Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Tiga Pertapa, Dodolitdodolitdodolibret, dan Klaim Kebenaran

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1310191462300353903

[caption id="attachment_118404" align="aligncenter" width="657" caption="Mbak, ini penting, tolong baca NB-nya! (karya Agus Suwage, sumber:artculture-indonesia.blogspot.com)"][/caption]

Akh, saya memang lebih suka membaca cerpen. Bacaan al-kitab saya belum benar. Keliru selalu.  Saya suka membaca Tolstoy, membaca SGA. Kan kebenaran itu bisa datang dari mana saja—tak terkecuali dari cerita-cerita fiksi belaka?

Mbak,

APA YANG KITA ANGGAP KEBENARAN, bisa jadi bukanlah kebenaran. Paling tidak bagi orang lain—lebih jauh lagi: di tempat lain ataupun di waktu yang berbeda. Kebenaran itu relatif. Tak mutlak. Benar versi kita bisa jadi salah bagi orang lain. Begitulah simpulan akhir saya ketika membaca dua cerpen Tiga Pertapa dan Dodolitdodolitdodolibret, masing-masing karya Leo Tolstoy, sastrawan mashur asal Rusia, dan Seno Gumira Ajidarma (SGA), sastrawan-wartawan asal negeri ini—yang tak kurang populernya. Dua cerpen ini menjadi menarik karena ada kesamaan ide di dalamnya sampai-sampai SGA dituduh memplagiasi karya Tolstoy—karena memang yang terakhir ini yang terlebih dulu menuliskannya. Konserns saya di surat ini tidak pada klaim benar-tidaknya SGA memplagiasi, tapi konteks isi cerita kedua cerpen itu terhadap situasi keberagaamaan kita sekarang. Mbak, Dalam Tiga Pertapa, Tolstoy dengan apik menceritakan seorang uskup yang mengajarkan cara beragama yang baik dan benar—mempelestkan JS Badudu: Inilah Agama yang Baik dan Benar—kepada tiga orang pertapa yang tinggal di sebuah pulau terpencil. Sang Uskup mengajarkan bagaimana cara berdoa yang benar, karena menurut Uskup cara berdoa mereka yang hanya, “Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka kasihanilah kami,” dinilai salah. Keliru. Sesuai ajaran kekristenan maka Uskup mengajarkan doa dengan awalan menyebut: “Bapak kami yang ada di surga…” Akhirnya setelah susah payah, karena memang para pertapa sudah tua—sehingga bak kata pepatah: belajar di waktu tua seperti melukis di atas air—maka akhirnya pertapa itu berhasil melafalkan doa yang diajarkan. Uskup sangat senang. Para pertapa juga tak kalah senang. Akhirnya, karena merasa telah berhasil menjalankan misi mengembalakan domba yang tersesat, Sang Uskup mohon pamit. Ia hendak meneruskan perjalanan dengan sebuah kapal yang telah menantinya.

Maka berpisahlah mereka. Sang Uskup melanjutkan perjalanan dengan kapal. Tapi beberapa saat kemudian ada sesuatu yang mengikuti kapal mereka. Jalannya begitu cepat. Dan akhirnya berhasil menyusul kapal yang ditumpangi Sang Uskup. Ia—Uskup—terkejut ketika melihat apa yang mengejarnya: “Para pertapa itu berlari di atas air seolah berada di daratan!”

