Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Dwi Koen, Panji Koming [85-86] dan Pemberontakan

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12958653412115295708

[caption id="attachment_86802" align="alignleft" width="308" caption="Pailul dan Panji Koming karya Dwi Koen (sumber:zonapencarian.blogspot.com)"][/caption]

Siapa bilang aku masa bodo!... Sulit, berat, prihatin kan sudah apalan... tiap tahun kita rasakan

Oleh JEMIE SIMATUPANG APALAH JADINYA Kompas Minggu tanpa Panji Koming? Saya jawab sendiri: macam makan ikan bawal goreng garing tanpa sambal. Ya, namanya ikan bawal yang digoreng—garing pula—ya tetap enak, tapi enaknya tambah afdhol (ditulis pakai "d" dan "h" biar tambah afdhol)—Bondan Winarnonya: lebih makyus—kalau ada sambalnya. Ya tak? (saya sarankan: iya kan saja, biar senang hatinya—maksudnya hati saya, hahaha...) Dan begitu jugalah Kompas Minggu (yang memang lebih enak dibaca karena lebih ringan tapi tetap berbobot—sebagai ikan bawal goreng) tanpa Panji Koming. Tapi ngomong Panji Koming tak bisa tanpa menyebut Dwi Koen—berbicara Panji Koming mau tak mau juga berbicara Dwi Koen. Mereka itu mesti diucapkan satu nafas. Cemana tidak, Panji Koming itu kan karakter komik yang diciptakan oleh Dwi Koen—apa jadinya kartun tanpa Sang Pencipta—kan ini macam anak tanpa orang tua. Dwi Koen—kadang Pak DeKa—bernama lengkap Dwi Koendoro Brotoatmodjo lahir 13 Mei 1941 di Banjar (Jawa Barat). Dalam garis darahnya, Dwi Koen masih keturunan RM. Ronggowarsito (1802-1873) yang terkenal dengan syair Zaman Edan yang meramalkan apa yang terjadi di negeri ini di masa mendatang (maksudnya sekarang, dan edan banyak benarnya). Dwi Koen sendiri menganggap leluhurnya itu sosok orang jenius yang gila (komentar saya: kan antara jenius dan gila itu beda tipis, lihat saja gaya rambut Einstein yang tampak edan itu) dan ia bangga sebagai keturunannya. “Walaupun cuma kebagian gilanya,” tulisnya satu kali. Dan mungkin tak bercanda Dwi Koen mengakui kegilaannya atawa keedanannya itu. Lihat saja, ketika banyak orang yang ramai-ramai menyembah kekuasaan Orde Baru dengan tokoh sentral Soeharto, Dwi Koen—dan segelintir orang lain—termasuk yang mengkritiknya. Tak bisa dengan frontal—yang kadang memang akan dilawan dengan kekuatan-kekuatan bersenjata—Dwi Koen mengkritik dengan kartun—yang memang menjadi keahliannya. Dan Panji Koming, sosok—sebagai digambarkan Tempo—lugu, polos, tapi cerdik adalah sarana Dwi Koen menyampaikan kritikan-kritikannya. Panji Koming dalam catatan wikipedia.org pertama kali diperkenalkan di Kompas Minggu 14 Oktober 1979. Panji Koming konon menyingkat nama “KOMpas MINGgu”, tapi pun begitu koming juga berarti “bingung” atau bahkan “gila”—mungkin pengejewantahan sosok Dwi Koen yang memang mengaku gila itu, sebagai keturunan RM. Ronggowarsito. Setting komik ini adalah masa Maja Pahit. Namun apa yang terjadi di negeri itu—dalam gambaran komik ini—tak lain apa-apa yang terjadi sekarang di Indonesia—pada saat komik itu digambar. Sosok-sosok lain yang hadir dalam kartun Panji Koming adalah Pailul, sahabat Panji Koming yang konyol tapi (kadang) cerdas, Dyah Gembili (pacar Pailul), Nini Wor Ciblon (pacar Panji Koming)—apa mereka belum menikah dari dulu?—dan Mbah, sosok orang tua bijaksana. Satu kali misalnya (saya menggunakan bahan dari buku Panji Koming kumpulan 85-85) dalam komik tertanggal 6 Januari 1985, Panji Koming berbicang-bincang dengan Pailul, karib Koming, yang sedang asyik meniup terompet tahun baru. “Kita memasuki tahun sulit lho, Pailul!” Pailul tak bereaksi. Panji Koming melanjutkan obrolannya. “Tahun yang ...” “Pret...pret..pret...!” Pailul meniup terompet. “Tahun yang berat dan prihatin!” kata Panji Koming sambil menutup telinga—bising dengan terompet Pailul. “Thett...thuweettt....!” Pailul terus meniup. “Jangan masa bodo!” hardik Panji Koming—tampak tak senang. “Siapa bilang aku masa bodo! ... Sulit, berat, prihatin kan sudah apalan... tiap tahun kita rasakan!” “Tapi kayaknya tahun ini bakal LEBIH BERAT!” “Bagus! Berarti ada peningkatan” jawab Pailul dengan muka culun, dilanjutkan dengan tiupan terompetnya, “Theet...thueeett...tiyet...tololiyeeettiuut...tulithuewet...” Ya, begitulah kedua sosok itu menghadapi tahun baru, yang konon waktu itu adalah tahun-tahun berat bagi kehidupan rakyat kecil semacam Panji Koming dan Pailul. Agaknya yang kita hadapi di tahun baru ini pun juga tak jauh berbeda. Masih relevan saja komik itu. Lain kali Dwi Koen melalui Panji Koming mengkritik soal banjir yang terjadi di negeri ini: masing-masing menyelamatkan nyawa, harta, tapi penguasa sibuk menyelamatkan wibawa (20 Januari 1985). Soal “perdamaian” dengan Polantas misalnya satu kali Koming, Pailul dan Mbah berjalan-jalan dengan cikar, rupanya dihentikan oleh petugas kerajaan berpakaian karena melanggar peraturan. Pailul lalu bilang pada Panji Koming, “Seperti biasa Koming, dua ratus kepeng, buat bayar harga perdamaian,” Tapi rupanya petugas minta lima ratus kepeng. Koming lalu menyimpulkan, “Harga-menghargai bisa tergantung seragamya!” (10 Februari 1985). Ya, begitu juga awak rasa sekarang, kalau mau damai dengan polisi juga harus lihat seragamanya, dan lihat kendaraan apa yang dipakainya saat mencegat—menyetop—kita: kalau pakai mobil sedan patroli itu biasanya akan kenal lebih mahal. Menulis (tepatnya: menggambar) kritak-kritik begini memang bukan hal gampang saat Orde Baru. Dwi Koen sendiri mengaku sering ditelpon—tak dijelaskan oleh siapa—agar ia tahu diri. Menurut Koen, ada 16 topik nasional yang tak boleh disentuh waktu itu. Kalau pun berani—dalam bahasa Dwi Koen: menakalinya—harus mau menerima resiko, bakal diinternir, bahkan bisa jadi babak belur. Gawat! Ya, tapi apa yang tak dilakukan oleh penguasa otoriter yang takut kekuasaannya digugat—bahkan oleh seorang Panji Koming sekali pun. Bisa disimpulkan kalau Panji Koming adalah pemberontakan Dwi Koen dengan kekuasaan—yang memang selalu cenderung korup. Pemberontakan sebagai seniman melalui karya-karyanya—mengamini Albert Camus. Ia tak mau tunduk dengan kekuasaan yang seringkali mengatur semua apa yang boleh dan apa yang tak boleh dilakukan. Kalau berani melanggar: AWAS! Tapi Dwi Koen tak gentar. Ia terus menggambar—mengkritik. Dan Panji Koming tetap setia memberontak sampai sekarang: dari Soeharto, Habibi,Gus Dur, ... sampai SBY sekarang ini. Pailul, Koming, dkk teruslah memberontak, jangan mau tunduk dengan kekuasaan yang acapkali mengharamkan kritik! [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan. TAK PENTING: Mengapa Panji Koming [85-86]? Karena ini bagian dari buku obral yang saya beli di Toko Buku Sembilan Wali—Medan seharga Rp.3.000,- masih mulus. (Akh, senangnya hati) Buku lainnya dengan harga Rp.3000,- sd Rp.5.000,-: (1) Panji Koming [87-88], Dwi Koen (2) Guruku Orang-Orang Pesantren, KH. Zaifuddin Zuhri, (3)Mulla Shadra, Dr. Syaifan Nur, (3) Mengenal Cyberspace, Joanna Buick dan Zoran Zeptic (4) Suara Waktu, Mochtar Pabotinggi, dan (5) Dialog Antar Peradaban: Islam, Barat, dan Jawa, Mahmud Toha (juga lain-lain pernah dipostingkan pada tulisan sebelumnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline