Suasana Syawal, berlebaran memang terasa wangi. Meskipun belum sepenuhnya membahagiakan bagi para pemudik. Yang rindu kampung halaman, mumpung Corona sedang mereda bahkan cenderung menghilang. Namun sayang, momen setiap tahun yang menyuguhkan macetnya tol, jalan nasional, lintas pulau, mahalnya harga tiket dan pemerintah "hanya" menyediakan sarana mudik gratis.
Begitu shalat Ied selesai ditunaikan, bertebaran insan yang telah menggenggam kemenangan, menuju silahturahmi yang sekali lagi menjadi ritual tahunan pelebur dosa. Tak ada kebencian, tak ada dendam. Semua lebur dalam setiap maaf saat berjabat tangan.
Namun benarkah demikian, Wallahu a'lam...tidak setiap keluarga mampu melakukan yang demikian. Namun setidaknya setiap orang Mahfud bahwa Idul Fitri saat berhari raya, saat kembali dihalalkan segala yang tadinya haram.
Hati yang bijak tentulah akan mengambil bagian lebih banyak, dengan menuntaskan segala ganjalan di hati. Tak guna menyimpan dendam. Ada Allah SWT yang Maha Teliti. Yang menjamin setiap orang akan mendapatkan ganjaran dari setiap perilakunya.
Hati yang bijak tentu tak akan menyiksa diri sendiri untuk terus memelihara dendam kesumat. "Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah niscaya dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihatnya pula." ( QS Al Zalzalah: 7).
Era sekarang memang tak mudah memelihara hati tetap iklas. Setiap saat pancingan dari luar sangatlah kencang, dengan tidak dibarengi akidah yang kuat, suasana keimanan yang lekat. Bagaimana hati tak goyah, jika tontonan umat adalah kebebasan pergaulan, percintaan yang sangat jauh dari syariat, perebutan harta kekayaan, warisan, flexing, bullying dan lain sebagainya. Dimana semua itu lahir dari azas sekuler, pemahaman memisahkan agama dari kehidupan.
Sinetron yang sukses membuai para ibu Indonesia dengan konflik-konflik keluarga yang hanya memperlihatkan betapa kuasanya materi menciptakan kebahagiaan, meski harus menindas yang lain. Tak setiap hati bisa menerima kenyataan, tak setiap manusia bisa menata hatinya maka butuh sistem aturan yang bisa menjaga qanaah.
Di saat yang sama jika ada dakwah kepada perubahan mindset, mengembalikan kesadaran umat bahwa bahagia bukan dari banyaknya materi dan kepuasaan jasadiyah semata melainkan semata ketaatan individu kepada Allah SWT.
Fitrinya hari, indahnya silahturahmi semestinya mendorong lebih jauh lagi kepada melunaknya hati. Hanya Allah SWT yang patut dijadikan sembahan, bukan sesama manusia. Tak lagi mendewakan aturan manusia lebih tinggi daripada syariat Allah. Sekali lagi Allah Maha Teliti, yang tak akan lalai menghitung setiap perbuatan manusia, baik buruk, besar kecil maupun salah benar.
Allah SWT berfirman, "Bagaimana jika (nanti) mereka Kami kumpulkan pada hari (Kiamat) yang tidak diragukan terjadinya dan kepada setiap jiwa diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)?". (QS Ali Imran 3:25). Bukankah kita tak ingin menyesal di hari akhir, hari dimana semua tak bisa dikembalikan apalagi diperbaiki. Wallahu a' lam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H