Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Mbak, Hidup Memang Bukan Pasar Malam!

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13099512661898296889

[caption id="attachment_117945" align="aligncenter" width="651" caption="Satu-satu kita datang, satu-satu pula pergi! (sumber:wongalus.wordpress.com)"][/caption]

Hidup memang bukan pasar malam, tulis Pram satu kali. Bergerombol datang dan bergerombol pula pulang. Di dunia ini kita satu-satu datang dan satu-satu pergi. Dan Eliana telah pergi mendahului kami—kita

Mbak,

ADA YANG LAHIR, ada yang mati. Ini hukum alam. Dan bagi Eliana, sahabat kami, kedua peristiwa itu—lahir dan mati—terjadi dalam selisih hari (karena belum lagi bisa dibilang bersamaan). Rabu (29/06) ia melahirkan seorang bayi lelaki, anak pertamanya, tapi Senin (04/07) ia meninggalkan kami selamanya.

“Datang dari Tuhan dan kembali kepada-Nya,” ucap sanubari saya kali pertama mendengar kematiannya.

Mbak,

Eliana (nama saya ditulis dengan satu "l" katanya selalu mengingatkan) tentu bukan siapa-siapa. Saya yakin Anda juga tak mengenalnya. Ia bukan publik figur di negeri ini. Dan surat obituary yang Anda terima ini juga bukan untuk mempopulerkannya kembali—pun kalau iya tak ada gunanya juga baginya. Ia saya kenal kira-kira 3 tahun lalu, ketika diterima di tempat saya bekerja, dan ditempatkan satu tim dengan saya. Sejak itu kami mulai bekerjasama dalam bebeberapa program perlindungan anak—karena kebetulan kami bekerja di isu ini.

Pintar. Cekatan. Pekerja keras. Ya, tiga predikat ini saya lekatkan padanya. Ia tak mau menunda pekerjaan. Satu kali katanya kepada saya, “Jem, jangan tumpuk-tumpuk kerjaanmu, kerjakan apa yang bisa dilakukan hari ini, jangan tunggu esok!” (Semua kata-katanya itu diucapkannya seolah senafas, tak heran kemudian kawan-kawan menganggapnya cerewet, dan ia juga tak sungkan mengakui bahwa ia memang cerewet) Tapi saya memang lain, nasehat begitu tak masuk di kepala saya yang memang pemalas dan suka menumpuk pekerjaan—baru sibuk ketika deadline yang disepakati sudah mendekat. Yah, tapi soal saya itu soal lain. Eliana tidak begitu. Ia selalu mengerjakan segala sesuatunya dengan cepat, bahkan di awal-awal masuk bekerja, ia selalu menyiapkan pekerjaannya sebelum tengat waktu yang telah jadwalkan.

Karena itu kemudian ia cepat disenangi teman sekerja—juga atasan. Tak heran kemudian, walaupun baru di dunia per-LSM-an, ia dipercaya untuk mengikuti berbagai pertemuan tingkat nasional, bahkan pernah diutus untuk pertemuan tingkat regional. Terakhir ia terlibat dalam penyusunan laporan alternatif (yang akhirnya menjadi laporan tinjauan) pelaksanaan Hak Anak di Indonesia—sebuah laporan penting dari mata masyarakat sipil tentang bagaimana Negara memenuhi hak anak di negeri ini: yang di dalamnya banyak temuan-temuan yang mencengangkan: bahwa anak Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Mbak,

Tanda pekerja keras ia buktikan dengan tetap bekerja walaupun dalam kondisi hamil, bahkan ia tetap masuk kuliah—karena memang ia sedang mengambil program S2 di salah satu universitas di Medan. Ketika kami menjenguknya di rumah sakit, tak lama setelah ia melahirkan anaknya, ia bilang kepada kami:

“Seminggu lagi saya mau ikut ujian,” katanya.

Yah, kawan-kawan yang membesuk tentu menganggap dia terlalu bersemangat. Hello…, seminggu lagi? Apa sudah bisa jalan-jalan, apalagi melahirkannya operasi begitu. Tapi ya, kami tak heran, memang begitulah dia adanya. Seorang kawan perempuan hanya bilang, “Istirahat saja dulu, yang penting kau dan anakmu sehat, jangan pikirkan yang lain.”

Tapi Tuhan berkehendak lain. Ia memastikan Eliana tak bisa mengikuti ujian di kampusnya semester ini, Ia memanggilnya untuk selamanya. Kami semua tak percaya dia telah pergi. “Akh, semalam kan dia baik-baik saja!”, “Waktu kami membesuk ia masih bercanda-canda dengan kami!” dan segala macam ungkapan ketidakpercayaan lainnya. Tapi untuk beberapa waktu kemudian kami sadar, adalah Tuhan yang telah mengatur segalanya. Bahkan, kita tak tahu apakah besok diri kita masih hidup—jangankan besok: satu jam ke depan saja, tak akan ada yang bisa menjamin.

Ibunya, yang selama ini menjaganya di rumah sakit bilang, kejadiannya tiba-tiba saja. Mendadak. Awalnya ia merasa sesak nafas, tapi tak lama kemudian ia pun menghembuskan nafas terakhir. Dokter bilang ia mengalami infeksi paru-paru. Tapi beberapa spekulasi bilang karena kesalahan medis. Ya, bisa jadi yang mana saja. Dan saya pikir tak saatnya untuk mencari apa sebabnya, terlebih di tengah suasana duka begini. Yang jelas dia telah memenuhi janjinya kepada Tuhan, untuk kembali menghadap kepada-Nya.

Mbak,

Eliana memang sudah pergi. Saya kehilangan seorang kawan—sekaligus sosok kakak—yang punya dedikasi tinggi terhadap pekerjaan, terlepas dari segala macam kekurangannya. Saya hanya bisa mendoakan agar beliau mendapat tempat yang baik di sisi-Nya; diterima segala amal-ibadahnya dan dimaafkan semua kekhilafannya.

Akh, hidup memang bukan pasar malam, tulis Pram satu kali. Bergerombol datang dan bergerombol pula pulang. Di dunia ini kita satu-satu datang dan satu-satu pergi. Dan Eliana telah pergi mendahului kami—kita. Selamat jalan, Kawan!

Medan, 06 Juli 2011

Salaman,

jemie simatupang

NB:

Konon satu kali So Hok Gie dalam buku catatannya pernah mengutip Nietzsche. Kira-kira begini tulisnya, yang terbaik adalah tidak dilahirkan, kedua terbaik adalah mati muda. Ya, saya kira Eliana (almh) ini juga beruntung, layaknya Gie sendiri, ia mati muda. Semoga kita--eh saya--tidak dimatikan dalam keadaan tua, terlebih menjadi beban bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline