Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Kalau SBY Seorang Pinokio

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="329" caption="Tiap kali berbohong, tiap kali pula hidungnya memanjang (sumber:www.toonpool.com)"][/caption]

Oke… oke…, cuma cemburu dikit, kok. Boleh dong. Kan kekuasaan itu cemburu tho…. Apa itu bahasa inggrisnya…?

Oleh JEMIE SIMATUPANG Ya, ANDAI SAJA SBY (baca saja: es-be-ye dan tidak ada kepanjangannya, sudah demikianlah orang tuanya memberi nama) presiden kita yang elok tutur sapanya itu, seorang Pinokio tentu kita tak perlu repot-repot—otomatis kita ikut jejas Gus Dur, yang juga pernah menjabat presiden itu, yang memang tak pernah repot dengan segala hal persoalan. Kita jadi Lebih tenang. Tak ada yang perlu direpotkan lagi, dikhawatirkan lagi, tak ada juga yang perlu diragukan lagi, apakah ia—presiden kita itu—sedang berbohong atau tidak. Sedang jujur atawa hanya basa-basi saja. “Kenapa?” tanya Anda. “Anda ini macam tidak tahu saja, kalau dia berbohong kan kita langsung tahu,” jawab saya. “Kok bisa tahu?” kejar Anda—tampaknya memang belum paham (dalam bathin saya: heran juga, kok jaman serba informasi begini ada orang yang aktif di internet tak tahu Pinokio, digooling dong, ketik saja Pinokio, tapi okelah, saya terangkan seperlunya) “Hidungnya akan memanjang!” Ya, hidungnya memanjang. Begitulah sebagai yang kita tahu bagaimana cerita karangan Carlo Collodi dalam Petualangan Pinokio Si Boneka Kayu yang bisa bicara, anak angkat Si Tukang Kayu Gapetto, yang karena kenakalannya dikutuk pasthu Ibu Peri: jika berbohong maka hidungnya akan memanjang. Jeder! (suara apa itu: Tante Shie Batuk). Kini tiap kali Pinokio berbohong hidungnya bertambah panjang sekian senti, bohong lagi, panjang lagi, bohong lagi, panjang lagi, bohooooooonngg, panjang lagi (intonasi membacanya layaknya lagu alm. Mbah Surip: Bangun Tidur) dan akhirnya bisa-bisa melebihi daripada panjang—tinggi—tubuhnya sendiri. Begitu dst-nya (yang ini baca: de-es-te-nya, artinya dan seterusnya)—dan akan pendek lagi kalau Si Pinokio telah berkata jujur. Wah, Andai saja begitu, bisa jadi kita tak perlu DPR (iqro: de-pe-er artinya dewan perundingan rakyat), badan legislatif yang lebih sering mandul daripada produktif mengontrol kebohongan pemerintah itu—bahkan tampaknya kong kali kong. Bubarkan saja (bayangkan: berapa uang yang akan kita hemat karena tak perlu lagi membayar gaji mereka dan segala fasilitas yang kerap kali mereka anggarkan: gedung dewan, kolam renang, jalan-jalan dengan alasan studi banding, kendaraan dinas, hmm, sabas…sabas…). Untuk apalagi, kan kita—rakyat yang 230 juta lebih ini—bisa langsung membuktikan apakah mereka jujur atau tidak. Sedang bohong atau sekedar membual—layaknya tukang jual obat gatal yang bisa juga dipakai untuk obat sakit perut, yang celakanya kita, kok bisa-bisanya percaya juga. Lalu, pada satu hari yang belum lagi kita tentukan itu kapan, beginilah yang terjadi di podium RI-1. “Saudara sebangsa setanah air, kita telah sukses menurunkan angka kemiskinan,” katanya di depan puluhan kamera TV berita yang bikin siaran langsung. Kita malah tertawa, hidungnya mulai bergerak ke depan—memanjang. “Eh, tidak berhasil sepenuhnya sih, baru berhasil di statistik saja, belum di lapangan, pun juga karena standar kemiskinan kita priode ini kita turunkan sedikit,” sambil menujukkan jarak antara jari telunjuk dan jempolnya ke