Belum selesai keterkejutannya, Tiga Pertapa itu pun berkata pada Sang Uskup: “Kami lupa apa yang kau ajarkan wahai pelayan Tuhan… Ajarilah kami sekali lagi.” Sang Uskup makin terkejut. Ia bahkan membuat tanda salib di dadanya. Kemudian ia tersadar, “Doa kalian di dengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajarkan kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini!” Sang Uskup sadar sebagaimana ajaran keagamaannya, orang yang doanya benar maka ia bisa berjalan di atas air. Mbak, Sementara Dodolitdodolitdodolibret yang ditulis SGA menceritakan tentang Guru Kipli. Seorang guru agama. Ia berpendapat cara beragama orang sekarang banyak yang salah. Tak benar. Juga cara berdoanya. Ia sampai heran juga, apalagi “… buku Cara Berdoa yang Benar banyak di jual di mana-mana.” Dengan asumsi itu, ia kemudian mengajarkan cara berdoa yang benar kepada semua orang, sampai satu kali ia mengajarkan doa kepada 9 orang penghuni pulau yang ada di tengah danau. Balik sedikit ke belakang, Kipli tak percaya kalau orang yang berdoa yang benar bisa berjalan di atas air. Menurutnya itu hanya Mitos. Dongeng. Mungkin semacam dongeng Sang Putri dan Ksatria penghantar bobo saja. Maju lagi. Sampailah Kipli di pulau—dengan bersusah payah tentunya. Pulau itu subur, penduduknya yang 9 orang itu hidup makmur. Sejahtera. Tak kurang satu apa pun. Tapi Kipli beranggapan, karena mereka tinggal di pulau itu saja, pastilah mereka tidak tahu bagaimana cara berdoa yang benar. Ya, dari siapa mereka belajar? Di sana tak ada ustad, pendeta, pastor, atau siapa pun yang bisa mengajarkan. Maka, seperti Sang Uskup dalam Tiga Pertapa, Kipli juga mengajarkan penduduk pulau itu bagaimana berdoa yang benar. Doanya sederhana saja (anggaplah lapalnya—sebagaimana judulnya—Dodolitdodolitdodolibret). Tapi biar begitu, orang pulau terpencil itu susah juga menyebutkannya, mereka bisa kalau dibimbing Guru Kipli, tapi kalau dilepaskan, mereka lupa lagi. Tapi akhirnya setelah bekerja keras menghapal, mereka berhasil juga. Kini mereka bisa berdoa dengan baik. Guru Kipli berhasil. Dan karena itu ia hendak undur diri dari pulau itu, mengajarkan doa yang benar kepada orang lain. Guru Kipli lalu melepaskan tambatan perahunya, dan pergi setelah mengucapkan salam perpisahan dengan mereka, mengayuh perahunya menyebrangi danau. Keajaiban itu terjadi lagi—sebagai di Tiga Pertapa. Sembilan penghuni pulau menyusul Guru Kipli yang sedang di atas perahu. Ia terkejut, tapi juga tersadar, apa mungkin karena doa yang diajarkannya dilakukan secara benar sehingga mereka bisa berjalan di atas air? Artinya dongeng itu bukan mitos belaka? Tapi akhirnya Guru Kipli mendapatkan jawabannya ketika mereka berkata: “Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!” Mbak, Membaca dua cerpen ini membuat saya teringat dengan apa yang terjadi di negeri. Jelasnya lagi: bagaimana kita beragama? Di negeri ini tak jarang orang memaksakan kebenaran kepada orang lain, bahkan bukan seperti cara-cara Sang Uskup dan Guru Kipli yang dilakukan dengan kasih-sayang, tapi dengan cara-cara kekerasan. Dengan kepalan tangan, pedang,  bahkan letusan bom. Sekelompok orang berteriak-teriak atas nama Tuhan, lalu mencap kafir orang-orang yang tak sepemahaman dengan mereka. Membunuhnya. Lalu membakar rumahnya, tempat ibadahnya, bahkan kitab sucinya. Padahal konon mereka berasal dari agama yang sama. Siapa yang bisa menjamin sekarang bahwa apa yang kita lakukan adalah benar dan mereka lakukan adalah salah sebelum ditegakkan mizan di akhirat kelak? Akh, saya memang lebih suka membaca cerpen. Bacaan al-kitab saya belum benar. Keliru selalu.  Saya suka membaca Tolstoy, membaca SGA. Kan kebenaran itu bisa datang dari mana saja—tak terkecuali dari cerita-cerita fiksi belaka? Mungkin mereka yang suka kafir-mengkafirkan ini juga harus banyak-banyak cerpen—disamping juga tentu terutama: kitab suci mereka. Yah, paling tidak agar tidak terlalu hitam-putih memandang hidup ini. Memandang kebenaran. Ya, siapa tahu orang-orang yang dibunuh atas nama kebenaran itu rupanya sebangun dengan Tiga Pertapa yang rupanya lebih benar cara beribadahnya, sehingga Sang Uskup yang kini harus belajar dengan mereka. Atau seperti 9 penghuni pulau terpencil yang rupanya lebih benar dibanding Guru Kipli—karena ternyata bahkan bisa berjalan di atas air. Siapa tahu? Mbak, Saya hendak pada kesimpulan awal tadi lagi: apa yang kita anggap kebenaran, bisa jadi bukanlah kebenaran. Paling tidak bagi orang lain—lebih jauh lagi: di tempat lain ataupun di waktu yang berbeda. Kebenaran itu relatif. Tak mutlak. Benar versi kita bisa jadi tak benar bagi orang lain. Bagaimana menurut Anda? Medan, 9 Juli 2011 Salaman, js NB: Kalau sudah selesai tolong pulangkan buku Para Priyayi saya. Saya masih ingat, lho! Jangan pura-pura lupa gitu, dong! Biar Nunun saja yang lupa, hehehe…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline