Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Guru Bukanlah Manusia (½) Dewa

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan tak mengurangi rasa hormat pada guru-guru yang telah mengajari kita, Anda dan saya, hingga bisa sampai seperti sekarang ini ...

Oleh JEMIE SIMATUPANG DI SEKOLAH GURU bak dewa. Atau paling tidak, meminjam Iwan Fals, manusia ½ dewa. Dengan itu ia adalah sosok yang sempurna: serba tahu dan mengharamkan alpa. Kemahaan semua milik Sang Guru. Celakanya ia—sejatinya—hanyalah manusia, yang dengannya khilaf, salah, tak tahu, lupa dan sifat buruk lainnya di samping memang sifat-sifat dewa adalah bagian darinya agar sempurna dipanggil sebagai manusia. Tambah celaka lagi, ketika Sang Guru tak sadar akan posisi kemanusiaannya itu. Ia selalu ingin jadi sosok yang serba (tahu, pintar, tertib, rapi, dlsb). Tak boleh ada yang menyalahkannya—meragukan pengetahuannya. Pantang. Dan ketika seorang murid kritis berbeda pendapat dengannya, yang tak mau terima 1 + 1 = 2, maka terganggulah eksistensinya. Segala macam cara kemudian dilakukan untuk mempertahankan status kebenaran pengetahuannya, bahwa memang 1 + 1 = 2, bukan yang lain. Dan kalau Sang Murid tak bisa menerima logika Sang Guru, jurus pamungkasnya pun—biasanya—dikeluarkan. “Halllo…, yang guru, situ apa sini?” Itu masih lumayan, seorang kawan waktu SMA misalnya harus rela dikucilkan Sang Guru sejarah hanya gara-gara bilang G30S tidak didalangi oleh PKI. Guru itu tak terima. Ia mati-matian menjelaskan bagaimana kudeta itu terjadi, dan pada satu titik ketika ia didebat juga dengan kawan saya yang kritis itu, ya ujung-ujungnya keluar juga jurus sakti: “Hei, jangan-jangan kau ini anak PKI ya?” Dan pada pembagian rapor kawan saya itu harus puas dengan nilai yang warnanya sama dengan warna dasar pantai komunis—merah. Ya, wajar juga kalau waktu itu dia tak berani mengamini pendapat murid, walaupun Orde Baru sudah runtuh, tapi orang-orang—juga guru itu—belum lagi berani membaca literatur lain yang mengungkap fakta bahwa G30S tak semata-samata kudeta PKI. Lah, kalau berani kan bisa terancam juga statusnya sebagai guru—mengajarkan yang lain daripada yang disepakati oleh buku putih rezim yang berkuasa. Balik ke soal awal. Saya tak mengenalisir semuanya. Ada juga guru-guru yang berpikiran progresif, yang mau dikritik, dan mau belajar dari muridnya. Tapi selama pengalaman saya bersekolah, sosok yang macam ini barang langka. Boleh dibilang, walau ini data anekdotal—lawak-lawak—kalau ada 10 guru maka hanya 2 diantaranya yang berpikiran maju itu—dan saya yakin diantaranya juga adalah guru-guru (dan calon guru) yang aktif ngeblog di tempat kita sharing dan conecting ini. Di dalam kelas Sang Guru mengajarkan apa yang memang harus dipelajari—tercantum di kurikulum. Ia akan bacakan, terangkan, diktekan, dan diapakan lagi itu semua yang ia tahu dalam pelajaran itu. Murid tak bisa lain mendengar, mencatat, dan sekali-kali kalau memang tak tahu, bertanya—ini jarang-jarang sekali terjadi, walaupun guru memberikan kesempatan pada SI Murid untuk bertanya. “Ada yang kurang jelas?” H e n i n g. Ya, bagi guru—atau siapa saja—yang mengamini bahwa belajar adalah proses transfer pengetahuan dari guru ke murid, maka tak ada yang keliru dengan apa yang dilakukan guru dan murid di kelas. Sudah tepat. Tapi, kan sudah lama juga model ini dikritik. Paulo Freire (1921-1997), pedagog asal Brazilia itu, yang paling lantang di depan bilang kalau proses belajar seperti ini bukanlah disebut pendidikan, tapi sekedar penjinakan. “Alih-alih jadi kritis, murid jadi ‘bodoh’!”