kamera, “Jangan khawatir, itu standar intenasional, lho!” Hidungnya kembali memendek. “Di samping itu kita telah membabat korupsi, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, tanpa …” Panjang lagi. “Ya, terkecuali kasus-kasus yang kalau kemudian diperiksa terus, akhirnya menjurus juga kepada saya sendiri,” Pendek lagi. “Dan tak benar saya sirik dengan kekuasaan sultan Jogja, Si Raja Jawa yang otomatis diberi keistimewaan jadi gubernur itu. Sekali-kali, tidak. Semata-mata hanya memang tak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan demokrasi yang kita anut—benturan dengan konstitusi,” Tambah beberapa senti. “Oke… oke…, cuma cemburu dikit, kok,” sambil menunjukkan jempol dan telunjuk yang dirapatkan—nyaris bersentuhan—ke kamera, “boleh dong. Orang saya ini jadi presiden 2 kali mesti usaha segala macam lo, mesti bikin iklan banyak-banyak, lah Si Sultan itu kok enak-enaknya saja: begitu lahir langsung dijamin jadi gubernur. Tak adil bagi saya. Saya cemburu. Kan kekuasaan itu cemburu tho. Apa itu bahasa inggrisnya…?” Ajudan pribadi membisikkan sesuatu, “wisik…wisik…wisik…” “Ya, power is nJelous!”—dengan logat Jawa. Pendek lagi. Menarik bukan. Bisa bikin hiburan—di tengah sinetron di televisi kita yang lebih bikin kita kukur-kukur kepala yang mendadak gatal daripada terhibur, atau Opera Van Java yang lucunya tak lucu lagi karena sudah bisa ditebak: Si Gagap akan jatuh menimpa proverti yang konon terbuat dari bahan-bahan tak berbahaya (kan ada tulisannya tiap kali Si Gagap dan kawan-kawan jatuh). Ya tak? (saran saya: iya kan saja, Bung! Daripada benjol Anda nanti, hahaha…) Akh, tapi kan presiden kita bukan Ponokio. Ia SBY (reminder: tidak ada kepanjangannya). Ia bebas saja berbohong tanpa kita bisa mengendus kebohongannya. R a p i. Kan dia selalu wanti-wanti, “semua harus dilakukan dengan cara-cara yang elegan”. Ya elegan, kata kucinya. Lah, kan didukung data yang konfrehensip Je. Jelas. Lengkap. Dan malah seperti Majalah Tempo; enak dibaca dan perlu. Di dalamnya kita baca dengan kepala manggut-manggut belaka: semuanya berjalan baik-baik saja di negeri ini, tak ada yang salah. Teroris tumpas, korupsi dilibas, TKI terlindungi, lapangan pekerjaan luas, hubungan luar negeri bermartabat—berdaulat, kemiskinan turun drastis. Pun kalau ada bidang-bidang yang hasilnya belum maksimal, itu karena memang susah sekali mencapainya. Berat. Mereka sudah bekerja sangat-sangat keras. Siang-malam. Masak sih kita gak hargai: siang-malam lho mikiri rakyat, sampai tak enak makan tak enak tidur bagai orang lagi kasmaran gitu lho. Meminjam intonasi Aa Gym: “hebat-tidak?” “Okelah, kalian memang telah bekerja keras. Terimakasih telah memikirkan nasib kami selama ini. Tengkyu ya, Brur!” kata saya. “Eh…eh…, jangan asal terima begitu,” protes Anda. “Kenapa,” tanya saya. “SBY itu kalau berbohong ada juga yang panjang, kok!” “Apanya?” kejar saya. “Kekuasaannya—rezimnya. Lihat saja. Dulu walau dibilang orang tukang bohong, kepilih lagi kan jadi presiden—salah kita sendiri, suka tukang bohong asal tidak ketahuan. Sekarang kan sas-sus atawa desas-desus yang beredar isterinya juga disiapkan jadi Capres 2014?” Saya tercenung. “Benar-tidak?” tanya Anda sekarang serasa Rhoma Irama. “Akh, Anda bisa saja!” [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan, akhir-akhir ini suka dengan gosip-gosip politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline