Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Kepala yang Gatal, Anunya yang Digaruk

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mbak, KAYAKNYA NEGERI INI selalu hingar-bingar dengan persoalan demi persoalan. Kasus ke kasus. Silih berganti. Yang baru sajalah—kalau tak mau melongok jauh ke belakang—kisruh korupsi di tubuh partai yang melibatkan Nazaruddin, bendahara partai penguasa, kemudian soal Nunun yang menghilang entah ke “rimba” Singapura yang mana setelah terjerat kasus suap-menyuap pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda Gultom. Lalu yang ter-anyar ada lagi soal Ruyati; TKW yang dijatuhi hukum pancung setelah membunuh majikannya karena ia kerap menerima siksaan. Ya, melihat kejadian-kejadian ini kita cuma bisa mengurut dada. Kalau tidak ya menggaruk kepala yang tak gatal. Rasa gatal itu tambah mendera manakala melihat penguasa kita tak banyak berbuat apa-apa. Nazaruddin sampai sekarang mangkir dari panggilan KPK, Nunun idem dito. Tapi SBY yang katanya paling depan memimpin perang terhadap korupsi itu tampaknya tak bisa berbuat banyak kecuali bersembunyi di balik angkuh tembok istana (barangkali juga sambil garuk-garuk kepala karena lihat survey LSI yang menyatakan popularitasnya anlok masuk jurang). Layaknya kura-kura dalam perahu—pura-puralah ia tidak tahu kalau pernah bikin statement begitu. Tak jauh beda dengan kasus Ruyati. SBY nyata-nyata gagal melindunginya dari tajamnya pedang algojo yang berkilau-kilau ditimpa matahari yang menyinari Saudi Arabia sabtu itu—hari ketika Ruyati dipancung. Ruyati mati sunyi—bisa jadi ketika penguasa sedang menikmati sarapan paginya yang empat sehat lima sempurna sambil nontot TV. Akh, ia baru kelimpungan, heboh, bak kebakaran jenggot, ketika rakyat merasa diusik kemanusiaannya. Rakyat berteriak: Ruyati adalah pancaran diri kami, mengusik Ruyati berarti mengusik kemanusiaan kami. Lalu buru-burulah penguasa buat statement keprihatinan, buat satgas, dlsb. Aha, Satgas lagi, setelah sekian banyak satgas di negeri ini yang editansil atawa ejakulasi dini  tanpa hasil alias mandul. Seorang kawan bilang, “Kalau tiap masalah ada satgasnya, lama-lama negeri ini diurus oleh tenaga outsourcing, apa kerja orang-orang di departemen itu?” Ya, apa kerja mereka kalau untuk ngurus TKI (yang terjerat hukum) ini ada satgas lagi? Ada depnaker, ada deplu, kemudian sebelumnya sudah ada BP2(atau 3 atau 4 atau 5 ya)PTKI. “Jangan-jangan lama-lama nanti presiden pun kita pakai jasa outsourcing dari luar,”—kalau itu—kata saya. Ya yang jelas dengan Satgas mestilah mengeluarkan dana lagi—habiskan uang negara lagi, uang rakyat lagi. Lumayan kalau hasilnya ada, kalau editansil juga seperti satgas yang lain? Mbak, Kawan saya yang lain bilang, penguasa negeri kita ini seperti pemadam kebakaran. Tiap muncul persoalan, datang petugas pemadam kebakaran, air disiramkan, lalu reda. Kebakaran lagi, siram lagi. Begitu terus. Tidak pernah dicari sebab mengapa kebakaran terus-menerus terjadi: apa karena tatak letak bangunan yang salah, bahan bangunan, atau kesadaran manusianya yang tak bisa menggunakan tabung gas misalnya. Akibatnya kebakaran terus; terus dan menerus. Saya sendiri lebih suka bilang—ini juga diilhami oleh beberapa rekan di kompasiana—: kepala yang gatal anunya yang digaruk. Kalau kepala yang gatal ya kepalalah yang digaruk, jangan yang lain, karena gatal tak akan berkurang, bahkan bisa jadi menimbulkan masalah baru: luka akibat kuku misalnya. Kita analogikan saja dengan kasus Sumiyati, TKW yang dulu disiksa majikan, SBY bilang beri HP kepada TKI yang akan berangkat ke luar negeri, masalahnya: “Bagaimana sistem perlindungan TKI di luar negeri? Kok bisa ada TKW yang disiksa begitu parah—mengapa sampai ada TKW jatuh ke tangan majikan predator begitu—dan anehnya majikannya tak dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya?” Atau lebih jauh lagi misalnya, saya kira—dan banyak kita kira—masalah TKI berawal dari tak tersedianya lapangan pekerjaan di negeri ini. Negara gagal memenuhi hak warga negaranya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Yang bisa membuat hidupnya makmur sejahtera. Lalu mengapa penguasa tidak memprioritaskan membuka lapangan pekerjaan di negeri sendiri sebanyak-banyaknya? Kalau saja di negeri ini banyak pekerjaan yang membuat rakyat sejahtera tak mungkin ada lagi orang seperti Ruyati yang mau jadi PRT di Saudi Arabia—dimana masyarakatnya masih banyak mengamini perbudakan. Mbak, Kalau kepala Anda menjadi gatal-gatal, terlebih setelah membaca surat saya ini, saya harap Anda menggaruk kepala Anda saja. Jangan anunya yang digaruk ya, maksud saya jangan tangannya, jangan kakinya, jangan badannya, apalagi sampai menggaruk anunya si anu: bisa berabe nanti, hahaha… Medan, 27 Juni 2011 Tabek! Jemie Simatupang NB: Mbak, kalau kepala Anda tak hilang gatalnya—bahkan setelah Anda garuk—bisa jadi Anda berketombe. Berkalibumbu, kata orang di kampung saya. Hm, tak ada salahnya mencoba anti-ketombe tradional warisan leluhur kita. Jangan pakai yang pabrikan. Konon kata kawan saya anti-ketomber modern hanya bagus di iklannya saja. Tapi entah juga yang “iklan ketombe” yang maksa nempel di postingan saya ini—saya belum coba. [caption id="attachment_116366" align="aligncenter" width="553" caption="Benar awak Yus, kepala yang gatal kepala lah yang digaruk! (sumber:rakyatmerdekaonline.com):"][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline