Lihat ke Halaman Asli

Jemie Simatupang

Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Jaring Laba-laba

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Bung,

Anacharsis lagi-lagi benar. Nubuwat filsuf asal Yunani ini kalau hukum layaknya jaring laba-laba tak dapat disangkal di negeri ini.

Kita punya sosok ideal untuk tesa Anarchasis. Masih hangat dan ramai dibincangkan orang, dari menteri (bahkan presiden) sampai penarik becak. Mereka adalah Anggodo dan Nek Minah. Keduanya sama-sama warga negara Indonesia, tapi punya nasib yang berbeda. Yang satu kaya raya, yang lain miskin papa. Itu juga yang membuat mereka berbeda perlakuannya di depan penegak[?] hukum.

Satu kali Nek Minah mengambil tiga buah kakao dari sebuah perkebunan yang bersebelahan dengan ladangnya—Ia memang seorang petani. Nenek berumur 55 tahun ini berencana menjadikannya bibit. Tak lama berselang, mandor kebun datang, dan melihat tiga buah kakao tergeletak di bawah pohon—Nek Minah memang tidak menyembunyikannya.

Mandor itu bertanya, siapa yang memetik kakao itu. Nek Minah, karena memang tak bermaksud jahat, mengaku, kalau ialah yang telah melakukannya. Sang Mandor berang. Dengan repetan panjang, Nek Minah diceramahi soal hukum, bahwa perbuatannya adalah pencurian.

Nek Minah sadar. Ia mengaku khilaf dan minta ampun. Ia lalu menyerahkan tiga buah kakao, yang memang sudah dipegang mandor, ke mandor itu. Tak cukup disitu, ia juga berjanji tak akan mengulangi perbuatannya lagi. Merasa urusan selesai, Nek Minah kembali bekerja di lahan garapannya.

Tapi apa dinyana, seminggu kemudian surat dari kepolisian datang. Nek Minah disidik atas tuduhan pencurian sebagaimana dilaporkan perkebunan. Kasusnya berjalan cepat. Berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan langsung P21. Persidangan di gelar. Oleh hakim Nek Minah dinyatakan bersalah dan dihukum 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Nek Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Bung,

Di tempat lain ada Anggodo Widjojo. Ia terlibat skandal mengkriminalisasi pimpinan KPK Bibit-Chandra. Ia juga terbukti melakukan penyuapan untuk melicinkan jalan agar kakakya yang tersangkut korupsi, lolos dari jerat hukum.

Tapi apa yang dilakukan penegak[?] hukum negeri ini? Kepolisian bilang kalau tak cukup bukti untuk menetapkan Anggoro sebagai tersangka. Akibatnya, hingga sekarang ia bebas melalang-buana.

Anehnya, polisi malah menindaklanjuti laporan Anggodo atas pencemaran nama baik yang dilakukan media massa. Pemuatan transkrip rekaman dinilainya telah merugikan nama baiknya. Dua pimpinan koran Kompas dan Sindo sontak langsung dipanggil menghadap. Bukan main hebatnya Anggodo.

Bahkan, presiden kita yang terhormat, yang namanya [kata presiden] dicatut oleh Anggodo dalam percakapan yang direkam KPK, juga tidak melaporkannya atas dugaan pencemaran nama baik. Padahal biasanya ia selalu melaporkan orang-orang yang mencemarkan nama baiknya. Begitu hebatnya, hingga seorang presiden pun perlu mengurungkan niat untuk melaporkan Anggodo.

Bung,

Begitulah penegakan[?] hukum di negeri ini. Orang miskin, lemah, dan marginal seperti Nek Minah bisa dihukum dengan mudah. Bahkan hanya gara-gara tiga buah kakao, yang barangkali paling tinggi berharga Rp.5.000,-. Tapi orang kuat, kuasa, punya relasi macam Anggodo bisa memporak-porandakan hukum. Ia membolak-balik logika; yang salah bisa benar, yang benar bisa salah.

Nek Minah dan Anggodo hanyalah puncak gunung es. Di tengah masyarakat kasus seperti ini banyak terjadi. Masyarakat pun menganggapnya lazim. Lihat, saking seringnya terjadi, kezaliman sudah berubah menjadi kelaziman.

Bung,

Jaring laba-laba, sebagaimana Anda tahu sendiri, hanya bisa menangkap capung, kupu-kupu, lalat, dan serangga kecil lainnya. Tapi kalau yang menerobos adalah burung, kelelawar, dan binatang besar lain, ia rusak. Tercabik-cabik!

Apa katamu Bung?

Medan, 23 November 2009

Tabek!

jemie simatupang

NB:

Saya sengaja memakai tanda [?] tiap kali menulis penegak[?] hukum. Karena memang saya semakin ragu apakah mereka memang benar-benar penegak[?] hukum, saya malah curiga mereka adalah pembengkok hukum, sebagaimana kata seorang aktifis di layar televisi.

[copy-paste dari jemiesimatupang.wordpress.com]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline