[caption id="attachment_151483" align="alignleft" width="320" caption="Yok kita raun-raun, musing-musing, keliling Medan naik kereta. Ke Istana Maimoon kita? Ke Mesji Raya Kita? Kalau lapar singgah ke lapangan Esplanade: sekali-kali pesan makanan orang-orang borju(is), hahahaha... (sumber:denismuhamadirawan.blogspot.com)"][/caption] SOAL KENDARAAN lagi. Soal Medan lagi. Bisa jadi isi tulisan ini udah awak ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya. Awak bicara soal kereta. Di Medan rata-rata orang kerja naik kereta, pergi ke sekolah naik kereta, main-main naik kereta, ngapelin pacar naik kereta. Mungkin Anda bilang: Kalau itu, di Jakarta pun begitunya. Di Surabaya juga udah biasa. Atau di Bandung juga biasa. Atau di luar negeri: di Tokyo, di London, di mana lagi itu, juga begitu. Biasa orang kemana-mana naik kereta. Tapi tetap ada yang beda di Medan. Orang Medan biasa memarkirkan kereta yang dipakainya di kantor, di sekolah, di rumah calon mertua, atau di mana lagi itu? Masak? Yang benar kau? Kata Anda. Benarlah. Buat apa awak bohong? Itu biasa di Medan. Karena bagi Orang Medan kereta itu sama dengan sepeda motor [atau motor saja bagi Anda yang tinggal di Jakarta]. Saya persilahkan Anda manggut-manggut atau karena merasa dikerjain: geleng-geleng... Ya, itu cuma soal bahasa. Yang menarik memang melihat perkembangan kereta di Medan itu. Dari tahun ke tahun tambah banyak. Ramai. Tumpah ruah kereta di jalan raya. Kereta jadi moda paling murah meriah di Medan. Apalagi mendapatkannya sangat-sangat gampang. Tinggal datang ke showroom kereta yang banyak di sepanjang jalan, lalu ajukan pembelian kredit. Kasi DP (down-payment—uang pangkal). Tak pala mahal-mahal: cuma Rp.500.000,- saja Anda bisa bawa kereta baru pulang ke rumah—bahkan ada beberapa jenis kereta yang tidak memerlukan DP: cukup survey tempat kerja saja. Kini Anda punya kereta. Selanjutnya bisa musing-musing naik kereta keliling kota Medan. Raun-raun. Ke Istana Maimoon kita? Ke Mesjid Raya? Ke rumah Tjong A Pie? Gampang kemana-mana kalau naik kereta. Apalagi berduaan sama orang tercinta, hahahaha...Yoklah. Sambil nengok tingkah laku pengendara kereta lain [dan bisa jadi diri sendiri] yang kadang lucu-lucu di Medan. Tengoklah di mana-mana. Pengendara kereta bertingkah sesuka-hati. Marka jalan ditabrak, dimana larang parkir di situ dia berhenti, tak pakai helm—apalagi standar nasional, kaca spion bagus-bagus dipretelin, knalpot dibuat hingar-bingar sampai nak memecahkan gendang telinga. Yang hebat lagi kalau ada lampu merah dia pasang aksi: terobos saja. Dan macamnya: ada kepuasan bathin pengendaranya kalau udah menerobos lampu merah. Rasa degup jantung yang plong: akh, manusia memang suka bermain-main. Huizinga bilang Homo Ludens—manusian itu binatang yang bermain. Tapi memang hebat penerobos itu. Berani. [sok] Jantan. Atau apalagi itu? Kalau ditilang polisi, dan ditanya: “Kenapa Anda menerobos lampu merah?” Enteng aja dijawab: “Kan belum merah-merah kali, Pak?” Hahahaha. Belum merah-merah kali katanya. Memangnya ada berapa warna merah di traffick light itu ya, Bung? Tapi kayaknya bukan Orang Medan namanya kalau belum berani menerobos lampu merah—dan memain-mainkan polisi. Homo Ludens, kata Huizinga lagi. Anak-anak mudanya lain lagi tingkahnya. Itu anak-anak cencen pecahan botol [anak-anak remaja]—yang udah pasti tak punya SIM A. Dibelikan kereta sama orang tua, tapi dibuatnya macam kereta GP. Balap-balapan di jalan raya. Pakai taruhan. Kalau udah ngebut, dipikirnya dia Valention Rossi. Kalau pas lewat awak, ditahan orang itu dulu, nunggu sampai mereka selesai balap-balapan. Ada-ada saja. Ngeri nengok balapan itu. Macam-macam gayanya: dari yang macam superman, sampai yang berdiri di atas kereta. Persis atraksi akrobat. Sering kecelakaan. Tapi tak pernah jera. Kalau udah jatuh—ukurannya pasti mati (Orang Medan bilang: meniknat) pinomat (paling tidak) luka-luka berat. Kalau udah gitu mau bilang apa lagi? Bilang pisang pun orang itu tak sempat! Akhirnya orang tuanya juga yang sibuk. Susah. Anak disayang-sayang kok malah nyawanya melayang. Tapi macam itulah pulak ya Bung! Macam tak pernah muda aja awak ini! Hahahaha...., lagi masa-masanya nunjukkan eksistensi: sekali lagi: e k s i s t e n s i . . . inilah kami yang hebat ini. Gitulah sebagian cerita kereta di Kota Medan. Jumlahnya kian hari kian banyak. Tak terhalangi. Mestinya biar berkurang sedikit, aturan kepemilikan kereta perlulah dibatasi. Janganlah ada satu rumah tangga punya 5 kereta: pada keluarga itu cuma berjumlah 3 orang. Orang angkot-angkot di kota Medan ini juga masih bisanya dijadikan alat transportasi pilihan. Belum macet-macet kali macam di Jakartanya Medan itu—walau arah kesana udah ada. Ini mentang-mentang tiap orang beli kereta itu berarti pemasukan bagi kas negara—karena pinomat bayar pajak tiap tahun (kan pendapatan terbesar APBN kita itu dari pajak katanya) tak ada batasan soal kepemilikan kereta. Tiap orang boleh beli. Mau punya 1000 kereta pun boleh. Sehingga anak-anak juga bisa punya kereta. Yang palak awak, udah awak bayar pajak kereta, tapi jalan di Medan itu masih juga banyak yang rusak. Padahal itu langsung-langsung pajak kereta—yang mestinya dikembalikan untuk kenyamanan pengendara kereta. Palak tidak, wak? Akh, daripada pusing awak memikirkan: Yoklah kita raun-raun saja, musing-musing naik kereta keliling Medan. Ke Mesjid Raya kita? Ke Istana Maimoon kita? Nanti kalau lapar singgah kita ke Lapangan Esplanade: kan di sana ada Merdeka Walk yang sediakan berbagai ragam makanan. Hmm...Yoklah...yoklah...yoklah....[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H