Lihat ke Halaman Asli

Kemana Harus Mengadu?

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kemana harus mengadu?

Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke sebuah desa di daerah Sumatera Selatan. Selama di desa, banyak sekali kegiatan yang saya lakukan, diantaranya saya mengikuti kegiatan para petani yang bekerja mengolah areal pertanian setempat. Dapat saya simpulkan, petani itu seorang sosok manusia yang sangat – sangat hebat, berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan dengan kemampuan “seadanya” yang mereka miliki.

Sempat terjadi berkali – kali diskusi antara saya dengan petani. Sungguh sangat melilukan, perkerjaan yang mereka lakukan tidak hanya sulit tetapi juga harus dilapisi kesabaran yang luar biasa. Mengapa saya katakana demikian? Karena bertani itu merupakan pekerjaan yang sangat banyak membutuhkan tenaga dan kesabaran. Dari buka lahan (mencangkul berkali – kali sampai tanah siap tanam), mengurusi tanaman (memupuk, menjaga tanaman dari serangan hama), panen (pengambilan hasil dan pengeringan), memasarkan hasil.

Cerita yang paling miris, saya dapatkan dari seorang bapak tani lanjut usia. Saya tidak tahu pasti umur beliau berapa tahun, tapi saya mendengar keluhan kecil beliau. Dari jam 5.30 WIB saya mengikuti beliau keladang. Saya melihat, tubuh tua nya bergerak mencangkul ladang seluas 5ha.  Tepat pukul 12.00 WIB, beliau berhenti mencangkul, makan dan sholat. Mulai bekerja lagi jam 13.00 WIB sampai 18.00 WIB. Kegiatan seperti ini akan terus beliau lakukan saat musim tanam seperti sekarang ini. Setelah membajak sawah, beliau mulai tabur benih, lalu merawat benih, sampai waktu panen tiba.

Saya : Pak, tidak merasa lelah apa, mencangkul mengelilingi sawah begini?

Petani : Ndak bisa bilang lelah mbak, wong namanya kerja. Kalau ndak begini, bagaimana saya mendapat uang. Dan karena uda biasa jadi ndak terasa canggung lagi, ndak ada sakit – sakit lagi.

Saya: Ooh, iya pak, dulu saya pernah coba pak ,merumput pekarangan rumah, alhasil, rumputan tidak bersih, dan saya demam karena berjemur setengah hari. Tapi enak ya bapak, setelah panen, pasti banyak dapat uang.

Petani : ndak juga mbak, kadang impas saja sama hutang. Karena gabah itu harganya turun saat panen. Para tengkulak menentukan harga semau mereka. Sedangkan pemerintah tidak berani beli. Dan saya juga bingung, kalau mau jual ke pemerintah, alamatnya dimana, ndak tau.

Saya : ooh, bapak kan bisa lapor ke aparat desa setempat. Mereka bisa lapor ke kabupaten. Agar ada titik terang.

Petani : walah mbak, kalau semudah itu, saya udah kaya dari dulu. Anak – anak uda bisa sekolah kayak mbak, bisa jadi orang pintar. Saat panen, harga gabah tu benar – benar rendah. Sementara saat tanam, pupuk subsidi menghilang, racun (pestisida) ndak ada, benih padi pun banyak yang palsu. Berkali – kali lapor ke aparat desa, ndak ada perubahan. “podo wae”.

Saya : iya pak, nanti saya coba dimedia social. Siapa tau ada “pemerintah yang mendengar”

Petani, pekerjaan sangat mulia. Perlu kesabaran, tenaga dan tanggung jawab. Tidak ada yang mengawasi, bekerja sendiri, karena tuntutan kebutuhan hidup. Itulah kenyataan di negeri kita yang indah dan kaya akan potensi alam ini. Banyak orang – orang yang sudah bekerja keras, tapi tidak mendapatkan hal yang layak dia dapatkan. Sementara, ada beberapa orang yang semakin sejahtera dan kaya raya hanya dengan duduk diam di ruang ber-AC, naik turun mobil mewah dan mungkin, setetespun dia tidak mengeluarkan keringat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline