Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman budaya, mulai dari suku bangsa, bahasa, dan tradisi yang tersebar di seluruh nusantara. Keberagaman ini merupakan aset penting bagi bangsa Indonesia karena mencerminkan keragaman masyarakat dan warisan leluhur. Cerita rakyat merupakan salah satu warisan leluhur bangsa Indonesia, dan para sastrawan mengekspresikannya melalui karya sastra yang sering kita jumpai, seperti cerita pendek dari berbagai wilayah Nusantara. Cerita rakyat dihasilkan dan disebarkan secara anonim oleh masyarakat (Hariyanto 2014). Cerita rakyat adalah kisah naratif yang dilestarikan secara lisan dan diturunkan secara turun-temurun oleh orang tua zaman dahulu ke anak cucu mereka. Dalam cerita rakyat idealnya mengandung nilai budaya dan nilai moral yang mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia zaman dahulu (Nisa & Andalas, 2021).
Cerita rakyat menyebar dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki peran untuk merepresentasikan konstruksi kultural atau pandangan dari prinsip kehidupan masyarakat sebagai faktor yang yang melatarbelakangi terbentuknya cerita tersebut (Amri, 2021). Namun, terlepas dari daya tarik pesan dan nilai-nilai luhurnya, cerita rakyat juga memiliki konstruksi gender yang kental. Bias gender, baik terhadap laki-laki maupun perempuan, tertanam dalam berbagai cerita, membentuk stereotip dan ekspektasi terhadap peran dan sifat ideal berdasarkan jenis kelamin. Bias gender ini bersumber dari ketidakpahaman masyarakat membedakan jenis kelamin dan gender, padahal gender sendiri merupakan pengelompokkan atau pembagian berdasarkan peran sosial (Astuti, 2020).
Penggambaran para tokoh adalah salah satu contoh konstruksi gender yang menonjol dalam cerita rakyat Nusantara. Laki-laki lebih sering digambarkan sebagai seorang pahlawan atau ksatria yang memiliki sifat pantang menyerah dan berakhir menikahi seorang perempuan yang cantik. Ia akan dikisahkan sebagai seorang yang pemberani, dan akan berhasil menaklukkan serta menyelamatkan keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Mayoritas penggambaran tokoh laki-laki merujuk pada sosok yang kuat, tangguh, berani mengambil risiko, berkuasa, dan pantang menyerah.
Sedangkan bagi tokoh perempuan, biasanya hanya digambarkan sebagai sosok yang lemah dan hanya mengandalkan kelebihan fisiknya saja, kemudian menjadi hadiah bagi laki-laki yang telah berjasa akan sesuatu. Kebanyakan sosok perempuan dalam cerita rakyat akan diposisikan sebagai putri yang cantik, lemah lembut, serta dianggap sebagai makhluk yang selalu bergantung pada laki-laki dan tidak bisa mandiri. Di sisi lain, Perempuan yang ambisius dan bertekad kuat dikisahkan sebagai penjahat atau wanita licik yang kemudian dikalahkan oleh tokoh pahlawan, seperti tokoh Bawang Merah dalam legenda "Bawang Merah Bawang Putih", perempuan digambarkan sebagai sosok yang iri hati dan licik (Fitriarti & Trisari, 2022).
Selain itu, bias gender juga terlihat jelas dalam cerita-cerita rakyat, yang menyoroti peran dan tugas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam ranah domestik atau publik. Sebuah cerita rakyat dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berjudul "Tempiq Empiq" dapat dijadikan contoh. Sebagai tokoh ayah dalam cerita ini, Amaq digambarkan sebagai sosok yang mudah marah dan akan melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap anggota keluarganya. Dia bekerja di hutan setiap hari untuk mengumpulkan kayu. Sementara itu, Inag sebagai sosok inu melakukan pekerjaan rumah, seperti bebersih dan memasak, serta mengurus kedua anaknya. Laki-laki merasa memiliki otoritas dan kekuasaan penuh atas pasangannya sebagai akibat dari peran yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki (Amri, 2021).
Cerita rakyat lainnya yang menggambarkann perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya dan rentan terhadap penganiayaan adalah "Malin Deman dan Puti Bungsu" dari Sumatera Barat. Cerita rakyat ini mengisahkan seorang laki-laki dan seorang bidadari yang menikah. Pernikahan tersebut terjadi karena Malin Deman, sang tokoh utama, bertemu dengan Puti Bungsu bersama keenam saudaranya yang sedang membasuh diri di Telaga Dewi. Dari perspektif naratif, cerita ini didominasi oleh patriarki, yang membatasi kebebasan, kemandirian, dan keleluasaan perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Kebebasan perempuan benar-benar direnggut ketika Malin Deman mulai mengambil kesempatan untuk mengintip dan berhasil menyimpan pakaian Sonsong Barat, serta menikahi bidadari ketujuh hingga memiliki seorang anak laki-laki bernama Malin Duano.
Dalam hal ini, Puti Bungsu digambarkan sebagai perempuan yang cantik, anggun, memikat, namun lemah, kurang mawas diri, dan ceroboh sehingga mudah diperdaya hingga tidak dapat kembali ke kayangan tanpa pakaian Sonsong Barat. Hal tersebut menggambarkan kecerobohan perempuan yang membuat Malin Deman sebagai simbol laki-laki dapat mengendalikan dan menjebak Puti Bungsu dalam dominasi patriarki, karena tanpa pakaian Sonsong Barat ia tidak dapat kembali ke kayangan. Di sini terlihat kelengahan dan kecerobohan perempuan dimanfaatkan oleh laki-laki untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Puti Bungsu ditampilkan sebagai tokoh pasif dan diperlakukan sebagai perempuan yang dikuasai (Syahrul, 2020).
Meskipun demikian, tidak semua cerita rakyat menampilkan karakter perempuan yang berperilaku lemah, ada juga cerita rakyat yang menampilkan bentuk resistensi untuk memerangi hal-hal tersebut. Salah satu cerita tersebut adalah cerita rakyat "Roro Jonggrang" dari Jawa Tengah yang memiliki tema pengorbanan untuk memerangi kejahatan dengan latar masa Kerajaan Prambanan. Pada masa itu, status perempuan selalu berada pada posisi nomor dua setelah laki-laki. Budaya yang ada pada masa Jawa Kuno menganggap perempuan hanya ditugaskan untuk mengurus rumah dan anak-anak, bekerja di dapur, dan sesekali membantu suami di ladang. Namun, tidak demikian halnya dengan Roro Jonggrang..
Roro Jonggrang mengambil tugas yang sulit untuk menjadi panglima perang dengan sungguh-sungguh ketika ayahnya, Prabu Baka, mengangkatnya untuk posisi tersebut. Tugas tersebut berhasil diselesaikan, memungkinkan Roro Jonggrang naik pangkat menjadi panglima perang dan dianggap serius oleh musuhnya. Ketika senopati perang dari Kerajaan Pengging yakni Raden Bandung Bondowoso jatuh cinta kepada Roro Jonggrang dan mengungkapkan perasaan cintanya dengan tulus, Roro Jonggrang justru menolak karena dia lebih memilih berbakti kepada tanah airnya daripada mengikuti rasa hatinya. Dari cerita Roro Jonggrang tersebut, tampaknya memiliki makna keberadaan perempuan pada masa itu bahwa perempuan tidak hanya cantik, lembut, emosional, dan ditempatkan pada ranah domestik saja sesuai dengan kultur masyarakatnya, akan tetapi bisa juga bersikap tegas, dan dimunculkan diranah publik sejajar dengan laki-laki (Wahyuningtiyas & Hartanti, 2023).
Gagasan dan sikap masyarakat tentang peran serta kepribadian laki-laki dan perempuan dapat dipengaruhi oleh konstruksi gender yang bias dalam cerita rakyat Nusantara. Hal ini dapat memperkuat stereotip dan ketidaksetaraan gender di masyarakat. Untuk mencapai penggambaran yang lebih adil dan setara, sangat penting untuk memeriksa dan mempertimbangkan bagaimana gender dikonstruksi dalam cerita-cerita rakyat Nusantara.
Referensi :