[caption id="" align="alignleft" width="329" caption="Cuma ilustrasi, tak ada hubungannya dengan cerita Cok Kompas dkk. foto lukisan karya: Agus Suwage (sumber:images.detik.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG SEORANG JEPANG—ATAU INGGRIS, ATAU PRANCIS, ATAU AMERIKA, ATAU BELANDA YA, KOK SAHIBUL HIKAYATNYA LUPA—PERNAH BILANG, “Tunjukan saya lalu-lintas sebuah negeri, maka saya bisa mengetahui bagaimana keadaan—keseluruhan—negeri itu!” Sederhana saja. Kalau lalu-lintasnya tertib, bisa dipastikan baik jugalah segala hal di negeri itu. Pun sebaliknya, kalau amburadul, itu jugalah isi negeri itu—cakap Medan-nya: kacak burak. Hari libur. Cok Kompas dan Mat Tanduk, dua karib yang bak lepat dan daun itu, sedang berboncengan kereta (sepeda motor) keliling kota tempat mereka mengadu nasib—Medan. Mat Tanduk di depan, Cok Kompas membonceng. Keduanya sangat-sangat menikmati perjalanan di hari yang cerah ini. Cok sendiri di samping mencari bahan-bahan postingan untuk kompasiana, juga untuk bukunya nanti—ia tengah menyiapkan buku perdananya prihal Medan; orangnya, budayanya, bahasanya, dlsb itu—juga ingin membuktikan tesa Orang Jepang atau Inggris atau Amerika atau Prancis atau Belanda yang pencerita lupa, yang bilang, “Tunjukkan saya lalu-lintas …” itu. “Wah, pantas negeri kita centang-prenang begini; korupsi, kolusi, birokrasi bobrok, kejahatan merajalela, …!” ujar Cok Kompas ketika mereka terjebak lampu merah. “Pantas cemana, Lae?” tanya Mat Tanduk, belum lagi tahu masalah. “Ya, pantas. Kau tengok sendiri lalu lintas kita di Medan ini. Itu tengok, itu…” Cok Kompas menunjuk ke depan, pada seorang pengendara kereta, “belum lagi lampu hijau menyala udah main terobos saja, semau dirinya sendiri, macam jalan bapaknya saja dibuatnya,” kesal Cok Kompas. “Terus apa hubungannya dengan bobroknya kita?” “Kan ada yang bilang—singkatnya—:lalu lintas adalah gambaran sebuah bangsa. Kalau begitu, melihat banyak yang terobos lampu merah, kan jadi cermin juga untuk banyaknya orang melanggar hukum—berbuat kejahatan di negeri kita yang cinta kebajikan ini. Tak taat hukum. Prinsipnya barangkali hukum dibuat ya memang untuk dilanggar—tak yang lain. Ya bisa jadi, ini cuma asumsi loh Mat, jumlah kejahatan di negeri kita ini berbanding lurus dengan yang melanggar lalu lintas itu,” Cok Kompas menjelaskan. “Oo, begitu. Kalau menurut saya itu juga pertanda kita ini model tak sabaran. Mau cepat saja—tanpa pedulikan kepentingan orang lain. Egois. Suka potong kompas. Cemana menurutmu, Lae!” Mat Tanduk yang mulai paham jalan pikir sahabatnya yang selalu sok bijak itu, ikut urun pendapat. “100 untuk kau, Mat!” Lampu hijau menyala. Mat Tanduk memulas gasnya Hondra Astrea merah keluaran tahun 70 yang sudah ringkih itu. Usianya lebih tua dari Cok Kompas dan Mat Tanduk sekalipun (sekilas info: Cok sendiri baru 31 tahun 28 januari nanti). Suaranya terkewer-kewer, prak-prak, brumm. Dan sekali-kali: jeder-jeder, bukan petasan, tapi letusan di knalpot akibat terjadi pembakaran tak sempurna pada bagian mesin yang memang sudah uzur. Terseok-seok mereka melintasi Jalan Setia Budi,—Cok Kompas takjub perkembangan daerah ini, lima tahun yang lalu masih sunyi di sini—Dr. Mansyur—tempat industri kuliner tumbuh bak jamur di musim penghujan di daerah kampus USU ini, segalanya ada dari sekedar Mie Aceh yang maksyus itu, sampai makanan yang susah Cok Kompas menyebutnya. Asing. Ada bif-bifnya, ada cis-cisnya—Jamin Ginting, lalu masuk ke Iskandar Muda—nah, jalah bernama pahlawan aseli Aceh ini terkenal dengan duriannya, disamping tempat mangkalnya waria—lalu menuju pusat kota. Cok Kompas mencorat-coret di buku notes kecil yang sedari tadi terselip di kantong bajunya. Asyik