Korban gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat, berkekuatan 5,6 skala Richter sebulan yang lalu masih tak jelas nasibnya. Padahal, bumi yang terguncang, memorakporandakan seluruh benda di atasnya dan telah menghilangkan harta benda dan nyawa manusia masih saja tak memberikan jawaban pasti kapan datangnya nasib baik.
Korban gempa terkatung-katung dan masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, akibat lemahnya tanggung jawab negara. Mereka masih belum bisa hidup normal, karena warga Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, masih ada yang belum menerima dana stimulan perbaikan rumah karena proses pendataan yang tidak akurat dan harus diulang.
Selain itu, sebagai salah satu desa yang disebut dilalui patahan sesar aktif Cugenang, warga juga masih menanti kepastian apakah mereka akan terdampak relokasi atau tidak. Sebelumnya, pemerintah menjanjikan dana bantuan sebesar Rp60 juta untuk rumah rusak berat, Rp30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rumah rusak ringan.
Namun pada proses verifikasi sebelumnya, ditemukan data yang tidak sesuai dengan kondisi riil rumah yang rusak. Oleh sebab itu, masyarakat pun meminta dilakukan verifikasi ulang. "Kemarin karena kesalahan data waktu pendataan pertama banyak yang tidak sesuai, misalkan yang kondisinya rusak ringan jadi berat. Mungkin datanya yang salah atau apa, ada beberapa yang seperti itu," kata Yana salah satu warga Desa Cibeureum (BBC.com, 22/12/2022).
Kapitalisme Hanya Menghadirkan Penguasa bukan Periayah
Nampak ketidak optimalan periayahan korban gempa, apalagi persoalan utama adalah rumah tinggal. Salah satu kebutuhan pokok setiap manusia. Seharusnya negara bergerak cepat untuk menyelesaikannya, mengingat Cianjur adalah sesar gempa. Dan negaralah yang menjamin kebutuhan pokok rakyat itu terpenuhi, terutama jika terjadi bencana alam. Bukannya gagap atau melambat dengan berbagai alasan.