa binatang lebih sederajat daripada binatang lainnya,begitu sekarang bunyinya
Bung,
SEEKOR BABI MENGGALANG barisan untuk melakukan revolusi di sebuah peternakan. Rapat-rapat rahasia dilakukan di malam hari. Sembunyi-sembunyi. Sejumlah rencana disusun. Dan pada hari yang telah dilingkari dalam kalender, perebutan kekuasaan pun terjadi. Revolusi berdarah. Sang Pemilik peternakan mereka serang habis-habisan, bahu-membahu, hingga terusir dari peternakan miliknya tersebut. Kekuasaan beralih, dari manusia ke binatang.
Inilah revolusi kebinatangan pertamayang pernah terjadi di bumi—baik bumi manusia maupun bumi binatang sendiri.
Bung,
Di tangan binatang, kehidupan binatang menjadi lebih baik. Lebih egaliter. Kini mereka bekerja bukan lagi atas keterpaksaan, ketakutan, tekanan di bawah ancaman cemeti manusia. Mereka bekerja atas dasar kesadaran akan kewajiban mereka masing-masing. Dan tiap-tiap binatang mendapatkan haknya pula di bawah panji-panji revolusi.
“Sama rasa, sama rata,” seperti itulah kira-kira kata Kamerad Babi.
Jaminan hak itu tak sekadar ada di lenguh babi saja, ia juga tertera dalam sebuah konstitusi yang mereka sepakati bersama—dan tertulis besar di sebuah dinding yang ada di peternakan, dimana tiap binatang bisa membacanya setiap saat. Konstitusi kebinatangan. Undang-undang dasar ini kemudian dijabarkan dalam 7 pasal, yang menjamin prinsip-prinsip kebinatangan untuk semua:
(1) Apa pun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh. (2) Apa pun yang berjalan dengan empat kaki atau memiliki sayap adalah teman. (3) Tidak ada binatang yang boleh mengenakan pakaian. (4) Tidak ada binatang yang boleh tidur di atas tempat tidur. (5) Tidak ada binatang yang boleh minum alkohol. (6) Tidak ada binatang yang boleh membunuh sesama binatang lainnya. (7) Semua binatang sederajat.
Bung,
Lord Acton satu kali pernah mengatakan, kekuasaan cenderung menyeleweng, dan kekuasaan yang absolut pastilah menyeleweng. Benar saja. Tak sampai hitungan tahun babi yang bertindak menjadi pimpinan revolusi, yang kata-katanya didengar binatang lain sebagai titah nabi (bukan babi), menunjukan gelagat tak benar.
Prinsip-prinsip kebinatangan mereka amandemen sedemikian rupa, secara sepihak, sehingga menguntungkan bagi kekuasaannya. Berawal dari pembagian makanan yang tak adil, dimana susu hanya untuk para babi, karena mereka adalah pekerja yang butuh tenaga lebih—pekerja pemikir. Mereka juga melegalkan alkohol untuk babi, termasuk tidur di atas tempat tidur, berpakaian, dlsb-nya (baca saja de-el-es-be-nya).
Tak ada yang berani melawan. Semua patuh belaka dengan Sang Babi. Bahkan seekor binatang lain yang berani membantah harus rela dicap kontra revolusioner untuk kemudian disingkirkan. Dibungkam. Pasal tidak boleh membunuh sesama binatang telah diabaikan.
Revolusi memakan anak kandungnya sendiri.
Bung,
Sudah pasti ini adalah cerita khayal belaka. George Orwell, sastawan besar Inggris, merawikannya dengan apik kepada kita di bawah judul Animal Farm (pernah diterjemahkan ke Indonesia sebagai Negara Binatang dan Binatangisme). Walau khayal, cerita ini jelas berangkat dari fakta politik yang ada—revolusi-revolusi yang pernah terjadi. Misalnya saja bagaimana Lenin melakukan revolusi di soviet, yang mana kemudian, demi langgengnya apa yang mereka sebut pemerintahan revolusioner, elemen yang bersuara lain dengan mereka dibabat habis. Tak terkira lagi statistik korban manusia dalam revolusi itu. Bahkan Stalin, pengganti Lenin, dengan dingin mengatakan, “Seorang dibunuh adalah kejahatan, tapi ribuan hanyalah statistik!”
Orwelll, yang juga aktivis politik, sadar benar sifat jahat kekuasaan—terlebih yang absolut. Dengan Animal Farm, ia menyindir kekuasaan manusia yang kadang tak ubahnya dengan binatang (bahkan melampuinya).
Bung,
Pada akhirnya di Animal Farm, babi menjungkir balikkan sila-sila kebinatangan. Untuk menopang perekonomian, memperkaya babi, sekarang mereka juga bekerjasama dengan manusia. Berdagang. Jelas, ini melanggar sila pertama. Di tahap puncak, pasal terakhir, yang pada dasarnya adalah pasal terpenting dalam binatangisme juga diamandemen oleh babi untuk kepentingan mereka dengan menambahkan sub pasal pengecualian—eksepsi.
“Semua binatang sederajat, tapi beberapa binatang lebih sederajat daripada binatang lainnya,” begitu sekarang bunyinya.
Sekarang babi menjadi kelas pendindas baru—yang menindas binatang lain. Nasib binatang lain, kuda, domba, ayam, bebek, dan binatang ternak lain tak berubah: dulu ditindas manusia sekarang ditindas oleh sesama binatang.
Bung,
HATI-HATI DENGAN KEKUASAAN, karena dalam cengkramannya manusia dan binatang tak jauh beda tabiatnya.
Medan, 23 Juli 2011
Tabek!
js
NB:
Bung, sepertinya ini surat kesekian saya tentang Negara Binatang, semoga Anda tidak bosan membacanya. Tak lain karena buku ini saya anggap sebagai salah satu buku wajib baca—terlebih bagi penguasa di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H