sekali tampaknya. Dan ia belum lagi berhenti berkombur, bercakap-cakap, soal lalu lintas yang ada di kotanya itu, sekali-kali Mat Tanduk meningkahi. “Kau tengok tak Cok, kalau rata-rata yang naik kereta macam kita ini, tak pakai spion, kalau ada pun cuma sebelah saja,” “Ya, itu gambaran kita juga. Spion itu kan layaknya mata, mata untuk melihat keadaan yang sudah kita lewati—yang sudah dilalui—sambil berhati-hati kalau-kalau ada kendaraan lain yang melintas, jangan sampai terjadi tabrakan—kecelakaan. Ya, kalau kita berbangsa itu mungkin bagaimana kita melihat masa lalu, melihat sejarah. Kalau tak punya spion, berarti kita kan buta dengan masa lalu—buta sejarah. Sejarah tak dianggap penting. Maka wajar juga kalau kita masuk ke lobang yang sama, padahal dalam sejarah itu pernah terjadi. Krisis, konflik, peristiwa hukum, bencana alam berulang terjadi, dan kita tak pernah belajar apa-apa darinya,” “Hm, canggih juga ya. Terus itu yang berspion cuma satu?” “Nah, itu yang jumlahnya yang paling banyak, kan. Ya, kita itu sebenarnya memang cuma sebelah mata saja memandang sejarah. Sepele. Kadang-kadang dilihat, kadang-kadang diabaikan. Acuh-tak acuh. Kita ini kan seringan amenesia daripada sadar,” “Iya, ya Lae! Padahal Bung Karno, udah wanti-wanti: Jas Merah—jangan sekali-kali melupakan sejarah!” “100 lagi untuk kau, Mat!” HARI MAKIN SIANG. Matahari Medan panas membakar seluruh isi kota. Juga Cok Kompas dan Mat Tanduk dengan Astrea 70-nya tersuruk-suruk, merayap di antara mobil-mobil dan kereta-kereta di kemacetan Kota Medan, tak luput dari terpaannya. Gerah. Tambah lagi bunyi klakson di mana-mana, pertanda benar-benar tak sabarannya orang di negeri ini—saling adu maki sering tak terelakkan. Ketika orang-orang yang didepan sudah jalan, Mat Tanduk tekan gas, bebek tua itu pun melaju juga, menyelamatkan diri dari kemacetan. “Priitttt...pritt….” Mat Tanduk dan Cok Kompas terkejut. Di depan ada seorang Polantas dengan tampang baik hati—ingat saya tak bilang sangar ya, Pak—memerintahkan mereka menepi. Mat Tanduk sadar-tak sadar telah menerobos lampu merah. “Selamat siang, Pak! Bisa ditunjukan surat-surat kendaraannya!” “Ada apa, Pak?” Cok Kompas yang menjawab. “Anda telah menerobos lampu merah!” “Yakh, yang lain kan juga menerobos, Pak? Saya cuma ngikut dari belakang. Lagian awak lihat belum seberapa merah tadi lampunya. Belum merah-merah kali. Tolonglah Pak. SIM saya tak ada, STNK-nya tinggal. Cuma kereta pinjam loh, Pak!” Mat Tanduk mulai mengeluarkan jurus ngelesnya. “Tak bisa. Kesalahan Anda ini banyak sekali. SIM tak ada, STNK juga, helm tak standar, lah itu spionnya juga cuma satu pula!” BAH! KECEWA MASA—penulis cerita ini juga—yang kita kiranya Cok Kompas yang udah taat kali berlalu-lintas kian. Komburnya itunya lho, yang bikin kita tertipu—bijak kali, kita sampai pangling: ini Mario Teguh atau sekedar Cok Kompas? Tak tahunya tipe orang yang sebelah mata lihat sejarah juga rupanya. Naif. Saya tak berharap Cok Kompas menyogok polisi itu—apalagi kan sekarang tak ada lagi polisi lalu lintas yang mau disogok tho, kan ada spanduknya itu—sebagaimana Gayus menyuap semua petugas yang bisa disuap di negeri ini. Jangan juga anggar gertak, “Saya wartawan loh Pak. Jurnalis. Citizen Jurnalism, loh Pak—tau tidak? Ini juga dalam rangka tugas. Bisa bantu tidak!?” Cok, Mat, jangan sampai, nanti penggemarmu lari semua, lho! Lagi pula siapa pula yang takut dengan gertakan jurnalis warga—apalagi yang sedang melanggar peraturan. Jangan bikin malu kompasiana, dong! [*] JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal Medan, dipercaya Cok Kompas and Co. membeberkan pikiran-pikirannya di kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H