Lihat ke Halaman Asli

Rut Sri Wahyuningsih

Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Haji, Momentum Persatuan Umat

Diperbarui: 9 Juli 2022   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

inews.id

Kembali terjadi, perbedaan penetapan tanggal hari raya Idul Adha, sebagai Idul Fitri. Seakan sudah mahfum tak banyak gejolak, bahkan banyak kini yang mengatakan sudah biasa. 

Meski ulama berbeda pendapat dan cara menetapkan tanggal pun bisa rukyat atau hisab, namun karena ini ibadah haji, tentulah yang paling afdhol adalah mengikuti ahlul dua tanah suci. 

Inilah kondisi ketika tidak ada kesatuan pimpinan bagi seluruh umat , berbeda negara saja sudah merasa beda ukhuwah. Padahal masih satu akidah. Paham Nasionalisme sengaja ditanamkan oleh penjajah, agar hanya urusan dalam negerinya saja yang diurusi. Akibatnya, beda tanggal itu hanya satu dari sekian banyak masalah. 
Tambahan quota yang tak bisa dihandle pemerintah, daftar tunggu yang memanjang hingga puluhan tahun, di pulangkan ya jemaah haji tak resmi karena biro perjalanan bodong dan lain sebagainya. Belum lagi dengan pembatasan usia jemaah yang tak boleh lebih dari 65 tahun. Sungguh tak adil! 
Kacau balau, tak terencana itulah yang nampak, terlebih lagi jika meneliti dana haji, berbagai pihak merasa berhak berbicara dan mengatur kemana arah putarannya. Hingga wakil presiden memberikan keputusan, bahwa dana haji boleh dipakai untuk pembiayaan infrastruktur, 

ah, ...sudahlah uang rakyat dikorupsi para pekerja partai, penguasa, masih dipungut pajak, semua fasilitas umum rakyat bayar sendiri kini beribadah haji saja dipersulit. 


Pada masa Rasulullah Saw sebelum hijrah, moment haji adalah momen istimewa dimana beliau bisa lebih banyak berdakwah, mengenalkan Islam kepada para jemaah yang datang.

 Dimana hal ini sangat mengganggu para pembesar Quraisy, ini politik yang harus dibalas politik. Maka disebarkanlah isu bahwa Rasulullah Saw adalah gila dan memiliki sihir. Barangsiapa mendekat dan kemudian berbincang dengan beliau akan kena sihir, di antaranya dipisahkan dari suami, istri, anak, keluarga atau kerabat. 


Bukan tambah mereda, justru makin banyak orang tertarik dengan dakwah Rasul, bahkan hingga benar-benar mengimani apa yang Rasul bawa yaitu Islam. Maka terjadilah baiat Aqobah kedua yang menegaskan keinginan 75 orang utusan dari Madinah untuk dipimpin syariat. Dan berharap Rasullah pemimpin mereka. 
Islam semakin besar, kuat dan mengilhami banyak orang sehingga makin banyak yang memeluk dengan sukarela, jihad dan dakwah yang merupakan politik luar negeri negara Islam pimpinan Rasulullah Saw telah berhasil mengikis habis halangan-halangan fisik penguasa yang menolak atau melarang rakyatnya memeluk dan tunduk kepada Islam. 
Perjalanan Islam politik inilah yang kini berusaha dilenyapkan oleh musuh-musuh Allah. Sehingga setiap kali Idul Adha datang yang diingat hanya syariat Nabi Ibrahim menyembelih putranya Nabi Ismail dan kemudian digantikan kambing oleh Allah. Memang inilah cikal bakal tumbuhnya keimanan yang kuat dalam diri seorang Muslim yaitu ketaatan meski mustahil. 
Dan inilah salah satu yang oleh Imam shalat Iedul Adha pagi ini sampaikan. Beliau memberi contoh negara Arab, menurut beliau orang Arab sebetulnya malas bekerja, namun kalau disuruh ibadah, paling cepat dan konsisten. Maka, bisa kita lihat bagaimana perekonomian mereka. Hal ini wajar, sebab Shalat adalah tiang agama, dan Allah sendiri yang memberi pahala untuk shalat setiap individu hambaNya. Beliau menambahkan, maka kalau ada orang susah ekonomi, lihat saja shalatnya. 
Inilah yang dikhawatirkan jika menggambarkan Islam hanya di permukaan, bukan Kaffah atau menyeluruh. Yang terlihat justru kekerdilan, keburukan dan ketidak mampuan Islam menyelesaikan persoalan. 

Padahal sekali-kali tidak ada kemuliaan tanpa syariat. Secara teknologi dan penampakan fisik, bisa dikata Arab Saudi sudah melampaui batas negara manapun di dunia ini. Kekayaan raja-raja dan pangeran berikut keluarganya tak diragukan lagi. 


Namun jangan lupa, sungguh naif jika melihat kemajuan hanya dari penampilan fisiknya, ibarat seorang gadis, Arab Saudi sudah berubah menjadi nakal dan tak beradab. Minuman keras boleh diperdagangkan bebas, para wanita boleh tidak menutup aurat, riba boleh dan lain sebagainya yang sebenarnya tidak layak jika sepanjang sejarah, Arab adalah tanah para Nabi. Dua kota suci, Mekkah Madinah ada pula di dalamnya. 
Lantas, masihkah ibadah mereka berkaitan dengan muamalah? Padahal Allah SWT banyak memerintahkan muamalah sesuai syariat. Karena jika mereka rajin ibadah sehingga bisa menghasilkan kekayaan, lebih baik orang kafir, mereka tak shalat bahkan tak mengakui bahwa Allah SWT ada tapi mereka kaya, hingga ada yang berjuluk sembilan naga, memiliki jutaan hektar kelapa sawit dan berhasil menggoreng harga minyak goreng melonjak tinggi. 
Mereka salah kaprah menilai rezeki. Padahal rezeki adalah hal preogatif Allah mau disempitkan atau diluaskan kepada siapa saja. Maka, melihat kemajuan adalah jika di suatu negeri, tidak ada lagi penghambaan kepada makhluk. Nilai tauhid menjadi yang utama, sebab bagi kaum Muslim, kematian hanya gerbang pembuka menuju hidup abadi. 
Baldatun ghofurun tidak layak disematkan kepada negara Arab, mereka justru kini semakin erat dengan kapitalisme. Rakyat adalah korban. Maka tidak ada cara lain selain terus menerus mendakwakan kepada Islam, bahwa yang kita butuhkan mencabut sistem batil demokrasi sekuler dan menggantinya dengan Islam Kaffah. Wallahu a' lam bish showab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline