Ritual laut yang berujung petaka terjadi di Pantai Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur, pada Minggu dini hari, 13 Februari 2022. Mereka berasal dari kelompok bernama Tunggal Jati Nusantara. Diketahui sebanyak 24 orang yang terdaftar sebagai peserta ritual. Dan 10 orang dilaporkan meninggal dunia akibat terseret ombak saat mengikuti ritual laut di pantai itu.
Kepala Polres Jember AKBP Hery Purnomo membenarkan peristiwa itu. Karena ritual dilakukan terlalu dekat dengan ombak akhirnya terdampak. Ritual itu dilakukan di Pantai Payangan pada pukul 23.00 WIB, naasnya rombongan itu tidak mengindahkan larangan dan tetap ke pantai guna melaksanakan ritual. Setengah jam berikutnya ke-23 orang terseret arus air laut Pantai Payangan yang datang secara tiba-tiba.
Belum lepas pembicaraan masyarakat tentang Spirit Doll, kini tersiar kabar duka dan memprihatinkan ini. Bagaimana 10 orang meregang nyawa demi "keyakinan" yang mereka lakoni sebagai syarat untuk meraih tujuan tertentu. Sebesar apa tujuan itu? Yang jelas masyarakat bisa menilai jika dikaitkan dengan keberanian mereka menantang nyawa.
Siapa yang tak mau sejahtera, punya pamor, kaya raya, disegani, berparas cantik, berkharisma dan selanjutnya, Allah SWT susah menjelaskannya dengan gamblang. "Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik". (QS Ali Imran:14).
Jelas tak ada yang salah, jika seorang manusia menginginkan itu semua, Islam datang mengatur untuk mempermudah dan menjadikannya sebagai rizki yang barokah dan agar hidup berkualitas dunia akhirat. Masalahnya, hari ini Islam hadir hanya sebagai pengatur ibadah personal, seperti shalat, zakat, haji dan puasa. Padahal, setiap kebutuhan manusia dan ikhtiar mendapatkannya pasti melibatkan orang lain. Di sinilah rentan pertentangan dan perselihan. Aturan manusia justru menimbulkan masalah baru, sebab bergantung pada kepentingan.
Kapitalisme hari ini yang mengatur kehidupan kita, padahal hingga hari ini belum terbukti mampu mensejahterakan masyarakat, individu per individu. Kian hari kehidupan masyarakat kian berat, dari kebutuhan pokok, sekolah, kesehatan, keamanan dan lainnya. Alih-alih meringankan, setiap kebijakan yang dikeluarkan jika tak tumpang tindih selalu bertentangan. Rakyat diminta patuh, namun penguasa sendiri memberikan teladan yang berbeda. Bahkan lisan seringkali menyakitkan, seolah pangkal bencana, kemunduran, dan kebodohan adalah rakyat.
Bahkan lebih aneh lagi, tajamnya narasi busuk itu terlontar kepada Islam seperti penyebab perpecahan, hilangnya rasa aman akibat terorisme dan radikalisme. Semua elemen masyarakat digiring untuk menjadikan narasi busuk sebagai musuh bersama. Padahal, musuh sejatinya adalah narasi busuk yang tak berdalil itu, sehingga Islam seakan musuh bagi pemeluknya. Hal ini tentulah membuat hidup makin sengsara sebab yang seharusnya menerapkan apa yang diperintahkan agamanya malah mempertaruhkan narasi yang dihembuskan pada pendengki Islam.
Lantas, jika sejahtera tak didapat, sekalipun sudah berusaha macam-macam, wajar jika kemudian muncul solusi alternatif, buah dari lemahnya akidah, yaitu ritual, biasanya melibatkan hal-hal yang bersifat ghaib, namun bukan Allah SWT. Meminta kepada sesama makluk beda dimensi. Ya, sirik di sistem kapitalis menjadi sebuah peluang bisnis yang menjanjikan, menutup celah apa yang tak bisa dipenuhi negara.
Negaralah yang sebenarnya memastikan akidah rakyatnya tak berpindah dan melemah. Selain dengan cara langsung yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat per individu, kedua dengan cara tak langsung, baik melalui kajian, edukasi dan pembinaan tentang makna kebahagiaan dan maksimal amal selama di dunia. Sehingga ketika kesulitan datang melanda, mereka tak bersandar kepada selain Allah SWT.
Lantas, mengapa kapitalisme merajai seluruh aturan hidup hari ini? Sebab penguasa yang notabene mayoritas beragama Islam, tak mempercayai Islam secara menyeluruh. Ia memandang pengurusan umat sebagai hubungan yang berputar pada untung dan rugi. Siapa lagi yang lebih paham dengan sistem ini kecuali pengusaha? Kapitalisme di ekonomi, demokrasi di politik telah melahirkan politik kepentingan. Berbiaya mahal untuk setiap pemilihan, maka masuk akal jika kemudian dikatakan penguasa ada bukan untuk rakyat, melainkan untuk pengusaha yang sudah membiayai pemilihan mereka.