Luka belum sembuh, nasib belum pasti, pulang ke rumah pun bukan solusi. Itulah yang kini sedang dirasakan oleh pengungsi korban erupsi Gunung Semeru 4 Desember lalu. Bahkan sempat erupsi untuk kedua kalinya.
Namun, ada saja kejadian yang justru menyulut kemarahan. Mulai dari orang-orang yang berdatangan pasca erupsi, bukan untuk membantu tapi untuk ber-foto selfie dengan mengambil latar asap panas lahar, menantang bahaya. Demi sebuah konten, tak indahkan keselamatan. Hingga membuat Bupati Lumajang Thoriqul Haq geram dengan ulah para wisatawan tersebut.
Kemudian pembuatan film yang proses syutingnya digelar di lokasi pengungsian korban erupsi Semeru di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro. Dan ternyata belum mengantongi izin. Kembali demi sebuah konten, mengambil peristiwa kekinian, berharap mendongkrak rating tayangan.
Dan masih banyak orang-orang yang sengaja menjadikan bencana sebagai isian konten. Kemajuan teknologi memang tak bisa dihindari. Peristiwa hari ini, sekian menit kemudian sudah bisa dinikmati orang seantero jagad. Tak peduli apakah bermanfaat atau merusak. Yang penting tayang, follower bertambah, cuan bergemerincing.
Makin banyaknya manusia yang tak punya hati dan hilang kasih sayang tentu bukan fenomena yang terjadi begitu saja. Ini adalah dampak dari sistem aturan yang mengedepankan ego, individualistis dan ketidakadilan. Dimana yang dominanlah yang menjadi pemenang.
Dengan adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia, dibuatlah manusia memiliki kekuasaan untuk mengatur apa yang dia suka atau tidak. Dilegitimasi dalam sebuah kekuasaan, jadilah payung hukum yang justru lebih rentan dipermainkan, muncullah pomeo, asal bapak senang.
Padahal, manusia adalah bagian dari masyarakat yang didefinisikan Islam sebagai individu yang saling berinteraksi yang memiliki perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama. Fitrah inilah yang dihilangkan, sebab aturan yang berasal dari Yang Maha Kuasa dihapus digantikan dengan kehendak manusia. Manusia makluk lemah, terbatas dan butuh yang lain, akankah mendapatkan kedamaian jika aturan hidup diserahkan kepadanya?
Ketidakadilan hukum juga membuat banyak orang mati hati, dimana yang berduit dengan mudah membeli hukum bahkan mengakalinya sementara yang papa, meski menangis meraung-raung meminta ampun palu hakim tetap bertalu.
Belum lagi dengan ulah pengacau akidah umat, dengan menggencarkan intoleransi, mengangkat isu yang receh, hanya demi meraih simpati pemimpin kafir. Sadarkah mereka bahwa ini hanya jebakan, kaum kafir sadar akan adanya saat dimana Islam akan kembali memimpin, sehingga mereka mencekoki kaum munafik dengan moderasi beragama yang sejatinya daur ulang liberalisme yang sudah tak laku?
Allah berfirman, yang artinya,"Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah ."(QS Al-Baqarah:120).
Itulah mengapa butuh adanya kesamaan perasaan, pemikiran dan peraturan. Diantaranya adanya perintah untuk saling menasehati dalam kebenaran. Salah satunya dalam Qs Adz Dzariyat: 55 yang artinya, "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." Begitu indahnya Islam, dan hanya Islam yang memiliki pengaturan ini.