Sebuah Opini (ditulis oleh Jefry Daik)
Semenjak sekolah -- sekolah diliburkan dan semua kegiatan pembelajaran dipindahkan ke rumah secara daring, yang menjadi guru di rumah adalah orangtua. Namun latar belakang pendidikan orangtua serta tabiat sering tak sabaran saat mendampingi anak dalam belajar, menjadi beberapa kendala yang menyusun polemik dalam pendidikan di era Covid -- 19. Lalu siapakah guru yang sejati?
Saat saya mulai menulis ini seorang anak remaja dalam kompleks tempat kerjaku menghubungiku dan curhat. Sebut saja Galih. Galih tak merasa puas dengan system belajar saat ini. Diakuinya bahwa dia lebih cenderung action ketimbang harus mencatat dan mengerjakan tugas secara online. Jiwa eksplor yang dimilikinya seolah meronta ingin dibebaskan dari kungkungan sabotase pandemik. Lantas saya ingin berbagi pertanyaan yang diajukan anak ini dalam sejumlah pernyataannya.
Galih : Orang bilang kalau mau sukses itu harus banyak membaca, tapi saya semakin saya banyak membaca saya semakin sulit mengerti. Kalau begitu apa saya bisa menjadi sukses?
Saya terdiam dan merenungkan pertanyaannya. Kemudian kembali mendengarkan seri curhatnya yang selanjutnya
Galih : Saya ingin sukses. Tapi saya tidak bisa menemukan caranya. Membaca saja tidak cukup. Saya butuh praktek. Saya ingin dijelaskan dan dibawa ke dalam suatu suasana belajar yang ada eksperimennya. Tapi guru hanya memberikan kami tugas yang harus kami kumpulkan. Yah itu selama ini saya bisa mencari dari gugel. Tapi saya masih merasa ini bukan yang saya cari. Kata guru kita harus bereksplorasi sendiri. Wah...gimana mau berkreatifitas? Sarana alias alat -- alat yang saya butuhkan tidak ada. Saya bingung. Apakah saya berdoa, berdoa dan belajar seperti ini tanpa bekerja atau praktek saya akan menemui kunci kesuksesan?
Kemudian saya mengerti apa kesulitan mendasar yang sedang dialami Galih.
Faktanya adalah :
Galih tergolong anak yang kritis, dan lebih suka learning by doing
Galih sudah mencoba belajar dengan ritme yang sesuai dengan arahan dari guru, namun terbentur dengan media. Galih tidak ingin hanya sekedar mengerjakan tugas dari guru lalu mengirim tanpa mengerti dan memahami esensi sesungguhnya dari yang dikerjakannya
Galih adalah seorang anak SMK di Kota Kupang yang belum difasilitasi oleh sekolah terkait praktek multimedia yang seharusnya
Galih memerlukan pendampingan yang lebih karena ia ingin menjadi orang sukses
Setelah menyimpulkan hal itu sayapun berusaha hanya mengarahkan dia dengan apa yang paling dia butuhkan dan paling dia ingin ketahui. saya dapati bahwa dia ingin bekerja dibidang cinematik.
Cinematic berarti orang yang memahami secara utuh baik gambar dan tampilan audio visual dalam videografi.
"Wah...saya tidak pakar dalam soal itu."pikir saya.
ketika Galih menyatakan bahwa dia juga ingin belajar tentang fotografi, saya langsung connect
Galih tertarik dengan bidang fotografi. Namun tidak memiliki kamera. Hanya berbekal satu handphone android yang dipakainya selama ini dalam belajar dan memotret kesana -- kemari. Kemudian saya teringat akan suatu kamera yang masih cukup baik yang ada pada kantor saya. Sayapun berinisiatif untuk nanti meminjam dan mengajaknya berpetualang dengan kamera tersebut. Kebetulan kamera tersebut sedikit bermasalah dengan lensa jauh -- dekatnya (auto focus) yang perlu sering diatur secara manual sehingga ini bisa menjadi pengalaman pertama anak ini dengan belajar mengatur fokus pada objek.