Lihat ke Halaman Asli

Sumpah Pocong Wiranto dan Debat Kivlan

Diperbarui: 4 Maret 2019   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah panasnya suasana perpolitikan, isu tragedi Mei 1998 kembali muncul. Kali ini dua aktor yang diduga terlibat saling serang. Namun, anehnya mereka tidak menuntut penyelesaian dengan pengadilan, namun justru menantang untuk sesuatu yang sama sekali tidak memiliki konsekuensi hukum. Ironisnya, Wiranto, seorang Menteri Hukum dan HAM justru menantang untuk melakukan ritual mistis. Tapi dia jadi Menteri juga sudah ironis, sih. 

Ini jelas konyol. Mereka seakan menafikkan bahwa negara ini negara hukum. Dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini dirumuskan di Indonesia, ternyata mentah saat berhadapan dengan pola pikir mencari siapa yang benar dari hal-hal populis. Bukannya menyelesaikannya sesuai dengan pengadilan agar semua terang benderang.

Namun, sebenarnya kenapa orang Indonesia sangat suka dengan sesumbar sumpah pocong? Seberapa mampu ia dapat membuktikan kejujuran seseorang? Barangkali kalau sudah dipocong dan mengingat mati, maka ia dapat berkata jujur, takut dilaknat oleh Tuhan di alam kubur.

Padahal, kalau bicara takut siksa kubur, jika seseorang dengan tidak tahu malu menduduki jabatan publik padahal tangannya berlumuran darah, ia jelas sudah tidak takut azab Tuhan. Apalagi kalau bicara debat yang isinya gontok-gontokan saling sindir saling tuduh. Bukannya mencari kebenaran, malah mencari pembenaran. Kemana pernyataan normatif para pejabat "Mari kembali ke peraturan perundang-undangan yang berlaku"? Apa kalau bicara itu cuma pas mau menggusur rakyat kecil saja?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline