Ramadan, Hari Raya Idul Fitri , mudik dan arus baliknya adalah even tahunan, semestinya tak lagi ditemukan hambatan yang berarti dalam menjalaninya. Namun, faktanya selalu ada pengulangan terutama harga-harga barang kebutuhan pokok. Baru menjelang Ramadan saja harga sudah meroket, padahal keimanan masih naik turun. Bukannya lebih afdhol jika pemerintah mempersiapkan suasana tenang dalam menghadapi even tahunan ini?
Seperti yang dikatakan Abdullah Mansuri, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) bahwa hari-hari saat ini ritmenya memang merangkak naik dengan persentase yang berbeda untuk setiap bahan pokok yang dijual. Dan kenaikan ini karena suplai dan demand. Kenaikan ini hampir pasti terjadi 10 tahun terakhir (CNBC Indonesia.com, 11/4/2021).
Sebagai pedagang tentu Abdullah tak berdaya menguasai harga pasar, di sisi lain ia tak mau kehilangan pelanggan karena ikut menaikkan harga tapi di sisi lain ia akan tekor habis-habisan jika tetap dengan harga normal, belum lagi dengan ancaman langkanya pasokan barang, cuaca dan permainan kotor para penimbun dan spekulan pasar.
Abdullah menyakini, kenaikan harga ini masih akan terus terjadi hingga sepekan saat awal Ramadhan. Setelah itu, harga-harga akan kembali normal, dan mulai kembali naik saat lima hari sebelum lebaran atau hari raya Idul Fitri. Hal ini karena persiapan lebaran, masyarakat berbelanja dengan kapasitas besar dan stok di rumah. "Imbauan kami, jangan stok barang di rumah karena berbahaya kepada harga pasokan," pesannya.
Ramadan, bagi kaum Muslim terutama di Indonesia, tidak hanya bermakna ibadah, bagian dari syariat yang dibebankan kepada mereka sebagai konsekwensi dari keimanan mereka. Maka, dalam praktiknya salah satu syariat Allah ini telah berilftitasi dengan budaya setempat, dimana masyarakat secara turun temurun mengadakan selamatan agengan ( megengan=jawa.pen). Memasak sejumlah makanan kemudian saling berbagi.
Semua dalam rangka mengucapkan syukur karena telah dipertemukan dengan Ramadan dan sekaligus mempersiapkan hati untuk menghadapi ibadah puasa selama sebulan penuh. Di mata kaum kapitalis ini adalah celah manfaat yang mendatangkan keuntungan berlipat-lipat kali sebagaimana pahala yang dijanjikan Allah swt. Bedanya, mereka hanya melihat dari kacamata manfaat materi duniawi.
Tak peduli bahwa pahala yang afdhol adalah pahala akhirat. Maka Harga pangan meroket merupakan kejadian berulang dan wajar bagi mereka menjelang bulan Ramadan. Bisa jadi sepanjang Ramadan hingga menjelang hari raya Idul Fitri. Sebetulnya pada hari-hari besar kaum Muslim yang lainnya seperti Maulud Nabi , Tahun Baru Hijriyah atau Idul Adha harga barang juga naik, namun tak terlalu signifikan karena hanya dirayakan oleh beberapa wilayah di Indonesia.
Sementara Ramadan dan Idul Fitri selain berdekatan juga inilah momen yang ditunggu-tunggu untuk silahturahmi kepada sanak saudara di kampung setelah selama 1 tahun tidak bertemu. Karena tuntutan pekerjaan.
Pertanyaannya, haruskah harga naik melambung jauh melampaui harga normalnya? Dimana peran penting negara untuk menyediakan pasokan memadai dan menghilangkan semua penghambat pasar yang adil?
Hal ini bisa dilihat dari apa yang diambil negara sebagai kebijakan, maslahat rakyat tak dijadikan tumpuan. Sebagaimana dilansir CNN Indonesia, 18 November 2020, Indonesia masih doyan impor untuk kebutuhan pangan yang semestinya bisa dipasok dari dalam negeri.
Sungguh berkebalikan dengan target Presiden Joko Widodo yang akan swasembada pangan dalam 3 tahun sejak periode pertama pemerintahannya, pada Desember 2014. Ternyata hingga lebih dari 4 tahun kemudian yang terjadi justru peningkatan nilai impor. Berbagai bahan kebutuhan pokok diimpor, mulai dari daging, garam, produk ikan, udang dan moluska dan lain-lain, padahal Indonesia adalah negara maritim.