Lihat ke Halaman Asli

Rut Sri Wahyuningsih

Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Indeks Kebahagiaan Bak Hari Kebalikan

Diperbarui: 3 Januari 2022   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Desain pribadi

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks kebahagiaan 2021. Survei ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) ini terdiri dari tiga dimensi, yakni kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia). 

Survei dilaksanakan serentak di semua kabupaten/kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan unit analisis rumah tangga yang dipilih secara acak (random) dan tidak semua anggota rumah tangga dapat dipilih sebagai responden karena ada beberapa pertanyaan (misalnya, pertanyaan terkait pekerjaan, pendapatan rumah tangga, dan keharmonisan keluarga) yang hanya dapat dijawab secara akurat oleh kepala rumah tangga atau pasangannya. 

Hasilnya, indeks kebahagiaan Indonesia pada 2021 berada pada angka 71,49. Angka itu naik 0,80 dibanding pada 2017. Penduduk perkotaan memiliki nilai indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan, yakni perkotaan 71,73 dan pedesaan 71,17. BPS menyatakan provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi ialah Maluku Utara dengan poin 76,34, sementara yang terendah adalah Banten dengan skor 68,08.

Apa sih tujuan dari survei indeks Kebahagiaan ini? Tentu untuk bahan evaluasi seberapa berhasil pembangunan dan pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya. Tingkat kebahagiaan biasanya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. 

Lantas, apakah indeks kebahagiaan ini bisa dijadikan patokan bahwa benar hari ini, tahun ini kota-kota dan desa-desa yang disebutkan di hasil survey itu benar-benar bahagia? Padahal faktanya hari ini angka pembunuhan, prostitusi, peredaran narkoba, penghilangan nyawa, tingginya penggangguran, tingginya angka kriminalitas, aborsi, seks bebas, stunting, desa atau kota yang terendam banjir dan lain sebagainya tak pernah turun. Baik pelaku, korban maupun motif kejadiannya makin beragam. 

Belum lagi dengan tren doll spirit, penerawangan ahli akan masa depan, dan semua yang berbau klenik juga turut mewarnai perilaku dan cara pandang masyarakat terkait kebahagiaan. Dunia astral diikutkan bahkan dijadikan sandaran perubahan oleh sebagian orang. Semisal makin rajin shalat Dan sedekah setelah pelihara boneka arwah. 

Dari pergeseran akidah yang makin di boomingkan entah itu berita pindah agama artis, perayaan hari raya agama lain yang disangkut-sangkutkan dengan toleransi dan moderasi tak bisa dipungkiri turut menyumbang gilanya masyarakat. Arti bahagia jadi hilang makna, sebab setiap orang berbeda pula dalam memperjuangkannya. 

Tidak ada yang salah soal indeks Kebahagiaan, tapi jika data di lapangan dengan hasil survei yang random kemudian dijadikan patokan akan sangat berbahaya. Karena membelokkan umat dari perjuangan kebahagiaan yang hakiki. Bahkan datanya hanya mewakili sekian persen dari penduduk Indonesia, lantas, apakah rumahtangga atau keluarga yang tidak masuk data tak berhak berbahagia?

Boleh dibilang sodoran indeks Kebahagiaan ini hanyalah pelipur lara, sakit dan penderitaannya sendiri belum dan bahkan tak tersentuh. Mari kita gali lebih dalam, Ada tiga dimensi yang menjadi standar yakni kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia). 

Kepuasaan hidup ( life satisfaction) menurut dictio.id adalah adalah kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya yang disertai dengan tingkat kegembiraan. Selain itu, tingkat keberhasilan individu ketika memecahkan masalah penting dalam kehidupannya juga mempengaruhi kebahagiaan dan menentukan kepuasan hidup individu tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline