Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Bodohnya Penjaga Surau Kami

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbak, INI CERITA AJO SIDI yang telah menghebohkan kampung tempat di mana ia tinggal. Cerita khayalan belaka. Jadi, kata Ajo Sidi, di akhirat kelak terjadilah pengadilan terhadap seluruh umat manusia yang pernah hidup di bumi—dari jaman Tok Adam hingga Ridho Rhoma sekarang. Bagi yang banyak amalnya bolehlah dimasukkan sorga, sebaliknya nerakalah tempat mereka yang berprilaku jahat saja di dunia dulu. Satu per satu diperiksa tanpa terkecuali. Seorang haji—terlihat dari lobe yang digunakan—maju ke depan. Sedari tadi ia senyam-senyum saja. Manakala melihat orang lain dilemparkan ke neraka setelah ditimbang amal ibadahnya, kembang senyum mengejeknya. “Rasain. Makanya banyak beribadah dulu,” bathin haji ini. Ia tak kurang senyum turut berbahagia juga manakala Ridwan mempersilahkan seseorang masuk ke sorga dengan segala hormat. “Selamat. Sebentar lagi saya menyusul,” katanya—kali ini tak sekedar dalam bathin. Lalu tibalah giliran Si Haji ini. “Nama!” tanya Tuhan. “Saleh, Ya Tuhan. Tapi karena saya sudah ke Mekkah, orang-orang menabalkan nama saya sebagai Haji Saleh!” “Oke, Saleh. Apa kerjamu di dunia dulu!” “Saya beriman dan bertaqwa kepada Anda wahai Tuhan. Saya mendirikan shalat tiap waktunya!” “Yang lain?” tanya Tuhan. “Puasa ya Tuhan!” “Ada lagi?” “Mengaji ya Tuhan. Saya banyak hafal ayat-ayat-Mu!” “Selain itu?” “Tiap waktu saya berzikir kepada Anda ya Tuhan. Tak ada waktu tanpa berzikir!” “Ada lagi?” Haji Saleh berpikir. Sepertinya sudah semua dikatakannya apa-apa yang dikerjakannya di dunia dulu. Tak ada yang tertinggal. Tapi mengapa Tuhan masih juga bertanya lagi. Akhirnya, mungkin sadar ia terlalu sombong, Haji Saleh merendahkan sikapnya. “Saya sudah katakan semua ya Tuhan. Tapi Anda ini kan Maha Tahu, mestilah sesembahan saya ini lebih tahu dari apa-apa yang tidak tahu yang saya kerjakan!” “Malik!” Panggil Tuhan, “Bawa orang ini, lemparkan ia ke neraka jahanam!” Haji Saleh terkejut. Ia tak habis pikir. Menurutnya ia telah melakukan yang terbaik di dunia demi meningkatkan keimanannya kepada Tuhan, bahkan ia rela tinggal di surau, meninggalkan anak dan isterinya. Ia sampai tak berharap apa-apa lagi dari dunia, yang menurutnya tipuan belaka. Belum habis keheranan Haji Saleh, Malik telah menedangnya ke neraka: “Gedebluk!” Keheranan Haji Saleh bertambah karena di neraka juga banyak orang-orang seperti dirinya, bahkan ibadahnya yang lebih khusuk daripadanya. Ada yang bertitel Kyai, Ulama, Syekh, dlsb. Pastilah Tuhan sudah salah kaprah, bathinnya. Akhirnya ia menghasut pada orang-orang ini menghadap Tuhan, mengapa mereka dijerumuskan ke neraka. Maka berdemolah mereka pada Tuhan. “Tuhan, apa hal sehingga kami dimasukkan ke Neraka? Padahal kami telah melakukan semua yang Kau perintahkan waktu di dunia dulu? Mana janjimu—memasukkan kami ke Sorga?” tanya Haji Saleh yang menjadi pimpinan demo. “Kalian ini dari mana?” “Indonesia, ya Tuhan!” “Yang negerinya subur itu, yang dari perut buminya keluar minyak dan bahan tambang itu?” “Benar itu negeri kami!” “Yang pernah dijajah Bangsa lain lebih dari 350 tahun itu?” “ya, memang bangsat Belanda itu, Tuhanku!” “Yang walaupun negerinya kaya tapi rakyatnya banyak miskin itu?” “Ya Tuhanku!” “Yang sering kacau, berkelahi antar sesama, merebutkan tanah, harta, kekuasaan itu kan?” “Ya, tapi kami tak peduli pada harta itu. Yang penting kami bisa selalu beribadah kepadamu—walaupun bagaimana miskinnya kami ini,” “Dan karena itu anak cucumu tetap hidup seperti kalian, sama melaratnya seperti kalian,” “Tak jadi soal Tuhan, tapi mereka juga pintar mengaji. Hafal semua ayat-ayatMu!” “Tapi sama dengan kamu, apa yang dibaca tak ada yang dipahami!” “Ada Tuhan!” “Kalau paham, mengapa kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Hasil bumimu dikeruk bangsa lain. Dan mereka, anak cucumu itu lebih senang bekerja di negeri lain, jadi TKI—bahkan saya dengar ada yang sampai dipancung segala. Sementara dirimu siang malam hanya memuji-muji saya. Saya tak butuh pujian. Tanpa puja dan pujimu saya sudah besar! Sekarang kalian mengerti?” kata Tuhan. Semua mereka terdiam. “Malaikat, lemparkan kembali mereka ke neraka!” Mbak, Begitulah kalau saya reka-reka kembali cerita Ajo Sidi. Yakh, kalau ceritanya berhenti di situ saja mungkin tak heboh, tak menggemparkan orang sekampung. Masalahnya kemudian seorang penjaga surau setelah mendengar cerita Ajo Sidi ini besoknya bunuh diri. Panas hatinya, karena memang cerita ini ditujukan Ajo Sidi kepada penjaga Surau itu, yang tiap hari kerjanya bersembahyang, berzikir, sementara makannya tergantung pada belas kasihan orang lain—termasuk zakat fitrah orang kampung yang diterima setahun sekali. Dan karena kebodohannya—karena rasionya tak bisa digunakan lagi—akhirnya ia bunuh diri, bukannya cerita ini menjadi lecutan baginya untuk memperbaiki cara beragamanya yang mungkin keliru. Ya, dengan bunuh diri jelas—insya Allah—langsung gol ke neraka, dan cerita Ajo Sidi menjadi kebenaran belaka. Mbak, Ajo Sidi sendiri adalah tokoh rekaan AA. Navis—bukan Aa Gym—dalam Robohnya Surau Kami. Entah mengapa saya teringat kembali cerita Guru SD kita dulu itu—yang sering diulang-ulangnya kala pelajaran Bahasa Indonesia. Saya kira cerita ini sedikit-banyak masih aktual sampai sekarang, maknanya bisa melihat kembali bagaimana cara beragama kita selama ini. Jangan-jangan kita beribadah kepada Tuhan semata-mata karena menginginkan Sorga karena takut pada nerakanya, dan kita tak peduli dengan ibadah-ibadah sosial yang lain; yang meninggikan martabat kita sebagai manusia. Cemana menurut Anda, Mbak? Medan, 28 Juni 2011 Tabek! Jemie Simatupang [caption id="attachment_116678" align="aligncenter" width="498" caption="Karya Agus Suwage (sumber:bandung.detik.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline