[caption id="attachment_117009" align="aligncenter" width="639" caption="Sutan Baginda dan Setan Bagi Anda itu hanya beda tipis! (karya Agus Suwage, sumber:fineartamerica.com)"][/caption]
Rakyat sekarang ini hanya mau janji yang berdasarkan ayat-ayat saja. Mereka sudah tidak percaya kepada omongan para pemimpin. Mereka sudah mulai bosan. Kalau kita bicara tanpa merujuk ayat-ayat Qur’an mereka mencibir mulut kita
Oleh JEMIE SIMATUPANG INILAH CERITA tentang Sutan Baginda cucu Murtaza cicit Salehuddin. Ia politikus ulung dari Malaysia. Sungguh lihai berpolitik. Pragmatisme ideologinya. Ia tak segan-segan melompat dari satu partai ke partai lain demi kekuasaan yang lebih besar. Sah-sah saja. Baginya, dalam politik tak ada kawan dan musuh abadi. Ia juga tak segan-segan memakai dalil-dalil agama, teori-teori politik kontemporer, bahkan cara-cara kotor demi melanggengkan kekuasaannya. Awalnya Sutan Baginda merintis karir di parpol TRTI, kemudian ia ditawari oleh politikus lain bernama Nirwan Safari, pimpinanan PARAYU untuk masuk ke partainya. Ia lalu menjadi orang kedua di PARAYU, setelah Nirwan tentunya. Kemudian dengan segala cara ia coba mempertahankan kekuasaannya sekarang dan merebut posisi Nirwan, termasuk dengan menikahi Uji, seorang uzatadzah, menikahi Dahlia, Doktor politik, dan “menyimpan” Fidah, seorang Rocker beraliran heavy metal. Dengan menikahi Uji, Sutan Baginda berharap ia bisa melegitimasi kekuasaannya dengan dalil-dalil agama. Tiap saat Sutan belajar agama, khususnya berkaitan dengan politik, dari isterinya itu. Ia selalu meminta isterinya untuk mencarikan dalil-dalil kitab suci tentang kepemimpinan: tentang kemimpinan yang dilakhnati Tuhan dan yang direstui Tuhan. Ia lalu menghapal-hapal dalil itu, dan ketika berpidato di depan pengagumnya Sutan pun mengeluarkan dalil-dalil itu. Apa sebab orang ini perlu memakai dalil ayat-ayat suci. Tentang ini Sultan menyatakan: “Rakyat sekarang ini hanya mau janji yang berdasarkan ayat-ayat saja. Mereka sudah tidak percaya kepada omongan para pemimpin. Mereka sudah mulai bosan. Kalau kita bicara tanpa merujuk ayat-ayat Qur’an mereka mencibir mulut kita”. Rupanya Sutan ini selain hasrat untuk berkuasanya besar juga hasrat akan birahi. Seks. Buktinya setelah menikahi Uji ia perlu lagi menikah dengan Dahlia. Ya, memang bukan sebatas soal seks semata, ada tujuan politik juga. Dahlia ini seorang doktor di bidang politik. Ia dosen kenamaan. Umurnya memang sudah agak tua—telat menikah—, tapi bagi Sutan tak ada jadi satu halangan. Yang penting ia bisa merenggut dua hal sekaligus darinya: seks dan siasat politik. Dari Dahlia Sutan belajar teori-teori politik. Tentang The Ugliness and the Beuaty of the Naked Power, tentang kekuasaan individual dan kekuaasaan organisasi, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ia juga belajar bagaimana menjatuhkan Nirwan—kawan tapi dalam politik menjadi lawan—dengan cara kotor. Dahlia menyarankan dengan mensetting sebuah affair yang bisa memburukkan citra Nirwan di dunia politik. Dan untuk itu Sutan sendri sudah punya umpan, dia adalah Fidah. Fidah adalah seorang rocker beraliran heavy metal. Ia vokalis band The Sacred Sucker yang sedang merintis karir di dunia musik. Umurnya sangat belia. Sutan menjadikannya isteri simpanan—isteri tak yang sah. Mereka melakukan praktik simbiosis mutualisme: sutan mendapatkan seks darinya, dan Fidah dan bandnya menjadi terkenal karena selalu mendapat kontrak untuk bermain di hotel-hotel kenamaan di Malaysia. Dan akhirnya, Sutan pun memanfaatkan Fidah untuk diumpan kepada Nirwan—pada satu acara yang telah disetting oleh Sutan—berdasarkan masukan dari Dahlia, isterinya yang doktor politik itu. Sutan berharap affair yang mereka lakukan (Nirwan dan Fidah) terbongkar ke publik, sehingga ia tak diharapkan lagi di PARAYU, dan secara otomatis Sutan menggantikan posisinya. *** CERITA SUTAN BAGINDA adalah novel karangan Shahnon Ahmad, seorang sastrawan kebangsaan Malaysia (Edisi Indonesia diterbitkan YOI, 1992). Ia menanggap fenomena dunia politik di Malaysia pada waktu itu yang penuh dengan kebobrokan: korupsi, nepotisme, affair, dan lain sebagainya. Dan orang tak segan-segan memakai segala cara—sebagaimana Sultan Baginda—untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Sultan sendiri pada akhirnya diceritakan gila. Bukan gila kekuasaan lagi, tapi benar-benar gila, sehingga ia sering tertawa tanpa sebab. Ber-hahaha sendiri. Ia menceracau tentang segala macam kejadian di Malaysia yang penuh dengan politik kotor: tentang polarisasi kaum (Melayu, Cina, dan India), Money Politic, pembangunan jembatan pulang penang, peritiwa mamali (yang konon mirip peristiwa Tanjung Priok di Indonesia), dan lain sebagainya. Walaupun ditulis 20-an tahun yang lalu, cerita ini kayaknya masih aktual, bahkan di negeri kita ini: Indonesia. Orang masih suka menjadi kutu loncat, dari partai satu ke partai penguasa, dst. Politik kotor masih berlaku. Perselingkuhan ulama (yang dalam novel itu dilambangkan dengan Uji), intelektual (dilambangkan Dahlia), dan pemanfaatan kaum muda (dilambangkan Fidah), masih terus terjadi. Bahkan belakangan kita dengar ulama di negeri ini ditarik-tarik agar membuat fatwa haram menggunakan bensin bersubsidi bagi orang kaya—yang tak lain karena kehilangan akal penguasa saja dalam mengurus energi. Akhirnya politik dengan cara-cara kotor begini, sebagai yang dilakoni Sutan Baginda, bukanlah demi rakyat, walaupun ia tiap berpidato selalu mengatakan atas nama rakyat. Yang dilakukannya sebaliknya: memupuk kekayaan, kekuasaan, kenikmatan dunia, dlsb. Akhirnya ia tak lebih menjadi setan bagi Anda—bagi kita semua. Awas-awaslah! [*] JEMIE SIMATUPANG tukang kompor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H