—kira-kira macam itu—kritik Freire. Dengan kata kunci transfer, dengan tepat Paulo Freire menamainya “Pendidikan Gaya Bank”. Ya, di bank kan kita mentransfer? Menabung? Dalam hal ini guru akan menjadi penabung, dan murid hanyalah tabungan—buku tabung. Apalah daya tabungan menolak segala macam uang yang dimasukkan ke rekeningnya, tak ada kecuali sekedar mencatatnya—dan agar tak lupa tentu saja menghapalnya, berapa sudah uang ditabungan yang ada. Ada beberapa ciri pendidikan ala bank itu : (1) guru mengajar, murid belajar (2) guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa (3) guru berpikir, murid dipikirkan (4) guru bercerita, murid patuh mendengarkan (5) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuji (7) guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya (8) guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu (9) guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid (10) guru adalah subyek dalam proses belajar, dan murid hanyalah objek belaka. (di salin dari Pendidikan Kaum Tertindas-nya Paulo Freire) Benar saja, yang terjadi kemudian dalam proses ini bukanlah pendidikan tapi penjinakan—agar murid patuh sesuai dengan keinginan guru, besarnya lagi tatanan sosial yang ada. Daya kritik murid dinihilkan. Padahal pendidikan sejatinya bertujuan memerdekakan manusia—memerdekan Si Murid sekaligus memerdekakan Sang Guru. Freire menamakan pendidikan model ini sebagai pendidikan dialogis, pendidikan yang mengedepan dialog. Dialog antara guru dan murid—mereka yang terlibat dalam proses belajar. Dan jamak kita tahu syarat terjadinya dialog yang merdeka adalah ketika pihak-pihak yang ada di dalam berada pada kedudukan yang sederajat, tak ada pihak yang superior-inferior. Dalam hal ini guru dan murid sama-sama menjadi peserta belajar yang sama-sama memecahkan masalah—mendialogkan—persoalan-persoalan, pelajaran-pelajaran, yang mereka hadapi. Jadi kalau dimaknai mengapa hening, ketika guru bertanya, “ada yang tak jelas?” karena memang murid banyak yang takut, segan, atau memang tak mau, karena kedudukan mereka dalam proses itu timpang—tak setara. Seperti yang sudah saya singgung tadi, banyak juga guru-guru maju yang sudah mengubah paradigma ini, walaupun perubahan itu tak seradikal apa yang dicetuskan Freire. Murid misalnya telah dijadikan subjek—partisipan aktif—tidak sekedar objek saja. Tapi ini terbatas pada sekolah-sekolah kaya yang hebat-hebat itu—yang ada di kota. Atau guru-guru yang memang tak mau menerima pakem sebagai yang ada di kurikulum saja. Di SD inpres tempatku sekolah dulu, dan banyak lagi sekolah-sekolah yang lain, model pendidikan gaya bank ini terus berlangsung, dan kayaknya akan memang dijaga terus berlangsung oleh rezim yang ada—yang tak ingin muridnya jadi kritis dan menggutas status quo yang ada. Dengan tak mengurangi rasa hormat kepada mereka, yang telah membuat kita, Anda dan saya, bisa sampai seperti sekarang ini—memang seperti apa?—, juga kepada “Omar Bakri-Omar Bakri” yang dengan segala keterbatasan bisa ciptakan otak-otak menteri, guru-guru itu, masih banyak yang belum lagi bisa melepaskan status kedewaannya—kemanusia½dewaan-nya.[] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline