Lihat ke Halaman Asli

Pilkada, untuk Membaca Strategi Menang Melihat Lembaga Survei atau Data Statistik?

Diperbarui: 27 September 2024   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dari pemilihan Presiden hingga tingkat paling bawah pemilihan kepala daerah seperti Bupati, selalu kita temui adanya pihak yang tidak dapat menerima kenyataan jagoannya diposisi bawah di angka survei.

Menyaksikan survei begitu siapa yang tahan. Pasti mulai muncul dugaan-dugaan konspirasi atau kecurigaan lembaga survei bayaran, yang pada intinya untuk menghibur diri sendiri. Di dalam hatinya tidak dapat menerima kenyataan jagoannya memang berada di buntut dimata khalayak.

Semakin teriris lagi apabila yang menerima info tadi berada di lingkaran tim sukses, yang sudah terlanjur bermimpi dan mengkhayal bila jagoannya menang nanti akan mendapat posisi ini dan itu, ekstrimnya akan mandi uang.

Bukannya berbenah atau memikirkan cara kilat yang jitu supaya merebut dukungan masyarakat dalam waktu secepatnya menjelang pencoblosan, tapi malah menggerutu dan sibuk mencari pelipur lara untuk meyakini calonnya pasti menang atau cari kambing hitam.

Waktu yang ada malah dibuang sia-sia misal di medsos-medsos untuk menyanggah hasil survei. Sementara si calonnya terus diminta untuk bobok manis saja tanpa melakukan action spektakuler dengan ide-ide brilian tim mereka.

Hasil survei sudah pasti dari metodologi ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kita percaya survei lembaga yang kredibel.

Sebenarnya tanpa dilakukan survei pun secara mata telanjang bisa terlihat calon yang memang punya daya tarik. Coba saja, tiap yang surveinya tinggi pasti ada daya jual di pandangan mata. Loh kok daya tarik dan daya jual? Bukannya ini perang visi misi dan program?

Ini menurut kami ya, sebenarnya itu semua terlalu muluk-muluk, kita belum cocok mengadopsi ala pemilih Barat sana. Masyarakat kita sebenarnya hanya melihat yang simpel atau praktis saja. Seorang bisa jadi presiden hanya dengan cover wajahnya yang sederhana dan mengundang simpati, juga paras yang ganteng, wajah yang kharismatik, ditambah pita suaranya yang agak berbobot, meskipun isi kepalanya sebenarnya rata-rata saja. Tidak ada potensi mengeluarkan ide-ide cemerlang.

Plus rajin masuk got atau berkotor-kotor dihadapan kamera atau bisa main drama super hero, niscaya elektabilitasnya bisa naik. Percaya atau tidak terserah.

Survei hanya menghitung elektabilitas tapi data statistik yang berkata paling jujur.

Berapa sih tingkat kecerdasan di itu negara? Emang negara itu sudah setaraf pemilih di negara barat yang tahu tentang demokrasi, program, sangat selektif mengukur kecerdasan calon, menolak dinasti, memperhatikan visi, misi dan segala macam? Maka data statistik yang seharusnya dijadikan patokan dalam memenangkan sebuah kontestasi, itu kalau kami sih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline